Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 18/07/2017 13:00 WIB

M. Natsir dan Hamka: 47 Tahun Persahabatan

Natsir Yunan Nasution dan Hamka
Natsir Yunan Nasution dan Hamka
Persahabatan dapat diartikan sebagai hubungan dua atau lebih orang yang banyak menghabiskan waktu bersama, berinteraksi di berbagai situasi, serta saling menyediakan dukungan emosional. Ada persahabatan yang berlangsung lama hingga bertahun-tahun, ada pula yang hanya terjalin singkat.
 
Sahabat merupakan kata serapan dari bahasa Arab, shahabah, sebutan khusus bagi orang-orang yang berjumpa dengan Nabi Muhammad sholallahu ‘alaihi wassalam dan wafat dalam keadaan Muslim. Istilah shahabah selanjutnya diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi sahabat dan sebagai istilah memiliki makna sama dengan shahabah. Para shahabah ialah orang-orang yang berada paling depan dalam urusan membela Rasulullah dan menghabiskan waktu paling banyak bersamanya. Para shahabah adalah orang-orang yang memberikan banyak hartanya untuk perjuangan Islam, badannya penuh luka dan dikorbankan demi melindungi rasul yang dicintai, serta kepatuhannya kepada Allah dan rasul-Nya amatlah tinggi.
 
Dalam persahabatan, terdapat keterhubungan hati dan keterikatan jiwa. Persahabatan yang baik adalah hubungan yang membawa subjeknya kepada kebaikan yang terus-menerus bertambah (berkah). Persahabatan yang sungguh-sungguh itu diikat oleh pandangan hidup yang benar dengan cita-citanya yang luhur.
 
Persahabatan M. Natsir dan Hamka adalah sedikit dari persahabatan berumur panjang yang penuh dengan ketedalanan. Dalam persahabatan dua tokoh modernist tersebut, tampak juga romantisme. Hal itu terlihat pada puisi dukungan Hamka kepada M. Natsir. Sifat persahabatan mereka dapat ditunjukkan melalui pembicaraan yang mengemuka pada pertemuan-pertemuan yang mereka lakukan, pembicaraan tentang perjuangan dan kejayaan Islam serta mengenai ikhtiar untuk terus merawat Indonesia.
 
Tulisan yang hendak disajikan di sini adalah bagian awal sudut pandang Hamka, mengenai persahabatannya dengan M. Natsir, yang pernah dimuat majalah Panji Masyarakat No. 251, yang diterbitkan pada tahun XX, 15 Juli 1978/ 9 Sya’ban 1398, pada halaman 17—23. Persahabatan yang ketika itu menjelang usia 50 tahun diawali dengan “perkenalan” dan kekaguman Hamka pada tulisan-tulisan M. Natsir yang banyak menyeru untuk hidup dan mati dalam perjuangan Islam. Tulisan-tulisan M. Natsir itu terbit di majalah Pembela Islam mulai dari tahun 1929. Bagi Hamka, karangan-karangan M. Natsir itu adalah pembentuk kekuatan dan keberanian bagi dirinya sendiri. Mereka baru bersua dalam pertemuan yang tak disangka pada 1931.
 
Hamka dan M. Natsir memang bukan sahabat yang sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama. Akan tetapi, pertemuan demi pertemuan mereka adalah wujud menyediakan masa hidup yang amat singkat ini untuk mengabdi kepada Tuhan, juga mencintai bangsa sesuai kadar kemampuan diri. Hal itu diceritakan dalam kesan yang kuat oleh Hamka.
 
 
***
 
Hamka
 
Sejak kembali dari Mekkah yang pertama 1927, setelah singgah di Medan selama beberapa bulan, saya pun kembali pulang ke kampung. April 1929 saya berumah tangga. Setelah itu, saya menetap di kota kecil Padang Panjang, menjadi Ketua Muhammadiyah Cabang Padang Panjang dan mendirikan Tabligh School.
 
