DAKTA.COM - Oleh : Raihanatur Radhwa (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
BNPB mencatat 169 titik di Jabodetabek dan Banten yang tergenang pasca hujan lebat berdurasi panjang. Kota Bekasi merupakan daerah yang paling banyak titik banjirnya. Meski sudah surut, banjir menyisakan duka yang belum hanyut.
Beberapa korban banjir masih mengalami kesulitan bahan makanan dan pakaian ganti. Sebagian lagi masih berada di pengungsian. Sisanya bergiat memulihkan kondisi pasca banjir. Tak terbilang harta benda hancur. Rumah seisinya penuh lumpur. Mobil-mobil bertumpuk, ringsek bak kerupuk.
Analisa manusia bermacam-macam rupanya. Menteri PUPR buka suara bahwa daerah yang tergenang karena normalisasi sungai yang tak sempurna. Gubernur DKI tak mau diam. Banjir ini akibat bumi yang tak mau menelan air.
Air hujan harusnya diserap tanah, bukan dialirkan ke laut. Begitu menurutnya. Ditambah media dengan framing membingkai banjir sesuai kepentingan tuannya. Banjir itu fakta. Tapi berita tentang banjir ternyata politis juga.
Solusi Mental Karena Kapitalisme
Menyudahi banjir memang tak cukup satu cara saja karena multifaktor penyebabnya. Maka salah bila perdebatan berkepanjangan hanya mencari jawaban normalisasi atau naturalisasi yang diutamakan.
Perdebatan itu hanya menyoroti sungai sebagai salah satu nadi aliran air. Tapi selayaknya kita tak menutup mata pada curah hujan yang tinggi yang seharusnya bisa diprediksi dengan teknologi. Harusnya mengevaluasi pula penggunaan lahan sebagai ruang meresapnya air ke dalam tanah.
Untuk jangka pendek normalisasi perlu dilakukan. Apalagi dengan jumlah penduduk yang tinggal di kiri kanan sungai. Mengeruk lumpur yang membuat dangkal sungai, mengeruk sampah yang menyumbat aliran, dan mengembalikan lebar sungai terbilang urgen. Memang tak mudah karena sudah terlanjur banyak penduduk mengakuisisi. Kebanyakan dari mereka tentu saja masyarakat miskin yang tak mampu memenuhi kebutuhan tempat tinggal di kawasan yang layak. Selain kawasan yang layak untuk tinggal pun sudah penuh penduduk.
Solusi jangka pendek lainnya adalah membangun bendungan. Upaya ini telah dilakukan dengan proyek Bendungan Ciawi dan Cimahi yang direncanakan rampung akhir tahun 2020 (Kompas.com, 03/01/2020). Selain itu menambah ruang terbuka hijau juga diupayakan oleh Pemerintah dengan rencana membongkar villa-villa yang tak taat aturan. Pemprov DKI juga menyiapkan anggaran untuk membeli lahan resapan air di daerah Bogor.
Nyatanya, rencana-rencana tersebut baru terungkap saat banjir sudah terjadi. Korban telah merugi. Selama ini program jangka pendek untuk mengantisipasi banjir telah kalah prioritas dari infrastruktur jalan tol. Penentuan prioritas ternyata bukan diukur dari keselamatan masyarakat tapi dari multiflier effect yang hanya bersifat ekonomi.
Solusi jangka pendek hanya bersifat mengurangi. Solusi jangka pendek tak akan menyelesaikan secara tuntas maka akan tetap butuh solusi jangka panjang . Mengembalikan naturalisasi sungai dan penataan ruang berkelanjutan penting dilakukan.
Sungai membutuhkan sempadan yang menjadi jarak aman antara badan air dengan komponen terbangun di daratan. Pinggiran sungai membutuhkan vegetasi yang dapat menahan arus sungai agar tak terjadi pengikisan dinding sungai.
Karena kanalisasi yang bersifat massif dari hulu ke hilir, air yang masuk ke sungai hampir dapat dikatakan secara utuh teralirkan ke laut. Tak ada vegetasi, tak ada yang menahan arus sungai yang besar saat hujan lebat. Jebolnya tanggul tak terelakkan.
