Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 12/01/2017 08:30 WIB

Tapak-tapak Perjalanan Ulama-Patriot K.H. Sholeh Iskandar

KH Noer Alie bersama KH Sholeh Iskandar dan Moh Natsir
KH Noer Alie bersama KH Sholeh Iskandar dan Moh Natsir
Oleh: Lukman Hakiem – Anggota DPR-RI (1997-1999, dan 2004-2009), dan Staf Khusus Wakil Presiden RI (2001-2004)
 
Menulis tentang K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992) adalah menulis tentang seorang ulama-patriot yang komitmen asasinya terhadap keislaman dan keindonesiaan sungguh-sungguh utuh, dan tanpa pamrih. Masih di zaman penjajahan Belanda, lelaki kelahiran Kampung Gunung Handeuleum, Desa Situ Udik, Kecamatan Cemplang, Kabupaten Bogor itu sudah tampil sekaligus memimpin Barisan Islam Indonesia (BII), dan Pemuda Gerakan Indonesia (Gerindo).
 
BII adalah organisasi kepanduan yang berada di bawah naungan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (Persatuan Ummat Islam) yang pembentukannya diprakarsai oleh murid-murid K.H. Ahmad Sanusi (1306/1888-1369/1950) dalam sebuah pertemuan di Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi, pimpinan K.H. Muhammad Hasan Basri pada bulan November 1931.
 
Pemuda Gerindo adalah organisasi kepemudaan yang berafiliasi kepada partai nasionalis kiri, Gerindo, yang dibentuk pada 24 Mei 1937 untuk menggantikan Partai Indonesia (Partindo) yang Sukarnois dan menjadi lawan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang konservatif. Para pemimpin Gerindo antara lain A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Yamin. Aktivitas partai ini sangat dibatasi sejak Mei 1940, untuk akhirnya hilang dari peredaran.
 
Membantah Pendapat Sayidiman
 
Dengan latar belakang pergerakan seperti itu, tidak mengherankan jika Sholeh Iskandar menjadi tokoh yang memiliki jaringan luas –modal yang sangat penting di dalam menggerakkan perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dengan modal itu, sebagai Komandan Laskar Hizbullah/Sabilillah di daerah Bogor Barat, saat laskar-laskar perjuangan dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), Sholeh Iskandar yang saat itu menjadi Komandan Batalyon 0/Hizbullah dipercaya menjadi Komandan Sektor IV Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi dengan pangkat Mayor.
 
Eksistensi Mayor Sholeh Iskandar dan pasukannya di masa perang kemerdekaan dicatat oleh Jenderal Dr. A.H. Nasution. “Kami berkunjung pula ke Resimen Jayarukmantara di Rangkasbitung, kemudian ke front Bogor Barat, di mana Mayor H. Dasuki dari Resimen 2 bertanggungjawab. Daerah ini diperkuat oleh pasukan-pasukan asal Hizbullah, dipimpin oleh Mayor Soleh Iskandar.”
 
Dalam konteks ini mudah dipahami kekecewaan Sholeh Iskandar terhadap pendapat Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo yang tidak saja menganggap kecil eksistensi Laskar Hizbullah, bahkan menganggap Laskar Hizbullah hanya menjadi beban dan mengganggu Republik Indonesia.
 
“Gerakan hijrah itu amat menguntungkan Belanda, baik dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun masih ada pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun kekuatan mereka terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang berarti. Malahan nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan Republik ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang Kemerdekaan II. Sebagai pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak menyerang TNI daripada Belanda,” kata Sayidiman pada makalah yang disampaikan dalam suatu Seminar Sejarah Militer yang diselenggarakan oleh Yayasan Historia Vitae Magistre.
 
Menurut Sholeh Iskandar, pendapat Sayidiman itu berbeda atau bertentangan dengan pendapat bekas Panglima Siliwangi, E. Kawilarang, yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah di Jawa Barat.
 
“Dalam pada itu,” kata Sholeh Iskandar, “perlu diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi, dan seorang hamba Allah yang lain, sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam waktu perang dan damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi TNI-AD sebagai Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.”
 
Menurut Sholeh Iskandar, formasi Batalyon Hizbullah itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan Selamat. “Lebih jauh kiranya Al-Mukarram Jenderal Sayidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi militer Belanda, Resiment Jaggers Batalyon 3, mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan,” ujar Sholeh Iskandar.
 