Di waktu itulah saya membaca sebuah majalah yang diterbitkan di Bandung, bernama Pembela Islam. Mulai saja majalah itu dibaca, timbulah dalam jiwa semangat yang terpendam, yaitu semangat turut berjuang dalam Islam. Artikel-artikel yang dimuat di dalamnya menggugah persahaan hati buat bangun, buat percaya kepada tenaga sendiri sebagai Muslim untuk bangun, bergerak, berjuang, hidup atau pun mati di dalam perjuangan Islam.
 
Yaitu Islam yang tidak pakai “dan”. Apakah maksudnya Islam yang tidak pakai “dan”?
 
Ketika itu sedang riuh rendahnya bangkit Gerakan Kebangsaan, yang dipimpin oleh (Alm) Ir. Soekarno sendiri. Perasaan nasionalisme, yang dimulai dari Nastionale Daad, lalu mantap untuk jadi Nationale Gevoel, naik lagi jadi Nationale Will!
 
Rasa kebangsaan, dimulai dari daad, cita-cita! Dididik dan dilataih sampai naik dari daad, cita-cita, menjadi gevoel, yaitu rasa kebangsaan yang menggelora dalam batin, jadi kesadaran yang mendalam, dipenuhi oleh rasa cinta. Akhirnya, naik menjadi will, kemauan yang keras!
 
Bergeloranya semangat Kebangsaan yang dikobar-kobarkan oleh Ir. Soekarno ini, menyababkan—dengan sendirinya—bagi orang yang telah sangat termakan aharan ini, tidak ada lagi yang lebih tinggi dari pada Nasionalisme atau Kebangsaan!
 
Dan menjalarlah semangat itu ke mana-mana di seluruh tanah air Indonesia! Bahkan dari sangat hebat dan ahlinya Bung Karno, mulailah banyak orang yang memandang bahwa agama tidaklah ada sangkut pautnya dengan kebangsaan. Bahkan kian terasa waktu itu bahwa peranan agama tidak begitu penting dalam membangkitkan semangat kebangsaan. Dan bertambah suburlah rasa antipati terhadap kebangkitan Islam di Indonesia yang dipimpin selama ini oleh H.O.S. Tjokroaminoto (meninggal 1934) dan (Alm) Haji Agoes Salim. Sampai ada tuduhan bahwa Haji Agoes Salim itu spion Belanda.
 
Dalam satu rapat propaganda Partai Nasional Indonesia, pernah seorang turut bicara. Dia mulai pembicaraan dengan mengucapkan “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh”. Karena dia memulai bicara dengan ucapan salam seorang Islam itu, maka para hadirin telah meledek pembicara itu. Sehingga kian hari kian jelas bahwa Islam mulai diketepikan dalam pergolakan di Indonesia!
 
Aksi yang bercorak seperti ini menjalar ke seluruh tanah air. Maka, di waktu itu pula, orang-orang yang kuat ghirah Islamnya sadar bahwa gerak seperti ini tidak dapat dibiarkan. Islam tidaklah musuh dari nasionalisme asal saja nasionalisme itu tidak membangkitkan Chauvinisme! Dan berjuang untuk kemerdekaan suatu bangsa dari penjajahan bangsa lain adalah suatu perjuangan suci luhur menurut ajaran Islam.
 
Di Sumatera Barat pada tahun 1930 timbul Gerakan Persatuan Muslimin Indonesia atau Permi. Dasarnya ialah “Islam dan Kebangsaan”, gabungan di antara Islamisme dan Nasionalisme!
 
