DAKTA.COM - Oleh: Ummu Farah (Narasumber Kuliah Online WAG MQ Lovers)
Kesetaraan gender, dikenal juga sebagai keadilan adalah pandangan bahwa semua orang harus menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan identitas gender mereka, yang bersifat kodrati (Wikipedia). Kesetaraan Gender saat ini sering dianggap sebagai 'Dewa Penolong' bagi sebagian besar perempuan di dunia. Permasalahan yang saat ini jamak terjadi terhadap perempuan, seperti pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kebodohan yang melanda kaum perempuan, juga diskriminasi gaji buruh perempuan di perusahaan-perusahaan dsb, mereka anggap adalah karena dunia tidak adil terhadap perempuan, yaitu tidak diterapkannya kesetaraan gender.
Ketidakadilan yang melanda perempuan menyulut adanya ‘pemberontakan' oleh para perempuan. Hal itu tampak dengan lahirnya pahlawan-pahlawan wanita yang mereka jadikan simbol keperkasaan para wanita yang berhasil mendobrak ketidakadilan yang diterima perempuan. Mereka antara lain adalah Malala Yousafzai (gadis Afghanistan yang kepalanya ditembak oleh kelompok Taliban), Roza Shanina (Uni Sovyet), Yevdokiya Zavaliy (Ukraina), Mary E. Walker (Amerika Serikat; pendorong hak-hak perempuan dan Reformasi Berpakaian), Joan of Arc (pahlawan wanita paling berpengaruh di Perancis sampai dianggap wanita suci) dsb.
Di Indonesia kita mengenal RA Kartini. Para pengusung kesetaraan gender menganggap beliau adalah Pahlawan Emansipasi. Seruan mereka tidak surut sampai sekarang sehingga banyak wanita Indonesia yang terperdaya akan hal itu. Padahal pandangan itu sangat keliru. Sejarah beliau wajib diluruskan, agar fitnah kepada beliau tidak terjadi lagi.
Penjajah Belanda saat itu sangat takut apabila banyak penduduk pribumi yang mengenyam pendidikan, tapi karena mereka juga harus melancarkan politik balas budi, maka ada sebagian kecil pemuda-pemuda pribumi yang diperbolehkan melanjutkan sekolah lebih tinggi dan itu dikhususkan pada beberapa pemuda anak kaum ningrat dan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan RA Kartini yang cerdas, karena peraturan penjajah yang melarang anak perempuan bersekolah lebih tinggi, beliau akhirnya gigit jari.
Para pengusung gender mendalihkan bahwa beliau tidak bisa melanjutkan sekolah karena kesalahan budaya Jawa tentang pingitan terhadap anak perempuan. Padahal bukan itu masalah besarnya, permasalahan terbesar adalah pembatasan sekolah bagi anak-anak pribumi.
Tentu saja, RA Kartini muda saat itu sangat terpukul. Beliau menumpahkan kekecewaannya dalam bentuk surat-surat yang ditujukan kepada para sahabatnya di Belanda. Ini juga bukti, bahwa keluarga beliau tidak membatasi gerak perempuan. Saat itu memang beliau sempat salah sangka, bahwa kehidupan 'bebas' para wanita Belanda itu pasti sangat menyenangkan. Beliau sangat iri karena kaum wanita di bumi nusantara tidak bisa merasakan itu.
Tapi pandangan beliau berubah setelah mengenal seorang Kyai dari Semarang bernama Kyai Sholeh Darat. Beliau mendapat hadiah pernikahan saat beliau menikah, yang tak ternilai dari sang Kyai yaitu Al Qur'an beserta terjemahannya yang ditulis tangan oleh sang Kyai. Saat itu ada pelarangan penterjemahan Al Qur'an oleh pemerintah kolonial, sudah pasti kita tahu apa alasannya. Sayangnya sang Kyai meninggal sebelum bisa menyelesaikan menterjemahkan Al Qur'an. RA Kartini memperoleh terjemahan dari Ummul Kitab sampai QS. Ibrahim. Begitu bahagianya RA Kartini saat sudah mulai memahami dien-nya, karena sudah bisa mempelajari Al Qur'an.
Perhatikan surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny Abendanon:
Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis:
Saya bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat agama lain memandang Islam sebagai agama disukai.
Lalu dalam surat ke Ny Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis:
Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah.
Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902 :
"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama".
Dari surat terakhir ini semakin jelas, bahwa di akhir hidupnya (setahun setelah pernikahan dan beberapa hari setelah melahirkan putranya, Allah SWT memanggil beliau 'pulang'), beliau sama sekali tidak bertujuan mengajak kaum wanita sebagai 'pesaing' laki-laki dalam artian kesetaraan gender, tapi menginginkan wanita cakap melakukan kewajibannya yaitu menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama. **
Editor | : | |
Sumber | : | Ummu Farah |
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
- Pembantaian di Sigi Poso Sulteng, Ini Hipotesanya
0 Comments