Opini /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 28/01/2020 11:23 WIB

Perbudakan Kapal China Long Xing 902

Ilustrasi kapal
Ilustrasi kapal
DAKTA.COM - Oleh: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan Indonesia (FNI)
 
Misteri diamnya pemerintah Indonesia atas kasus pembuangan Muhammad Alfatah ke Laut atas perintah Kapten Kapal China Long Xing 902. Perlu penyelidikan secara seksama dalam waktu cepat. Pemerintah harus menuntut Perusahaan China Long Xing ke Mahkamah Internasional PBB atas perbudakan dan pembuangan yang melanggar ILO 188.
 
Sejarah perbudakan tahun 2015 lalu, diungkap Kementerian Kelautan dan Perikanan. Praktik perbudakan tersebut terjadi di Ambon dan Maluku. Korbannya, warga negara asing (WNA) dari Thailand, Kamboja, Vietnam, Myanmar, dan Laos berjumlah 323 orang di PT. PBR.
 
Beberapa hari lalu, sejarah perbudakan kembali terulang. Heboh menyakitkan. Kali ini bentuknya berbeda, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Sakitnya Alfatah diatas kapal tanpa pengobatan, pembiaran sakit merupakan bentuk pelanggaran atas HAM. Karena, Alfatah meninggal dalam keadaan tidak dilayani dan dibiarkan tanpa pengobatan. Kejamnya nurani Kapten Kapal China Long Xing 902 yang memerintahkan pembuangan mayat ke Laut.
 
Kasus Muhammad Alfatah membuat kita sangat sedih. Tak ada respon pemerintah untuk menyelidiki kasus alfatah yang merupakan seorang ABK / pelaut asal Enrekang, Sulawesi Selatan ini. Yang paling menyedihkan alasannya, karena daratan masih jauh dan ketakutan penyakitnya menular ke kru kapal lainnya. Ini sebuah anomali yang konyol. Lalu alasan itu untuk memperkuat niat mereka membuang Muhammad Alfatah ke laut.
 
Anehnya lagi, hanya bersifat pemberitahuan melalui surat dari Direktorat Jenderal Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang diterima oleh keluarga bahwa Alfatah sakit pada 18 Desember 2019 lalu saat melaut. Kaki dan wajah Alfatah disebut membengkak dengan nyeri dada dan nafas pendek.
 
Namun penyakitnya tak kunjung membaik. Pada 27 Desember 2019 sekitar pukul 13.30 waktu setempat, Alfatah dipindahkan ke Kapal Long Xing 902. Rencananya kapal tersebut, berlabuh di Samoa, negara kepulauan Samudra Pasifik dan Alfatah segera di bawa ke rumah sakit setelah mendarat. Namun, karena masih jauh dari daratan, maka dibuanglah ke laut atas perintah sang kapten.
 
Kasus diatas, betapa miris. Indonesia sebuah negara berdaulat tanpa ada pandangan dan upaya untuk membela hak warga negaranya yang sudah bekerja sebagai ABK dikapal asing. Tentu, ini pelajaran berharga bagi pemerintah, bahwa tak ada upaya apapun untuk membela, berarti mengabaikan hak-hak dasar asasi nelayan: ABK, pekerja, dan pelaut.
 
Selama ini, pekerja di laut termasuk nelayan, memang termasuk kelompok rentan yang menjadi korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan. Apalagi pembuangan Muhammad Alfatah kelaut merupakan bentuk penghinaan terhadap Hak Asasi Manusia Nelayan (HAMNEL).
 
Hukum harus ditegakkan, sebagaimana ditegakkan atas kasus Benjina pada tahun 2015 silam melalui pengadilan terhadap delapan pemilik kapal, termasuk manajer perusahaan. Mereka dihukum penjara tiga tahun dan denda sekitar Rp160 juta per orang. Lima kapal yang pekerjakan nelayan-nelayan korban itu telah dimusnahkan.
 
