Nasional /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 21/02/2023 15:00 WIB

Impor Bahan Baku Dorong Pertumbuhan Industri Makanan Minuman

MAKANAN DAN MINUMAN 1
MAKANAN DAN MINUMAN 1

 

 
JAKARTA, DAKTA.COM - Industri makanan dan minuman, sebagai sektor dengan surplus perdagangan serta salah satu penyerap pekerja terbesar di Indonesia akan dapat didorong pertumbuhannya lebih jauh bila diberi kemudahan untuk impor bahan baku
 

“Bahan baku industri makanan dan minuman bergantung pada pasokan barang setengah jadi dari produksi dalam negeri dan impor, seperti gula, kedelai, gandum, bawang putih, minyak sayur dan tepung,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.

 

Sayangnya impor masih dianggap sebagai kebijakan yang tidak nasionalis dan tidak populer. Kementerian Perindustrian (Kemenperin), misalnya, mengurangi ketergantungan impor barang setengah jadi untuk industri makanan minuman agar dapat memperkuat industri hulu.

Padahal impor bukan semata untuk dikonsumsi, tetapi juga menjadi input untuk menambah nilai tambah dari produk yang dihasilkan industri makanan minuman.

Penelitian CIPS terbaru yang berjudul Pentingnya Perdagangan Bagi UKM Sektor Makanan Minuman di Indonesia  menunjukkan, impor bahan baku oleh perusahaan makanan dan minuman berskala kecil dan mikro, menghasilkan peningkatan output, nilai tambah, upah, serta margin intensif. 

Kebijakan pelarangan impor oleh pemerintah yang disebut untuk mendukung perusahaan Indonesia berpotensi merugikan industri yang ketersediaan bahan bakunya perlu dipastikan.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan, industri ini berkontribusi terbesar terhadap produk domestik bruto (PDB) nasional dan mengalami pertumbuhan tertinggi di antara industri non-migas, dengan rata-rata sebesar 7,78 persen. Industri ini juga satu-satunya industri non-migas yang mengalami surplus perdagangan. 

Industri ini juga pemberi kerja terbesar di luar sektor migas tahun 2019, menyerap 17,8 persen dari angkatan kerja di industri non-migas pada tingkat perusahaan besar dan menengah serta 36 persen pada tingkat Usaha Kecil dan Menengah (UMK).

Sekitar 36 persen pekerja di perusahaan makanan minuman besar dan menengah adalah perempuan. Sementara di UKM, angkanya mencapai 56 persen di industri makanan dan 58 persen di industri minuman.

“Untuk itu, memastikan ketersediaan bahan baku menjadi sangat penting. Dalam jangka panjang, kontribusi ini bisa terus meningkat seiring tumbuhnya industri ini di dalam negeri,” tambahnya.

CIPS merekomendasikan agar pemerintah meninjau kebijakan substitusi dan pengurangan impor dalam produksi pangan dalam kaitannya dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman serta memisahkan data industri sawit dari  industri mamin pada umumnya. 

“Industri makanan minuman di Indonesia didominasi oleh minyak sawit dan turunannya. Sementara pemerintah, dalam melaporkan pertumbuhan industri ini, tidak memisahkan aktivitas sawit dengan non-sawit. Ini berarti data pertumbuhan industri lebih mencerminkan pasar komoditas minyak sawit daripada sektor manufaktur industri makanan minuman secara keseluruhan,” tegas Hasran.

Pemerintah juga harus meningkatkan kualitas data dan aksesibilitasnya bagi publik. Evaluasi secara real time terhadap kebijakan Neraca Komoditas dan kebijakan hilirisasi dalam negeri juga diperlukan.

 

Terakhir, dalam menjaga kesejahteraan petani dalam negeri, pemerintah bisa menggunakan instrumen lain selain pembatasan impor seperti misalnya pemberian bantuan langsung tunai, pelatihan teknologi pertanian, dan peningkatan skill petani.

 
 
Sumber : CIPS
- Dilihat 1140 Kali
Berita Terkait

0 Comments