Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 18/07/2017 14:00 WIB

M. Natsir dan Hamka: 47 Tahun Persahabatan II

natsir hamka
natsir hamka
Tulisan Hamka mengenai persahabatannya dengan M. Natsir ini berada dalam latar zaman revolusi di Indonesia. Masa ketika keadaan di Indonesia amat tak menentu dan banyak hal tak terduga dapat terjadi, terkadang jauh dari perhitungan di atas kertas. Upaya mempertahankan kedaulatan Indonesia dalam masa revolusi ini tidak hanya soal melawan dan mengusir Belanda yang hendak mengambil kembali kekuasaan di Indonesia. Masa ini dipenuhi pertarungan ideologi, gejolak sosial, politik, dan ekonomi dalam negeri serta dilingkupi pula oleh kepentingan politik luar negeri para pemenang Perang Dunia II.
 
Hamka melihat sosok Natsir sebagai orang yang paling berperan dalam mendamaikan dan mempersatukan berbagai unsur kebangsaan Indonesia. Di tulisan ini, Hamka menyampaikan beberapa cerita mengenai M. Natsir yang sering hadir ke berbagai daerah Indonesia untuk 1) memusyawarahkan keadaan-keadaan negara dan bangsa serta 2) mendamaikan gejolak-gejolak yang timbul dalam berbagai perkara.
 
M. Natsir adalah tokoh bangsa yang disegani dan didengarkan oleh berbagai elemen bangsa di seluruh tanah air. M. Natsir adalah salah satu tokoh kunci dalam kebersatuan bangsa ini. Hal itu tampak dari mosi integral Natsir, hubungan-hubungan baik yang dijalin oleh M. Natsir dengan berbagai golongan yang ada di Indonesia, dan kepercayaan orang-orang itu kepada sosok dan kepribadiannya.
 
Meski demikian, M. Natsir dan Hamka pernah pula merasakan tinggal di rumah tahanan bersama beberapa tokoh bangsa lainnya. Penahanan tersebut terjadi lantaran perbedaan pandangan soal ideologi berbangsa dan bernegara serta anggapan Soekarno bahwa M. Natsir kontra revolusioner.
 
Perlawanan M. Natsir terhadap propaganda Nasakom sebagai tafsir utama Pancasila dan segala usaha untuk mewujudkan hal tersebut membawanya pada kehidupan di tahanan rumah selama empat tahun. Namun hal ini juga menjadi wujud perjuangannya dalam membela agama, kecintaannya pada bangsa juga keteguhannya untuk menggenggam suatu pandangan hidup.
 
Tulisan berikut adalah bagian akhir dari tulisan Hamka yang diambil dari Majalah Panji Masyarakat No. 251, tahun XX, 15 Juli 1978/ 9 Sya’ban 1398,  halaman 17--23. Nuun.id menyajikan kembali tulisan tersebut dan melakukan penyuntingan seperlunya.
 
***
 
Sesudah perpisahan di Bandung itu, setelah pendudukan Jepang (1943) baru lah saya dapat berjumpa kembali dengan Natsir dan Isa Anshari. Natsir, ketika itu, telah bekerja sebagai kepala bagian pendidikan di Kota Praja Bandung. Dia pernah datang ziarah kepada ayah saya di Jakarta.
 
Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 1945, Menteri Penerangan RI, Mohammad Natsir, datang ke Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Dia telah menyampaikan, kepada kawan-kawan, keinginannya hendak bertemu dengan saya. Baru saja mendengar dia datang, dengan segera saya berangkat dari Padang Panjang untuk menemuinya di Bukit Tinggi. Partai Masyumi ketika itu telah ada. Dalam satu rapat yang ramai dihadiri oleh kawan-kawan, M. Natsir memberikan pandangan dan pengarahan.
 
Salah satu hal amat penting yang menyebabkan Natsir datang ialah karena terjadi “peristiwa 3 Maret 1947” di Bukit Tinggi, yaitu semacam pemberontakan dari golongan yang tidak puas yang merasa bahwa revolusi di Sumatera Barat terlalu lamban jalannya. Terjadilah perkelahian bersenjata di antara beberapa anak TNI dengan beberapa anak dari Hizbullah. Tetapi alhamdulillah perlawanan sia-sia ini dapat dipadamkan. Penganjur-penganjurnya ditangkap dan ditahan. Lalu, timbul tuduhan bahwa yang berontak itu ialah Masyumi.
 
Natsir dari Masyumi datang sebagai Menteri Penerangan Republik Indonesia untuk menyelidiki dan menyelesaikan soal itu dengan memberikan pengarahan. Sepeninggal M. Natsir, perkara “peristiwa 3 Maret” itu dibuka perkaranya dalam sidang pengadilan negeri di Bukit Tinggi pada akhir bulan Mei 1947. Yang menjadi ketua sidang ialah Mr. Harun Ar Rasyid.
 
