Ahad, 15/09/2019 13:38 WIB
Strategi Kuasai Konstitusi Demi Lancarkan Korupsi
DAKTA.COM - Oleh: Sururum Marfuah Hash (Mahasiswa IPB University)
Revisi UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK didasari oleh beberapa alasan dari pemerintah. Wakil Presiden Jusuf Kalla menyampaikan beberapa alasan, yakni UU yang sudah berusia 17 tahun dan termasuk bagaimana ketakutan yang luar biasa atas pejabat negara dan pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) karena apabila salah dalam mengambil keputusan maka akan ditangkap KPK, menurut Jusuf Kalla hal tersebut dapat membuat sistem pemerintahan tidak berjalan dengan sempurna (CNBC, 11/9/2019).
Beberapa sisitematika dasar berubah dengan adanya revisi UU, mulai dari pemilihan ketua KPK oleh Presiden, status pegawai KPK yang awalnya independen menjadi ASN, dan lembaga KPK yang awalnya harus independen kemudian menjadi lembaga negara.
Tentu hal ini sangat mengganjal baik itu secara susbtansi maupun secara hukum, karena apabila Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) melepaskan kemandiriannya, maka tangan-tangan kekuasaan bisa berbuat sesukanya dan bertindak seenaknya, akibatnya konstitusi KPK yang bertujuan untuk mengurangi korupsi dan membuat jera para koruptor, maka dengan revisi tersebut justru akan memperlancar korupsi. Akhirnya korupsi pun akan berlindung dibalik konstitusi.
Terlebih pemerintah adalah tangan pertama yang bertugas untuk mengizinkan masuk atau tidaknya investor-investor kapitalis serta kekuasaan dan kewenangan untuk mengizinkan dikuasai atau tidaknya aset-aset negara, maka tentu jalan untuk memanipulasi data dan meraup keuntungan dibalik kekuasaan mengendalikan konstititusi yang diraih sangatlah besar. Apabila UU KPK tetap dilaksanakan maka siapapun ketua KPK-nya, tentu akan dikendalikan oleh konstitusi yang telah disahkan.
Berapa banyak kekayaan sumber daya alam yang bisa dijual, berapa banyak lahan yang dapat diinvestasikan dan berapa banyak infrastruktur yang membutuhkan permodalan, semua itu tidak lepas dari kapitalisasi yang telah menyistemkan penguasa dan semakin kuat apabila mendapatkan dukungan oleh konstitusi yang telah terintervensi.
Paradigma penguasa membutuhkan perombakan yang luar biasa, terutama dalam melayani, mengurusi, dan melindungi rakyat. Bahwa kepada pemimpinlah rakyat berharap untuk dimanusiakan di tanah kelahirannya sendiri dan sejahtera di atas kakinya sendiri, bukan justru menjadikan rakyat sebagai komoditas komersialisasi dengan menjadikannya sebagai objek untuk dipalaki.
Apalah gunanya infrastruktur yang mewah jika rakyat tercekik untuk membayar? Apalah gunanya kekayaan alam yang melimpah jika pada akhirnya dieksploitasi dengan brutal oleh pemilik modal? Lalu rakyat hanya mendapatkan asap dan bencana lingkungan.
Mengubah konstitusi UU KPK dengan alasan-alasan diatas bukanlah solusi untuk negeri, apalagi untuk memberantas korupsi, justru melindungi segala kezaliman yang akan semakin merusak negeri ini. **
Editor | : | |
Sumber | : | Sururum Marfuah Hash |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments