Selasa, 02/06/2020 08:28 WIB
Lindungi Warga DKI, Anies Pasang Badan
DAKTA.COM - Oleh: Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Ekonomi dunia collaps. Termasuk Indonesia. Tidak hanya di tingkat nasional, tapi kondisi ini juga dirasakan oleh semua daerah. Pajak sebagai andalan pendapatan, turun drastis.
Wisata, restoran, tambang, properti, dan hampir semua bisnis ambruk. Otomatis, enggak ada pembayaran pajak.
Anggaran negara jebol. Begitu juga anggaran daerah. Covid-19 memorakporandakan semuanya. Tak terkecuali DKI Jakarta. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 87,9 triliun menjadi 47,2 triliun. Gara-gara corona.
Minimnya pemasukan, Gubernur DKI tagih Dana Bagi Hasil (DBH) ke Kementerian Keuangan. Sudah seharusnya. Namanya juga utang, mesti ditagih. Apalagi, DKI lagi butuh, untuk Kartu Jakarta Pintar (KJP) dan bansos, untuk mengatasi Covid-19. Untuk selamatkan nyawa dan dampak ekonomi warga DKI.
Menteri Keuangan berkelit. Sejumlah menteri ikutan jadi tim penyerang. Nama BPK diseret-seret. Tak terima dilibatkan dalam DBH DKI, BPK teriak. Ape urusannya sama gue? Kira-kira seperti itu kalau pinjam bahasa Betawi.
Akhirnya, dibayar separo. Penagihan sukses. Sisanya? dicicil. Maklum, negara dalam keadaan susah. Harus saling memahami. Mau nyicil aja muter kesana kemari. Gerutu warga DKI. Hus, sabar! Gak usah dilanjutin komennya. Sudah susah bayar utang, gak usah dikasih komen macem-macem. Kasihan. Jangan tambah beban orang yang lagi sulit. Doain aja.
Ini aja sudah lumayan. Mau nyicil. Ada i'tikat baik. Niat bayar hutang. Anies lega, meski harus terima bullyan dulu sebelum dibayar. Selama itu dilakukan demi rakyat, bullyan serasa lezat.
Saatnya kencangkan sabuk anggaran. Pangkas pengeluaran yang tidak terlalu mendesak. Sortir sana-sini, prioritaskan kegiatan yang urgent. Tentu, kebutuhan untuk rakyat harus paling utama. Ini prinsip yang selama ini jadi pegangan gubernur DKI.
Mengatasi covid-19, baik untuk anggaran kesehatan, maupun untuk tangani dampak ekonominya, butuh dana cukup besar. Yang jadi persoalan sesungguhnya bukan berapa besar kebutuhannya. Tapi persoalannya justru pada minimnya pemasukan.
Pajak jauh merosot. Di DKI, pendapatan pajak yang semula 50,17 triliun, turun jadi 22,5 triliun. Tinggal 45 persen. Sebab, dunia usaha sekarat. Tapi, lagi-lagi, demi selamatkan nyawa rakyat, demi ketahanan ekonomi rakyat, tak ada alasan untuk tidak melindungi rakyat. Baik ketahanan pangannya, terutama nyawanya.
Meski anggaran terbatas, tak ada pegawai honorer DKI yang di-PHK. 120 ribu pegawai Penyedia Jasa Lainnya Orang Perorangan (PJLP) dipertahankan. Ini tanggung jawab pemprov DKI untuk tetap membuka lapangan kerja.
Dana bansos yang semula 188 M, dinaikkan jadi 5 T. Dengan penduduk paling sedikit di pulau Jawa, dibanding Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Banten, tapi anggaran DKI paling besar. Belum ditambah operasi Baznas DKI yang membantu program bantuan sosial dengan anggaran ratusan miliar.
Hingga satu waktu, sampailah Anies pada satu titik dilematis. Ada dana 2 triliun. Ini mau dialokasikan untuk bansos bagi 1,2 juta warga prasejahtera, atau untuk "Tunjangan Kinerja Daerah" (TKD) pegawai DKI.
