DAKTA.COM - Oleh: Rusdianto Samawa, Alumni Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Muhammadiyah Mataram (IP UMM)
Pro kontra lockdown menjadi perbincangan hangat di media baik media sosial maupun media massa. Pemerintah didesak oleh rakyat untuk melakukan oockdown secara nasional. Tetapi, pemerintah pusat mengambil keputusan tidak begitu. Pemerintah memerangi Coronavirus Deseas (Covid-19) melalui social distancing dan psycal distancing.
Ternyata dua metode di atas dianggap tidak efektif karena masyarakat dipengaruhi oleh sistem patriarki, budaya, sosial, dan kebutuhan ekonomi.
Sementara, wabah corona terus menggempur pertahanan imun masyarakat. Korban pun berjatuhan.
Wabah corona menekan seluruh sektor yang menjadi sumber penghidupan negara mulai dari ekonomi, pertahanan, sosial, budaya, agama, hingga sistem politik.
Sektor ekonomi mengalami degradasi pendapatan karena dollar menekan rupiah hingga titik terendah sehingga berdampak pada berbagai bidang kehidupan seperti pendapatan kurang, alat tukar morat marit, ekspor menurun, impor banjiri pasar, produksi industri otomotif menurun, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dan lainnya.
Kemudian, sektor pertahanan juga mengalami kegagalan dalam pembelian alutsista yanng sudah menjadi Memorandum of Understanding (MoU) dengan beberapa negara, karena corona dianggap lebih penting daripada pembelian senjata. Zamannya senjata biologi, mestinya Indonesia pertimbangkan metode peperangan yang perlu dihadapi kedepan.
Sektor Sosial, budaya, dan agama tentu sangat berpengaruh. Beberapa daerah sudah melarang kegiatan adat istiadat, ibadah Jum'atan, dan jamaah wajib di masjid. Bahkan kegiatan pernikahan yang sudah direncanakan dan ditetapkan waktu tempat acara harus dibatalkan. Jelas, demi kehidupan lebih baik, masyarakat Indonesia menyadari bahwa Covid-19 dapat menumbangkan ribuan nyawa melayang kalau tak ada kesadaran.
Maka muncullah kesadaran kritis dan transenden masyarakat. Karena sebenarnya, masyarakat sendiri sudah patuh kepada pemerintah atas imbauan yang diterapkan. Namun, tidak bisa menutupi letupan kesadaran kritis masyarakat meluapkan kepada pemerintah yang masih membuka jalur penerbangan udara, laut, darat dan trail train: MRT, LRT, serta transportasi online.
Mengapa dua metode: Social Distancing dan Psycal Distancing dengan terapan hanya #DirumahAja?. Mestinya pemerintah lebih antisipasi pada arus perjalanan dan menutup seluruh jalur keluar masuk manusia: orang perorang dan kelompok. Karena tidak sepadan terapan dua metode di atas dengan strategi di rumah saja.
Atas kebingungan pemerintah pusat dalam kebijakan melawan Covid-19 ini, justru akan menambah berat dalam melawan Covid-19. Walaupun, peraturan protokoler kesehatan telah dibuatkan oleh pemerintah untuk mengatur hubungan kebijakan antara pusat dan daerah.
Ternyata, peraturan protokoler kesehatan itu tidak memadai dalam memerangi Covid-19 karena keterbatasan sumber daya produksi Alat Pelindung Diri (APD) tenaga kesehatan, disinfektan, alkes pernafasan, vaksin, kekurangan logistik, dan terbenturnya mekanisme penetapan anggaran. Inilah faktor besar terhalangannya penerapan protokoler.
Fakta tidak memadainya, di beberapa daerah tenaga kerja asing asal China masih tetap masuk. Artinya protokoler kesehatan yang dibuat tidak mengatur siapa yang masuk dan keluar. Protokoler dibuat hanya untuk mengatur kepala daerah yang membuat kebijakan terkait Covid-19.
Ditambah, kebijakan beberapa kepala daerah disikapi sistem berjarak dan tidak searah. Misalnya, Gubernur DKI Jakarta berkeinginan lockdown untuk menghentikan laju sebaran Covid-19. Namun, ditolak oleh pemerintah pusat. Karena dianggap dapat melumpuhkan kegiatan ekonomi usaha dan bisnis. Padahal kegiatan yang mengundang banyak orang merupakan sumber sebaran Covid-19.
Namun, demikian sebaliknya: Kota Tegal dan beberapa kota lainnya berjuang melawan Covid-19 dengan me-lockdown tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat.
Kebijakan lockdown tersebut, justru mendapat pujian dari berbagai kalangan. Namun, pemerintah pusat beralasan sudah menegur agar tidak ada lockdwon karena menganggu kegiatan ekonomi dan menurunkan daya beli masyarakat. Tetapi, pemerintah Kota Tegal bersikukuh melawan pemerintah pusat dengan argumentasi keselamatan rakyatnya.
Dinamika perseteruan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah terjadi karena munculnya kepanikan berlebihan di tengah masyarakat dan menandakan ketidaksiapan pemerintah dalam koordinasikan segala bentuk strategi dalam menghadapi wabah Covid-19.