Pengaturan tata ruang untuk kawasan resapan air wajib diupayakan untuk mencegah banjir terulang. Ruang terbuka hijau harus dijaga bahkan perlu ditambah. Selama ini, penuhanan terhadap investasi terutama bidang properti mengalahkan kepentingan ekologi berkelanjutan. Banyak sekali lahan yang direncanakan sebagai area resapan air justru menjadi permukiman elit.
“Pada tahun 1970-an menurut rencana induk, Kota Depok mengumpulkan ratusan hektare untuk waduk agar curah hujan bisa ditampung di situ. Nyatanya kini tanah itu jadi perumahan mewah” cuit Karni Ilyas merespon banjir waktu lalu.
Pengamat perkotaan Universitas Trisakti Nirwono Joga menyatakan bahwa banyak kawasan resapan di Jakarta telah berubah fungsi menjadi kawasan elit dan pusat-pusat bisnis. Ia mencontohkan kawasan Mall Taman Anggrek Slipi yang beralih fungsi dari kawasan hutan kota menjadi pusat pertokoan.
Senada dengan hal itu, pakar tata ruang kota Yayat Supriyatna menyampaikan bahwa acapkali Pemerintah Daerah menggenjot pariwisata di area resapan air untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Begitulah solusi jangka pendek dan panjang itu akan mental oleh paradigma dan sistem kapitalis yang bercokol. Normalisasi terhadang opini dianggap tidak pro rakyat miskin pinggiran kali, peluang terpilih lagi menjadi pejabat akan tereduksi.
Naturalisasi butuh biaya banyak tak ada anggaran pembebasan lahan, anggaran tersedot pada proyek ramah ekonomi meski tak ramah ekologi. Pengendalian tata ruang kalah oleh dorongan investasi properti dan kebutuhan lahan untuk permukiman penduduk yang mengais penghidupan di megapolitan Jakarta akibat memusatnya peredaran uang di ibu kota.
Butuh Penerapan Islam Komprehensif
Banyaknya variable yang menjadi penyebab banjir baik langsung maupun tidak langsung akan terurai oleh penerapan syariah Islam. Hanya saja syariah Islam akan benar-benar menjadi solusi bagi persoalan masyarakat hanya bila diterapkan menyeluruh.
Menyelesaikan banjir misalnya, tak mungkin hanya diselesaikan dengan penataan ruang yang Islami saja. Realisasinya tentu membutuhkan sokongan dari sistem lain agar dapat berjalan semestinya.
Anggaran akan melimpah jika kekayaan alam dikelola sesuai kepemilikan dalam Islam. Anggaran akan fleksibel dan responsif kalau diterapkan sistem keuangan Baitul maal yang berbasis kekinian (real time) bukan berdasarkan APBN tahunan yang bersifat mengunci.
Rakyat pinggiran yang menguasai bantaran kali diselesaikan dengan distribusi ekonomi ala sistem ekonomi Islam. Dalam kitab Nidzomul Iqthisodi fil Islam, Taqiyudin An-Nabhani menyatakan salah satu penentuan pembangunan prioritas didasarkan pada terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, terutama keselamatan nyawa.
Oleh karena itu, pembangunan sarana prasarana prioritas di wilayah-wilayah pelosok akan digalakkan. Secara tak langsung akan menggerakkan ekonomi ke luar ibukota. Lapangan kerja baru akan tercipta di sana.
Sistem sanksi menjadi sandaran kokohnya pengendalian tata ruang dengan visi syariah. Pembangunan-pembangunan yang tak sesuai rencana tata ruang, meskipun perumahan elit wajib dibongkar karena itu kezaliman untuk masyarakat luas.
Pejabat yang memberi izin pendirian bangunan di area resapan air boleh diadukan lewat Mahkamah Mazalim. Rakyat boleh menuntut kepada qodhi hisbah atas pelanggaran hak jamaah atas lahan resapan air apabila pelakunya adalah perorangan atau pihak swasta. **
Editor | : | |
Sumber | : | Raihanatur Radhwa |
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
- Pembantaian di Sigi Poso Sulteng, Ini Hipotesanya
0 Comments