Rasa benci kepada gerak Islam itu telah ditimbulkan dengan sangat hebatnya oleh gerakan Komunis ketika dia mulai memasuki Indonesia di tahun 1922. Sebab gerakan rakyat yang sangat besar pada waktu itu, yang sangat berpengaruh kepada rakyat, yang beranggota sampai meliputi seluruh Indonesia, ialah gerakan Partai Sarekat Islam di bawah pimpinan Tjokroaminoto! Banyak kaum terpelajar sendiri yang masuk. Maka untuk gerakan Komunis, menurut sistemnya yang terkenal, untuk mencari pengaruh pula kepada rakyat jelata, tidak ada lain jalan, kecuali menghancurkan Sarekat Islam. Supaya dapat mengacaunya dari dalam, menentang dan membusuk-busukan para pemimpinnya.
 
Sarekat Islam dipecah. Timbul Sarekat Islam Merah, yaitu yang dipengaruhi komunis, dan Sarekat Islam Hijau—nama yang diberikan komunis yaitu yang dipimpin Tjokro! Dimulailah menghantam, memfitnah, menuduh dengan macam-macam tuduhan hina bagi Tjokro. Dan dari situ pula mulailah menjalar tuduhan kepada Muhammadiyah, yang juga diberi nama Sarekat Hijau. Segala politik yang dibenci oleh PKI diberi CAP PEB (Politik Ekonomi Bond), lalu dicap segala orang yang tidak tunduk kepada PKI bahwa mereka semua adalah PEB dengan arti yang hina, yaitu Penjilat Ekor Belanda.
 
Hantaman yang sangat keras kepada gerak Islam di bawah Tjokro ini, tidak ada tara dalam kehebatannya, menjadi isi dari seluruh Suratkabar Komunis, yang menimbulkan suasana rangsangan benci kepada Islam, bukan saja SI bahkan Muhammadiyah pun berkesan sehingga timbul “mc” (perasaan rendah diri) dalam kalangan Islam sendiri, malu bergerak dalam Islam, segan menyebut-nyebut nama Islam.
 
Sampai sekitar Revolusi Komunis yang gagal di Jawa (1926) dan gagal di Sumatera Barat (1927) di Silungkang, penganjurnya dibuang ke Digoel, lalu timbul gerakan Partai Nasional Indonesia (1928), nama Islam tidak disebut-sebut lagi. Orang malu, takut dan merasa “lebih selamat” jika tidak membawa-bawa Islam.
 
Dan Pemerintah Kolonial Belanda pun nampak-nampaknya memandang bahaya Islam itu lebih besar dari pada bahaya Komunis. Inilah yang tinggal dan berkesan sampai berpuluh-puluh tahun di belakang. Dan inilah semua yang membangkitkan hasrat pejuang-pejuang Islam di Bandung mengluarkan majalah Pembela Islam. Islam dibela dari celaan yang seakan-akan menunjukkan bahwa Islam tidak berperan apa-apa dalam perjuangan melawan penjajah.
 
Majalah Pembela Islam benar-benar membuka mata, menunjukkan kepada kita ke mana arah yang kita tuju. Di dalam majalah tersebut terdapat artikel-artikel yang ditulis oleh pemimpin-pemimpin Islam kawakan. Di antaranya M.S. (M. Sabirin) salah seorang pemuka Partai Sarekat Islam, Ali Harharah penganjur Al Irsyad dari Suarabaya, A. Hassan dalam artikel “soal jawab” masalah agama. Namun, yang jadi inti ialah tulisan M. Natsir!
 
Beliau menulis tentang dasar perjuangan kaum Muslimin dalam mencapai kemerdekaan. Bahwa dalam mengejar cita-citanya, “Kemerdakaan Indonesia”, kaum Muslimin tidak perlu mengemukakan faham Kebangsaan. Cukup dengan dasar Islam saja. Karena berjuang mencapai kemerdekaan sudah menjadi perintah Agama Islam sendiri.
 
Natsir menjelaskan bahwa gerakan “Kebangsaan” bisa menjadi niat yang salah, menjadi “Ashabiyah”. Bangsakulah yang benar, yang lain salah! Dan Kebangsaan bisa menjadi “Chauvinisme” yang sangat dilarang oleh agama. Artikel yang beliau tulis adalah memakai bahasa Indonesia yang sederhana dan hidup. Dia tulis sambung-menyambung, sehingga mudah difahami, dan bersifat ilmiyah, sehingga yang ditunggu dari Pembela Islam tiap terbitnya ialah karangan M. Natsir!
 