Kawan-kawan separtai dalam Masyumi dan Pimpinan Muhammadiyah Minangkabau menyerahkan kepada saya sendiri dengan penuh kepercayaan untuk bertindak sebagai pembela dari kawan-kawan yang tersangkut dalam peristiwa itu. Di antaranya ialah saudara S.Y. Sutan Mangkuto (Alm) yang saya gantikan menjadi pimpinan Muhammadiyah Sumatera Barat karena beliau menjabat Bupati di Solok.
 
Di zaman revolusi hal yang tidak kita sangka dapat saja kejadian. Sampai saya yang tidak pernah masuk sekolah, jangankan masuk Fakultas Hukum, memberanikan diri menjadi advokat atau pengacara untuk membela suatu perkara yang boleh dikatakan besar dan alhamdulillah pembelaan itu berhasil dengan baik. Dan di waktu itu pula saya ditunjuk menjadi Ketua Front Pertahanan Nasional Sumatera Barat.
 
Demikianlah saya telah turut sekadar tenaga yang ada pada saya untuk mempertahankan dan membela tanah air sampai pada datangnya Aksi Polisionil Belanda yang ke-2 akhir tahun 1948. Masuk keluar hutan dari dusun ke dusun di bawah pimpinan Pejabat Presiden Pemerintah Darurat Indonesia (PDRI), Mr. Syafruddin Prawiranegara, sampai terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB), bahkan sampai terjadinya perdamaian dengan Belanda.
 
Pada 18 Desember 1949, saya pun berangkat ke Jakarta, dan pada 28 Desember 1949 itu pula dilaksanakan Penyerahan Kedaulatan.  Dan sejak saat itulah saya menetap di Jakarta.
 
Di kala Natsir jadi Perdana Menteri (1950), sebuah mobil berhenti di hadapan gang menuju rumah saya, kira-kira pukul 8 malam, di Gang Toa Hong II, No. 141, Sawah Besar. Seseorang memberi tahu dengan berbisik, “Pak Natsir datang menjemput bapak.”
 
“Perdana Menteri?” tanya saya. Kawan itu mengangguk dan saya pun segera berpakaian dan turun dari rumah. Lalu, langsung menuju ke mobil yang sedang menunggu. Natsir ada di dalam mobil itu. Dia mempersilakan saya naik dan saya duduk di sampingnya.
 
Demikianlah meskipun tempat berjauhan namun hati terasa selalu dekat di waktu-waktu yang penting juga selalu bertemu dan bertukar fikiran.
 
Dalam perjalanan berdua, dalam hujan yang sedang rintik, mulailah Natsir menjelaskan kepada saya rencana beliau, berkenaan dengan keamanan terutama tentang DI/TII yang digerakkan oleh Kartosoewiryo. Hendaknya berhasil maksud kita mengajak mereka kembali ke jalan yang benar, supaya mereka bergabung kembali ke dalam pangkuan Republik Indonesia. Akhirnya, terdapatlah fikiran bahwa pendapat pemuka-pemuka Islam harus dipersatukan. Bagaimana ikhtiar agar Kartosoewiryo kembali kedalam persatuan tanah air.
 
Maka, beberapa hari saja sesudah itu, terjadilah pertemuan-pertemuan pemuka-pemuka Islam di rumah (Alm) Kiai Wahid Hasyim di Jakarta. Hadir juga A. Hassan dari Bangil, Kiai Wahab Hasbulllah dan lain-lain. Dan saya pun dapat kehormatan turut hadir dalam pertemuan itu. Diputuskan supaya K.H. Muslich mencari kontak dengan Kartosoewiryo, menemui fihak mereka itu ke markasnya di Jawa Barat. Besar harapan kita moga-moga berhasil pertemuan ini dan tanah air Indonesia kembali aman.
 
Tetapi pergolakkan politik tanah air kian hebat. Kabinet Natsir yang tidak dicampuri oleh PNI hanya berusia 8 bulan (6 September 1950--26 April 1951). Rencana mengajak Kartosoewirjo pulang ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi mentah kembali.
 
Ketika kabinetnya sudah jatuh, dengan tidak menunggu lama dan tanpa ragu-ragu, Natsir mengangkat barang-barangnya dari rumah resmi kediaman Perdana Menteri di Pegangsaan Timur, rumah proklamasi (diruntuh dan dibongkar pada waktu negara Indonesia dipengaruhi Komunis) ke tempat kediaman beliau, Jl. Jawa (Sekarang Jl. H.O.S. Cokroaminoto).
 
“Cepat kembali” ke rumahnya di Jalan Jawa itu memperlihatkan bahwa jiwanya teguh, tidak terpengaruh oleh benda.
 