Peran Ulama dan Sikap terhadap Darul Islam
 
Sholeh Iskandar menyodorkan fakta ketika daerah lain dikuasai Belanda/Sekutu, keresidenan Banten secara de facto tetap bersama-sama Republik Indonesia. Mereka bahkan membuat mata uang sendiri. Di keresidenan Banten itu, para ulama menempati posisi penting dalam pucuk pimpinan, baik dalam administrasi pemerintahan sipil maupun militer. Sebagai contoh, Bupati Serang adalah K.H. Sjam’un, Bupati Lebak ialah K.H. Harun, dan lain-lain. Di daerah Bekasi, Karawang, dan sekitarnya, Komandan Hizbullah dan Sabilillah ialah K.H. Noer Ali.
 
Ketika pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta, maka praktis Hizbullah dan Sabilillah yang menjaga dan mempertahankan kantong-kantong perlawanan rakyat di seluruh Jawa Barat.
 
Dalam hubungan dengan Darul Islam (DI) seperti dalam pendapat Sayidiman, menurut Sholeh Iskandar perlu dicatat berlangsungnya pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan di Peuteuy, Nanggung, Bogor, membahas sikap terhadap gerakan DI. Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan dengan penuh tanggung jawab, diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi DI, dan melanjutkan perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
 
Namun Sholeh Iskandar mencatat, buku-buku sejarah yang ada, tidak menceritakan perjuangan umat Islam di seluruh Nusantara secara objektif Kalaupun ada, hanya ditatap sepintas dan sambil lalu, sehingga menimbulkan kesan ada usaha-usaha dari golongan tertentu untuk mengaburkan dan menghilangkan peranan umat Islam –dengan para ulamanya—dari pentas sejarah. Menurut Sholeh Iskandar, ini dapat dikategorikan sebagai manipulasi atau penggelapan sejarah.
 
Hubungan Agama dengan Negara
 
Statement Sholeh Iskandar mengenai DI, membawa kita kepada pertanyaan, bagaimana ulama-patriot ini memandang hubungan antara agama Islam dengan negara Republik Indonesia? Menjawab pertanyaan ini, baiklah kita ikuti sikap Sholeh Iskandar menghadapi pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Peradilan Agama yang diajukan oleh Pemerintah ke DPR pada tahun 1989.
 
Dengan lugas, Sholeh Iskandar menyatakan keheranannya atas pendapat yang menyebut RUU-PA bertentangan dengan Pancasila. Sholeh Iskandar juga tidak memahami pendapat yang menganggap aneh jika syariat Islam masuk ke dalam hukum nasional RI.
 
Menurut Sholeh Iskandar, untuk mendudukkan hubungan antara agama dengan negara, cukuplah dengan memahami dan menghayati Undang-Undang Dasar 1945, sejak Pembukaan, Batang Tubuh, sampai Penjelasannya. Semuanya, kata Sholeh Iskandar, serba membuka diri terhadap realitas yang tumbuh dalam kehidupan bangsa Indonesia, baik realitas yuridis, maupun realitas sosiologisnya.
 
Pasal 29 ayat (1) dan (2) mengandung keharusan tiap warganegara untuk beragama, walaupun keharusan ini tidak disertai sanksi. Akan tetapi, itu tidak mengurangi sifat keharusan sebagai suatu norma hukum yang harus ditaati.
 
Menurut Sholeh Iskandar, Indonesia negara hukum yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Maka seharusnya dan logis jika setiap aturan hukum bersumber dari norma agama, dan sangat logis juga jika hukum agama ditransformasikan ke dalam hukum nasional sesuai dengan keinsafan dan kebutuhan hukumnya. Tanpa agama, Pancasila akan kehilangan makna dan nilainya.
 
Tapak-tapak Perjalanan
 
Mayor di masa itu, pangkat yang cukup tinggi, karena sampai akhir 1950-an Panglima Teritorium (sekarang Panglima Daerah Militer), bahkan Kepala Staf Angkatan Darat, paling tinggi berpangkat Kolonel. Jika Sholeh Iskandar melanjutkan karir militernya, bukan mustahil dia bisa meraih pangkat Jenderal dengan tugas kekaryaan yang menjanjikan. Perwira penghubung yang menjadi staf Mayor Sholeh Iskandar di masa perang kemerdekaan, Letnan Hasan Selamat, pensiun dengan pangkat Mayor Jenderal dan sempat menjadi gubernur Maluku.
 