Pembela Islam terbit pada 1929! Sedang gerakan Partai Nasional Indonesia yang digerakkan oleh Soekarno ialah dimulai pada 1927. Artikel-artikel M. Natsir di dalam majalah Pembela Islam itu sangat menarik hati saya. Saya pun seorang pengarang. Tetapi saya mengakui bahwa karangan Natsir memberi saya bahan untuk hidup, sehingga saking tertariknya saya kepada tulisan-tulisannya itu, saya pun mencoba mengirim karangan kepada Pembela Islam, dan karangan saya disambut baik dan dimuat dalam Pembela Islam!
 
Dari hubungan surat menyurat dan karang mengarang ini, sendirinya timbulah keinginan untuk berjumpa. Sebelum berjumpa, situasi politik tanah air berubah cepat. Bung Karno dibuang Belanda ke Endeh. Sesampai beliau di Endeh langsung beliau berkirim surat kepada A. Hassan, guru Persatuan Islam dan pengarang Pembela Islam. Isinya ialah beberapa pendapat beliau tentang Islam. Isi surat-surat itu amat menarik perhatian, sebab di dalamnya, Bung Karno menyatakan pandapatnya yang bersifat “hervorming” pembaharuan. Beliau tidak menyetujui taqlid, tetapi menganjurkan ijtihad. Beliau menyatakan kecenderungan kepada faham Jamaluddin Al Afghany dan Mohammad Abduh. Rupanya pengasingan beliau ke Endeh menyebabkan peluang yang banyak bagi beliau untuk menyelidiki Islam. Surat-suratnya tiba di Bandung hampir tiap minggu. Pembela Islam tertarik mengelurkan surat-surat itu dengan nama “Surat-surat dari Endeh”.
 
Polisi Pemerintah Kolonial Belanda pun rupanya tidak banyak mensensor surat-surat itu, sebab tidak bicara soal-soal politik. Di waktu “Surat-surat dari Endeh” telah dicetak dengan seizin Bung Karno sendiri, waktu itulah pula cita-citaku tercapai datang ke Bandung, jadi tetamu dari Pembela Islam dan Persatuan Islam. Di waktu itulah saya mengenal A. Hassan, Fakhruddin Al Khahiri dan lain-lain, terutama dengan M. Natsir sendiri.
 
Di waktu itu, saya bertemu seorang pemuda sebaya saya, tetapi lebih tampan dari saya. Wajahnya tenang, simpatik, selalu tersenyum, dan berkaca mata. Tingginya sedang, sikapnya lemah lembut. Apabila kita bicara dengan dia, butir-butir pembicaraan beliau, kita perhatikan dengan seksama, kemudian bila beliau tidak setuju, atau berlainan pendapat, beliau nyatakan komentarnya, nampaknya sambil lalu, tetapi dengan tidak kita sadari, komentarnya itu telah menyebabkan kita harus meninjau kembali pendapat kita tadi dengan seksama.
 
Dari pertumuan pertama itu (Desember 1931), telah terasa hubungan yang akrab dan intim di antara kami, dengan saudara-saudara dari Persatuan Islam dan Pembela Islam pada umumnya dan dengan M. Natsir pada khususnya. Yang menjadikan hubungan sangat padu terutama sekali ialah kesamaan faham tentang agama, terutama faham “Kaum Muda” yang sedang hangat waktu itu. Amalan-amalan agama tidak banyak berbeda, yang kedua ialah faham tentang Islam yang tidak perlu pakai “dan” itu!
 