Sesudah kabinet Natsir, naiklah kabinet Soekiman (26 April 1951--April 1952). Ketika kabinet Natsir jatuh itu, dengan tegas saya katakan bahwa pimpinan sejati dari umat tidaklah ditentukan oleh kedudukan jadi Perdana Menteri ataupun jatuh kabinet.
 
Dengan terus terang saya katakan di hadapan Natsir atau di belakangnya bahwa pimpinan sejati dari umat tidaklah ditentukan oleh pangkat dan jabatan. Za’amah atau kepemimpinan yang akan ditempuh Natsir setelah berhenti dari Perdana Menteri, akan lebih hebat lagi pada masanya yang akan datang. Kabinet Pimpinan Soekiman jatuh pula pada April 1952, artinya dalam masa satu tahun. Setelah itu, naiklah Kabinet Wilopo. Dan sejak itu pula berangsurlah turun gengsi Masyumi. Setelah Kabinet Wilopo jatuh pula, dan naik Kabinet Ali Sastroamijoyo (30 Juli 1953), mulailah Masyumi tidak diikutsertakan lagi. Di mana-mana, mulai terasa Masyumi sebagai golongan yang dibenci. Dalam Kabinet Ali pertama itu mulai terasa sikap yang condong ke kiri.
 
Pemilihan Umum dilangsungkan pada tahun 1956. Pada waktu itu, tampil empat besar: PNI, Masyumi, NU, dan PKI. Namun, dirasakan sendiri oleh orang Masyumi bahwa tekanan-tekanan selalu terhadap mereka bertambah hebat, jadi cemoohan di mana-mana. Kedudukan yang dulu di mana Natsir dan Soekiman kian lama kian luntur dan menurun, apatah lagi setelah Presiden Soekarno menganjurkan Kabinet Kaki Empat, yaitu PNI-Masyumi-PKI-dan NU.  Masyumi dengan tegas menolak gagasan itu sehingga gagasan itu tidak jalan.
 
Sejak itu, di segala bidang, mulailah pendapat umum dipompa dengan antipati sebesar-besarnya kepada Masyumi. Sedang PKI tambah lama tambah dekat dengan Presiden Soekarno, sedang Masyumi tambah lama tambah dicap sebagai partai gurem.
 
Ini adalah “politik”. Dan di mana-mana dari zaman purbakala sampai semodern-modern zaman namun politik tidaklah dapat diatur dengan logika. Demikian kata setengah orang. Bung Karno terang bukan seorang Komunis maka logika merasa heran beliau dapat menyuruh bersatu Masyumi dengan PKI dalam satu Kabinet. Ini tidak logis, kata setengah orang pula.
 
Tetapi, yang lain mengatakan lagi bahwa anjuran ini adalah logis. Sebab beliau tidak menyukai Masyumi. Lalu, beliau ajak Masyumi duduk dalam kabinet yang mustahil Masyumi bisa menerima. Dan kemudian memang pastilah Masyumi tidak mau menerima ajakan itu. Sebab itu, maka logislah jika seluruh kekuatan dikerahkan buat menimbulkan rasa permusuhan paling hebat terhadap Masyumi dan mulailah dibuat propaganda Nasakom: Nasional-Agama-Komunis adalah tafsir utama dari Pancasila. Segala usaha digabungkan untuk propaganda itu; bersatu padu, berkuat kokoh untuk Nasakom.
 
Teringatlah saya akan pesan yang sungguh-sungguh dari Pak Kiman dan Natsir agar saya agak menahan diri dari pergolakan politik.
 
Agar saya tetap berhubungan baik dengan Bung Karno. Dan pesan itu saya pegang teguh. Tetapi kian lama kian terasa bahwa hubungan baik dengan Bung Karno itu tidaklah semudah apa yang beliau-beliau sangka. Sebab hubungan itu tidaklah menyenangkan hati fihak Komunis.
 
Maka setelah Natsir, Syafruddin, Burhanuddin Harahap, disusuli Mr. Asaat ke Sumatera dan bergolak pemberontakan PRRI sedang kawan-kawan seperti Roem, Prawoto dan lain-lain pula tinggal di Jakarta dalam gerak yang terbatas, mulailah saya rasakan pukulan-pukulan pahit, sebagai tuduhan plagiat Tenggelamnya Kapal van Der Wijk dan seumpamanya.
 
Kemudian PRRI tidak dapat meneruskan perlawanan lagi. Pemerintah mengadakan amnesti umum. Natsir, Syafruddin dan lain-lain pulang ke Jakarta. Tetapi tidak berapa lama kemudian, semua meraka ditangkap termasuk orang-orang yang tinggal bersama dalam kota tadi. Iaitu Roem, Yunan Nasution, Isa Anshari, Imran Rasyadi, mereka bersama Natsir C.S. diasingkan di rumah tahanan di Madiun.
 