Akan tetapi, ketika kedaulatan Republik Indonesia diakui pada penghujung tahun 1949, Sholeh Iskandar justru merasa tugasnya sebagai tentara telah selesai. Sholeh Iskandar tidak tergoda kepada kemewahan dunia, yang sangat mungkin dia peroleh jika melanjutkan karir militernya. Dia kembali ke dunia sipil dan melanjutkan pengabdiannya di tengah-tengah masyarakat. Meskipun demikian, dia tetap menaruh kepedulian tinggi terhadap nasib dan kesejahteraan bekas anak buahnya, sesama pejuang kemerdekaan.
 
Antara 1950-1960, Sholeh Iskandar mendirikan Persatuan Bekas Anggota Tentara (Perbata) dengan tujuan menghimpun tenaga bekas tentara dan laskar perjuangan ke arah tujuan pembangunan dan pembinaan negara; terpilih menjadi Wakil Ketua Gabungan Organisasi-organisasi Perjuangan; terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Pejuang Islam Bekas Bersenjata Seluruh Indonesia; turut mendirikan dan terpilih menjadi Ketua II Markas Besar Legiun Veteran Republik Indonesia; dan turut mendirikan Yayasan Carya Dharma yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh anggota LVRI.
 
Lepas dari dunia militer, Sholeh Iskandar menjadi aktivis Partai Masyumi. Melihat prestasi dan ketokohannya, pimpinan Masyumi Jawa Barat meminta Sholeh Iskandar untuk menjadi anggota DPRD Sementara Provinsi Jawa Barat. Tawaran itu ditolak oleh Sholeh Iskandar.   Mengapa menolak?
 
“Adapun alasannya,” tulis Sholeh Iskandar dalam suratnya kepada Pimpinan Wilayah Masyumi Jawa Barat, “sudah barang tentu mudah dicari, akan tetapi yang terpenting saya berpendapat dalam keadaan, waktu dan situasi seperti sekarang ini saya mungkin tidak dapat mempergunakan fungsi itu untuk kepentingan perjuangan kita selanjutnya.”
 
Tidak hanya sekali itu saja Sholeh Iskandar menolak jabatan. Menurut beberapa sumber, Presiden Sukarno pernah memintanya menjadi menteri. Lagi-lagi tawaran itu ditolak oleh Sholeh Iskandar.
 
Menolak jabatan formal, tidak berarti Sholeh Iskandar hanya duduk termangu sembari berpangku tangan. Tanpa jabatan formal, tapak-tapak perjalanan Sholeh Iskandar justru terlihat jelas. Di bidang pendidikan, Sholeh Iskandar mewariskan Pesantren Pertanian Darul Fallah, Ciampea, Bogor; Universitas Ibn Khaldun Bogor (UIKA); dan Pondok Pesantren Darul Muttaqien, Parung, Bogor. Di bidang kesehatan, Sholeh Iskandar mewariskan Rumah Sakit Islam Bogor. Di bidang ekonomi syariah, Sholeh Iskandar meninggalkan jejak Bank Pembiayaan Syariah Amanah Ummah. Tentu tidak boleh dilupakan Badan Kerja Sama Pondok Pesantren (BKSPP) Jawa Barat yang didirikannya antara lain bersama K.H. Noer Ali, K.H. Abdullah Syafi’ie, K.H. Chaer Affandi, dan Majelis Ulama Jawa Barat; yang ditekuni hingga akhir hayatnya. BKSPP meninggalkan sejumlah fatwa dan sikap politik sebagai panduan bagi kaum Muslimin.
 
Bintang Jasa Nararya
 
Pemerintah tidak menutup mata atas jasa Sholeh Iskandar kepada bangsa dan negara. Untuk menghargai jasa-jasanya yang besar terhadap bangsa dan negara Indonesia, dan agar menjadi teladan bagi seluruh warga negara, dengan Surat Keputusan Nomor 074/TK/1995, tertanggal 7 Agustus 1995, Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Jasa Nararya kepada Sholeh Iskandar. Bintang yang sama, dianugerahkan juga kepada Ketua Umum BKSPP Jawa Barat, K.H. Noer Ali.
 
Sementara Walikota Bogor R. Iswara Natanegara, dengan Surat Keputusan Nomor 620.45-166 Tahun 2001 tertanggal 23 Juli 2001, mengabadikan nama K.H. Sholeh Iskandar pada Jalan Raya Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara dan Jalan Raya Semplak, Kecamatan Bogor Barat.
 
Sekarang, jika melintas di Jl. K.H. Sholeh Iskandar, kenanglah jasa ulama-patriot yang layak menjadi Pahlawan Nasional itu.
Editor :
Sumber : Jejakislam.net
- Dilihat 3767 Kali
Berita Terkait

0 Comments