Natsir mendapat pendidikan di sekolah Belanda, yaitu dari AMS Bandung. Tetapi dalam hidupnya sehari-hari, hidup secara seorang santrilah yang banyak tertonjol. Kalau berbicara di hadapan umum, tidaklah beliau bersifat agitatif menggeledek dan mengguntur. Tetapi dengarkanlah ucapannya itu dengan tenang. Kian lama kian mendalam dan tidak akan membosankan. Karena semua berisi dan terarah!
 
Di kali yang lain, pernah saya ke Bandung setelah dia berumah tangga. Saya menjadi tetamu dan bermalam di rumahnya. Karena kehidupan beragama, sembahyang di awal waktu dan kesederhaan yang dapat dilihat lahir dan batin, semuanya itu membuat lebih mesra hubungan kami.
 
Tahun 1936, saya pun pindah ke Medan dan bersama saudara H.M. Yunan Nasution mengeluarkan majalah Pedoman Masyarakat. Setelah majalah itu saya pimpin, langsung saya kirimkan kepada M. Natsir dan kawan-kawan di Bandung. Sambutan Natsir baik sekali. Dia memuji mana yang patut dipuji dan memberikan komentar sambil lalu dan secara halus pada hal-hal yang beliau kurang setuju, terutama tentang roman!
 
Di akhir Desember 1939, Saudara M. Yunan Nasution dan Zainal Abidin Hamad, pertama sebagai Pemimpin Redaksi Pedoman Masyarakat, kedua sebagai Pemimpin Redaksi Panji Islam berkirim surat kepada Saudara M. Natsir meminta tinjuan beliau tentang cerita-cerita Roman!
 
Maka, pada Januari 1940 beliau telah memeberikan jawaban yang bernas tentang roman itu. Di sana, ditunjukanlah pengetahuannya yang luas dan pertimbangan yang adil dan objektif tentang roman. Dalam karangan itu, beliau mengarahkan jalan, bukan mematahkan semangat pujangga yang sedang tumbuh, sehingga dengan sendirinya kita mendapat tuntunan.
 
Dan pada tahun 1939 itu jua berdiri Partai Islam Indonesia (PII). Orang-orang Muhammadiyah yang berminat politik telah aktif dalam partai itu. Di antaranya ialah K.H. Mas Mansoer (Ketua Hoofdbestuur Muhammadiyah), A. Kahar Muzakkir, H. Farif Ma’ruf dan lain-lain. Saudara M. Natsir jadi ketua PII di Bandung.
 
Ketika itu saya tidak memasuki PII dan tidak pula memasuki partai politik yang lain karena di Medan sendiri pada waktu itu belum ada PII. Pemimpin-pemimpin Muhammadiyah sendiri pun, yang datang ke Medan ketika Kongres Mehammadiyah ke-28 (1939), memberi pandangan kepada saya lebih baik jangan masuk PII. Hadapilah Muhammadiyah saja dan supaya terus jadi pengarang Islam!
 
Tidak lama setelah kongres, H.R. Mohammad Said, Konsul Muhammadiyah Medan, meninggal dunia. Pimpinan Muhammadiyah terserah kepada saya. Dalam hati timbulah kerelaan buat menjadi pengikut dalam gerak politik Umat Islam kepada ahlinya. Dalam menyebut ahlinya itu, yang terutama teringat ialah Natsir.
 
Pergolakan di tanah air untuk selanjutnya bertambah hebat. Dengan terbentuknya MIAI (Majelis Islam A’laa Indonesia) dan bergabungnya aksi politik Islam dalam satu gerak, dan dengan berkumpulnya orang-orang sebagai Natsir, Wahid Hasjim, Prawoto Mangkusasmito dan lain-lain dalam badan tersebut, jelaslah bahwa politik kaum Muslimin menunjukkan kepribadiannya.
 
Kami yang tinggal di daerah, terutama di Medan, merasa tenteram dan bersyukur melihat yang demikian. Usaha-usaha pihak luar hendak memandang bahwa gerakan Islam tidak ada artinya, dengan sendirinya tidak berarti lagi. Kami berpendapat bahwa generasi Islam lama di bawah pimpinan Haji Oemar Said Tjokroaminoto (meninggal 1934) telah digantikan dan diteruskan oleh generasi muda, yaitu M. Natsir, Prawoto, Mohammad Roem, Wahid Hasjim dan lain-lain.
 