Kemudian itu timbulah fitnah mengadakan rapat gelap di Tanggerang, rapat gelap yang katanya memutuskan hendak membunuh Bung Karno. Saya sendiri, Kasman Singodimedjo, Yusuf Wibisono atau sisa-sisa yang dianggap lunak dalam Masyumi, mulailah ditangkap pula dan “bersih”-lah alam Indonesia dari segala halangan, dan bertambah riuh rendahlah sorak Nasakom, Usdek, Manipol dan lain-lain sebagainya. Tertutuplah segala mulut yang menentang hanya satu nyanyian yang kedengaran: Nyanyi Nasakom! Hanya satu suara yang bergema: Usdek-Manipol! Sampai atap-atap rumah orang diukir dengan Usdek! Dan warna yang terpampang di mana-mana ialah warna merah!
 
Lalu, terjadilah gerakan 30 September atau Gestapu PKI. Dan pada Juli 1966, kami semua sudah boleh pulang.
 
Bagaimana Natsir?
 
Namanya telah dikenal di seluruh Dunia Islam. Dia telah jadi Anggota Rabithoh Alami Islamy. Allah mengangkatnya ke tingkat yang lebih tinggi. Di negerinya sendiri dia adalah ghariib: Natsir tidak terpakai lagi. Tapi, bila ada sesuatu yang dianggap perlu dilakukannya untuk kepentingan negara, ia tidak menunggu-nunggu sampai orang “memakainya”.
 
Pada pertama kali dia dapat keluar negeri, sesudah bebas dari tahanan RTM, dibicarakannya dalam satu audiensi dengan Raja Faisal, bagaimana caranya memperbaiki hubungan diplomatik antara Indonesia dan Saudi Arabia yang tadinya sudah rusak di zaman Orla. Hasil pembicaraan tersebut disampaikannya kepada Menlu Adam Malik, dan tidak lama sesudah itu, hubungan diplomatik antara kedua negara pulih kembali.
 
Di waktu masalah Timor Timur merupakan masalah gawat di PBB dan di dunia internasional umumnya, diusahakannya agar “Mu’tama Alam Islam” tampil dengan pernyataan menyokong sepenuhnya pendirian Republik Indonesia. Diadakannya konferensi-konferensi pers antara lain di Pakistan dengan tema: “Kami tidak bisa membiarkan sebagian dari bangsa kami berbunuh-bunuhan di hadapan kami sambil kami berpeluk tangan. Dan kita tidak memerlukan suatu Angola ke II di Asia Tenggara!”
 
Nyatanya dengan ini orang luar lebih cepat dapat menanggapi apa arti persoalan Timor Timur itu bagi Indonesia sendiri dan bagi kawasan yang lebih luas lagi.
 
Saya sendiri mengalami. Dalam perjalanan saya di Aljazair, Maroko, Mesir, Saudi Arabia, yang selalu ditanyakan orang di sana ialah Natsir!
 
Dia telah termasuk golongan orang-orang Islam ternama di seluruh dunia Islam. Sama tarafnya dengan Al Maududi di Pakistan, Abdul Hasan An-Nadawy di India, Sayyid Qutb dan Muhammad Qutb di Mesir.
 
Dia telah jadi kebanggaan dari Alam Islamy!
 
Kebesarannya terletak pada nilai fikirannya dan fikirannya ini akan hidup dan menjalar terus. Saya merasa berbahagia menjadi salah seorang sahabatnya di dalam lingkaran hidup yang saya tempuh sendiri.
 
***
 
 
Pada dasarnya, hubungan antarmanusia adalah bertautnya jiwa dengan jiwa, hati dengan hati, dan pikiran dengan pikiran. Yang pertama kali mengikat Hamka dengan M. Natsir hingga seterusnya adalah tulisan-tulisan dan ide-idenya, juga rasa yang tumbuh pada masa berikutnya, bukan sekadar pertemuan atau interaksi fisik.
 
Persahabatan M. Natsir dan Hamka adalah keterhubungan hati dua hamba yang dinaungi oleh kasih sayang Allah Malik Al-Mulk juga rasa cinta pada agama dan pengabdian pada bangsa. Keterikatan jiwa kedua pengikut Nabi ini adalah ikatan pandangan hidup bernama Islam dan cita-cita mewujudkannya dalam kehidupan berbangsa.
 
Dalam pekat dan kelamnya politik Indonesia, M. Natsir dan Hamka tetap saling dukung dan saling bela. M. Natsir yang masa-masa akhir hidupnya tak dipakai lagi oleh bangsanya selalu dikenali Hamka sebagai sosok yang teguh pendirian sambil tak habis dan luntur cintanya kepada bangsa Indonesia. 
Editor :
Sumber : Nuun.id
- Dilihat 4177 Kali
Berita Terkait

0 Comments