Begitu juga, kasus pembuangan mayat Alfatah ke laut karena alasan tidak masuk akal. Maka, pemerintah harus mengusut kasus ini. Pemerintah harus menuntut kerugian pada perusahaan dan Kapten Kapal China Long Xing 902. Karena Alfatah wajib mendapat haknya berupa gaji, asuransi, kesejahteraan, tunjangan, jaminan keamanan, jaminan masa depan, dan hak - hak lainnya. Jangan sampai pemerintah terkesan membiarkannya.
 
Berdasarkan data Kemenko Maritim, saat ini setidaknya terdapat 850.000 TKI yang bekerja di industri pelayaran dan pekerja industri perikanan, di mana 50 persen di antaranya termasuk nelayan. Seperti nelayan-nelayan lain di dunia, mereka rentan korban perdagangan manusia, eksploitasi tenaga kerja, dan perbudakan.
 
Menurut Laporan ILO yang dipublikasikan pada Forum Konsultasi di Bali tahun 2018 lalu, bahwa nelayan Asia Tenggara menghadapi kondisi bekerja yang berbahaya, termasuk nelayan Indonesia. 
 
Penyebabnya adalah jam kerja yang panjang dan tidak menentu karena tempat kerja dan tempat istirahatnya kurang bersih, kondisi cuaca dan alam yang kadang-kadang ekstrem, serta lingkungan laut yang berisiko tinggi. ILO bahkan pernah mengungkap data bahwa setiap tahun setidaknya 24.000 nelayan mati saat bekerja.
 
Semua pelaut nelayan dan ABK, baik laki-laki maupun perempuan yang bekerja di kapal, sering menerima kondisi tidak baik dalam pekerjaannya. Di sisi lain, banyak perusahaan industri perikanan juga belum memiliki standar layak untuk pekerjanya. Parahnya lagi, belum ada mekanisme regulasi untuk melindungi pekerja industri perikanan di kawasan Asia Tenggara, bahkan sekalipun Indonesia.
 
Untuk itulah, pemerintah Indonesia perlu mendorong agar negara-negara ASEAN, baik anggota maupun non anggota harus mulai menjadikan isu perlindungan nelayan sebagai prioritas. 
 
Salah satu caranya, pemerintah Indonesia menjalankan hasil konsensus saat meratifikasi Konvensi ILO 188 di Bali 3 tahun silam. Tentu yang dijalankan, yakni kesepakatan para pihak yang mengikat (konsensus) untuk melindungi HAM nelayan secara bersama-sama.
 
Pemerintah harus meningkatkan penegakan hukum atas perbudakan terhadap kasus Alfatah yang dibuang ke laut. Bisa jadi belum terpenuhi semua haknya dan kemungkinan lain juga bisa terjadi dibalik peristiwa tersebut. Maka, konsensus ILO 188 bisa menjadi acuan bagi pemerintah untuk bekerja sama di tingkat regional.
 
Pendekatan regional dalam perlindungan nelayan, ABK, dan pekerja ini penting karena karakter kapal penangkap ikan yang bergerak dari satu negara ke negara lain. Penting agar negara-negara di kawasan ini berada pada tujuan sama untuk melindungi pekerja (di industri perikanan).
 
Kerja sama untuk melindungi nelayan juga penting dilakukan di tingkat global oleh organisasi-organisasi internasional, seperti FAO, ILO, IOM, dan Interpol. FAO juga harus ikut bertanggung jawab dalam pengelolaan sumber daya perikanan, ILO dan IOM terkait dengan perikanan dan buruh migran, serta UNODC dan Interpol memimpin penegakan hukum. 
 
Semua pihak ini harus bekerja sama untuk mendorong agar semua negara memberikan perhatian lebih besar pada kasus Muhammad Alfatah ini untuk melindungi dan penegakan HAM atas perbudakan yang dilakukan Kapten Kapal China Long Xing 902.
 
Pemerintah harus menuntut ke Mahkamah Internasional atas perbudakan yang dilakukan oleh Kapal China Long Xing 902. Perlu penyelidikan secara seksama dalam waktu cepat. Pemerintah harus menuntut Perusahaan China Long Xing ke Mahkamah Internasional PBB atas perbudakan dan pembuangan yang melanggar ILO 188. **
Editor :
Sumber : Rusdianto Samawa
- Dilihat 3193 Kali
Berita Terkait

0 Comments