Bertambah terasa dalam hati bahwa di samping pejuang-pejuang di lapangan politik, harus bangun wartawan-wartawan dengan pandangan hidup Islam. Untuk itu, berdiri Warmusi. Harus ada pengarang Islam, pujangga Islam, dan masing-masing angkatan muda Islam harus “mencari” dirinya sendiri di tempat mana dia mestinya duduk dan di lapangan mana mestinya dia beredar.
 
Tahun 1941, di waktu Belanda telah masuk dalam Perang Dunia Kedua, dan Ratu Wilhelmina telah memindahkan pusat kekuasaannya ke luar negeri Belanda dengan semboyan “Nederland Zal Herrijzen” (Nederland pasti berdiri kembali), di waktu itulah dalam perjalanan menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-30 di Yogya, saya singgah lagi di Bandung, menemui Natsir dan (Alm) M. Isa Anshari. Itulah kenang-kenangan yang sukar dilupakan. Kami bertiga berpotret kenang-kenangan, yang sukar buat dilupakan. Saya duduk diapit oleh dua orang tercinta dan telah turut memperjuangkan gerak Islam di Tanah Air Indonesia: Natsir dan Isa Anshari!
 
Pertemuan di saat demikian adalah pertemuan yang sangat berkesan bagi kami dalam menyediakan usia menurut kesanggupan masing-masing bagi kepentingan Islam. Meskipun sudah berkali-kali bertemu sebelum itu, dan bergaul rapat pula setelah Indonesia merdeka, namun pertemuan tahun 1941 di Bandung itu telah meninggalkan jejak dalam jiwa kami, dan telah menentukan pula ke mana arah hidup yang akan kami tempuh. Usia saya pada pertemuan tahun 1941 itu baru 33 tahun (17 Februari 1908) dan Natsir lebih muda dari saya enam bulan (17 Juli 1908), dan Isa Anshari lebih muda dari kami berdua.
 
Perang dunia II di Eropa mulai berkecamuk. Kita tidak mengerti ilmu tenung dan ramal, namun satu hal tetap terasa di jiwa kami, terbayang di wajah masing-masing meskipun tidak terucap di mulut: “zaman depan penuh harapan”.
 
 
Saudara M. Natsir dan Isa Anshari turut mengantar saya dan mengucapkan selamat berpisah. Dan sesampai saya di Hotel Islam Sumatera di Jakarta (Jl. Gajah Mada sekarang), terbacalah surat kabar Pemandangan yang menerangkan bahwa ayah saya di Sungai Batang Maninjau ditangkap Belanda. Kemudian itu, beliau pun diasingkan ke Sukabumi.
 
Setelah itu, merembetlah perang ke negeri kita dan Jepang pun masuk. Dalam pergolakan membela tanah air, kami tetap dipertemukan Tuhan di dalam satu wadah cita-cita, yaitu kejayaan Islam. Meskipun semuanya dibawa oleh arah watak masing-masing.
 
***
 
Tulisan ini merupakan bagian awal dari tujuh halaman tulisan Hamka yang pernah terbit di majalah Panji Masyarakat. Pada bagian ini, persahabatan Hamka dan M. Natsir baru berusia 12 tahun. Ujian yang dihadapi masih berkisar persoalan-persoalan perjuangan melawan kolonialisme Belanda dan Jepang, termasuk juga pergulatan mengenai peranan agama dalam membangkitkan semangat kebangsaan. Persahabatan 35 tahun berikutnya dipenuhi warna yang lebih pekat, justru setelah bangsa ini mengumandangkan proklamasi kemerdekaan. 
Editor :
Sumber : Nuun.id
- Dilihat 3728 Kali
Berita Terkait

0 Comments