Tentu berbeda strategi dalam menerapkan lockdown oleh pemerintah China dengan Indonesia. Lockdown Wuhan oleh pemerintah China karena sudah siap secara keseluruhan, mulai dari connectivity BigData, identitas, dan informasi seluruh warga negaranya.
Tetapi, Indonesia di satu sisi belum sepenuhnya siapsedia dalam memerangi wabah Covid-19 ini. Karena berpengaruh pada struktur penggunaan anggaran, kebutuhan pangan, keterbatasan akses, dan situasi politik.
Terutama energi elit politik lebih pada saling menyalahkan tanpa ada satu instruksi yang bisa ditaati secara bersama. Apalagi perbedaan pandangan pengamat, akademisi, aktivis, hingga pengurus partai politik meributkan sistem pembuatan disinfektan dan model masker.
Ditambah, kritiknya WHO pada pemerintah masalah penggunaan disinfektan diberbagai sentra-sentra fasilitas umum yang diduga dapat merusak tubuh manusia dan mengubah struktur lingkungan.
Dari diskursus Covid-19 ini, pemerintah mestinya lebih berpengalaman dalam menangani berbagai serangan virus. Indonesia dan 34 Provinsi yang ada memiliki jangkauan yang sangat luas. Harusnya lebih dini mempersiapkan apapun kebutuhan tenaga medis kesehatan, strategi memerangi virus dan kebijakan yang melindungi rakyat.
Kenyataannya, kurang lebih tiga bulan ini, pemerintah pusat tak banyak berbuat apa-apa. Presiden lebih banyak tampil seperti juru bicara. Sedangkan juru bicara Covid-19 lebih banyak muncul di media untuk mengumumkan hasil klasemen sementara korban Covid-19. Itulah dinamika yang ditemukan di lapangan. Seolah melawan Covid-19 ini sebuah perlombaan, siapa yang unggul itulah yang menang.
Sebenarnya, sistem politik dan pemerintahan di Indonesia sudah memadai dalam menangani Covid-19 tanpa harus berdebat panjang lebar. Tentu yang harus disesuaikan, yakni kehendak rakyat yang merespon masalah atas sesuatu yang baru, seperti lockdown. Kata Lockdown itu sesuatu yang baru tak ada dalam sistem politik pemerintahan Indonesia, tak mengenal cara-cara tersebut.
Namun, pada sistem pemerintahan daerah, berlaku "Otonomi Daerah". Semua urusan daerah bisa diserahkan kepada pemerintahan daerah untuk mengurus diri sendiri. Termasuk masalah kesehatan, ekonomi, sosial budaya, dan kesejahteraan masyarakat. Sistem otonomi daerah menjamin lockdown sesuai konstitusi.
Katakan lockdown sebagai sebuah strategi dalam memerangi Covid-19 agar tidak berlarut-larut dalam perpanjang masa karantina rakyat. Tentu lockdown banyak metode yang bisa diterapkan. Kebijakan lockdown bisa berupa penutupan sentra-sentra keramaian dan arus keluar masuk, seperti mall-mall, pelabuhan, bandara, tempat pelelangan ikan, pelayaran dan pelayanan kantor pemerintahan. Begitu juga diberbagai strata pemerintahan desa harus dikurangi kegiatan-kegiatan yang bisa jadi sumber penyebaran Covid-19.
Hal itu dikatakan lockdown juga, perihal rumus harus koordinasi dengan pemerintah pusat dalam memberlakukan lockdown itu sala satu kewajiban koordinasi yang sudah diatur dalam regulasi hubungan antara pusat dan daerah.
Namun, kebijakan pada level lockdown dilakukan oleh kepada daerah (Gubernur, Bupati dan wali kota) sudah sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi daerah itu sendiri, seperti prinsip sentralisasi dan prinsip desentralisasi, prinsip tugas pembantuan.
Otonomi Daerah juga meletakkan dasar pertimbangan aspirasi dan tuntutan rakyat untuk diperhatikan oleh kepala daerah tanpa menggurangi rasa hormat pada presiden. Itu sudah dijamin oleh konstitusi.
Karena prinsip kehadiran negara syogyanya untuk melindungi rakyat dari ancaman apapun. Negara harus bertanggungjawab. Nah, pemerintah daerah bagian dari representasi negara sebagai pelaksana administrasi.
Dengan demikian, strategi lockdwon oleh kepala-kepala daerah sudah tepat. Tentu pertimbangannya harus ada mekanisme distribusi pangan, kebutuhan makanan, kesiapan pengamanan, dan membuat pusat aktivitas - aktivitas penanganan yang baik.
Kalau pertimbangan melebarnya defisit fiskal, saat ini pun sudah mengalami defisit. Jika berlakukan lockdown lokal, maka tetap akan terjadi defisit fiskal.
Sekarang ini, minimal pemerintah pusat menimbang pusat terbesar sebaran virus corona agar dilakukan lockdown seperti daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Tanggerang, Bekasi, dan Banten) supaya penutupan arus sebaran dapat dihentikan.
Begitu juga daerah lain, mengikutinya untuk melakukan lockdown sehingga penuntasan perlawanan wabah virus corona dapat diselesaikan dengan baik. **
Editor | : | |
Sumber | : | Rusdianto Samawa |
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
- Pembantaian di Sigi Poso Sulteng, Ini Hipotesanya
0 Comments