Potong "TKD" pegawai, berpotensi melahirkan kekecewaan. Semangat kerja bisa kendor. Tapi, mosok sih mau korbankan warga DKI dengan memotong anggaran bansos untuk 1,2 juta warga prasejahtera?
Bagaimana menurut para pegawai? Kalau bisa, "TKD" jangan dipotong. Kalau dipotong, ya jangan banyak-banyak. Artinya, pegawai merekomendasikan potong juga jatah untuk bansos. Bagi-Bagilah... Katanya.
Hadapi rekomendasi ini, Anies tersenyum. Lalu dengan lirih gubernur DKI ini bicara: "diantara kedua pihak, yaitu pegawai dan 1,2 juta warga prasejahtera, mana yang lebih membutuhkan? Pegawai? Atau 1,2 juta warga prasejahtera itu?" Para pegawai, terutama elit strukturalnya, terdiam. "ini soal moral", lanjut Anies.
Suara lirih Anies rupanya menyentuh hati anak buahnya. Akhirnya, pegawai pun sepakat untuk diberikan hanya 50 persen TKD-nya. Dan 1,2 juta warga prasejahtera DKI terima bansos. "Utuh" . Tidak ada pemotongan.
Ini hanya soal kepekaan, social morality dan seni bagaimana memimpin. Menghargai dan tetap mengedepankan dialog. Meski dengan anak buah. Dan rakyat, terutama penerima bansos, harus memberikan apresiasi kepada seluruh pegawai Pemprov DKI. Mereka rela dipotong 50 persen TKD-nya untuk bansos.
Ternyata, bukan hanya dokter dan tenaga medis yang layak disebut pahlawan di masa pandemi Covid-19 saat ini. Tapi, gelar pahlawan pantas juga disematkan kepada para pegawai Pemprov DKI. Kalian TOP! Pakai huruf kapital semua.
Meski dipotong 50 persen, TKD pegawai DKI masih tergolong besar. Kira-kira, sama besarnya dengan take homepay pegawai kementerian yang tidak dipotong. Emang gak dipotong? Jangan nyindir ah!
Tidak hanya soal bagaimana mengamankan bansos. Anies juga keluarkan Pergub No 47 terkait kebijakan PSBB. Mewajibkan kepada siapapun yang keluar masuk DKI untuk mengurus Surat Izin Keluar-Masuk (SIKM). Diantaranya rapid test. Untuk apa? Memastikan bahwa warga DKI yang selama ini stay at home tidak tertular oleh hilir mudik para pemudik.
Anies tak ingin khianati warga DKI yang 60 persen mengarantina diri di rumah. Tak ingin khianati warga yang nahan diri untuk tidak shalat jumatan, dan mengosongkan tempat ibadah untuk sementara waktu. Tidak mau khianati pedagang Tanah Abang, Tamrin City, dan pemilik mall yang tutup.
Karena itu, siapapun tanpa kecuali, masuk Jakarta harus ada SIKM. Lalu lalang di Jakarta harus pakai masker. Kalau enggak? Denda 250 ribu. Kurang tegas? Untuk tegas, engggak perlu gebrak meja atau caci maki bro. Lebay! Sayang mulut!
Anies juga hadapi berbagai tekanan yang memintanya untuk buka mall, tempat wisata, dan sarana bisnis lainnya. Tolak! Sebab, data para ahli menyimpulkan bahwa wabah belum berakhir. Bahaya! Nyawa warga DKI itu yang utama. Meski ekonomi tetap penting.
Nah, untuk hadapi situasi dilematis, bahkan genting, perlu seorang pemimpin yang tidak saja bijak dan lurus, tapi berani pasang badan demi rakyatnya. Anies telah menunjukkan itu. Hasil survei, 80, 70 persen warga DKI puas dengan kinerja Anies. Beruntunglah warga DKI. Dan kebetulan, saya bukan warga DKI. Apa urusannya? Hehe... **
Editor | : | |
Sumber | : | Tony Rosyid |
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
- Pembantaian di Sigi Poso Sulteng, Ini Hipotesanya
0 Comments