Rabu, 14/08/2019 14:40 WIB
Pajak Mencekik, Neoliberalisme Biangnya!
DAKTA.COM - Rizki Sahana (Pengamat Kebijakan Publik)
Corak neoliberalisme semakin kentara dalam mengelola negara. Kebijakan menggenjot pendapatan melalui sektor pajak adalah bukti bahwa hipotesis tersebut bukan isapan jempol semata.
Ini tak lepas dari campur tangan Internasional Monetary Fund (IMF) yang memberi pengaruh signifikan terhadap pengambilan kebijakan. Rekomendasi IMF atas hasil assessment terhadap perekonomian Indonesia dalam laporan bertajuk Article IV Consultation tahun 2019 adalah kenyataan tak terelakkan.
Setelah menyoroti kinerja penerimaan negara yang masih rendah, terutama pajak, IMF menganjurkan Strategi Penerimaan Jangka Menengah atau Medium-Term Revenue Strategy (MTRS) untuk diterapkan pemerintah khususnya Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Menurut IMF, MTRS mewakili peta jalan reformasi sistem perpajakan yang komprehensif karena menyentuh hampir semua aspek perpajakan, termasuk PPN, cukai, PPh Badan, PPh Orang Pribadi, pajak properti, dan administrasi pajak.
Gayung pun bersambut. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan memperingatkan wajib pajak, mereka tak bisa lagi menghindarkan diri dari membayar pajak.
Sri Mulyani mengatakan, Ditjen Pajak kini bisa mengendus harta sekalipun disembunyikan. Melalui pertukaran data perpajakan secara otomatis atau Automatic Exchange of Information (AEoI), negara-negara yang tergabung di dalamnya akan mendapatkan data informasi perpajakan secara otomatis.
Selain itu, tagline ''bayar pajak semudah isi pulsa'' kini gencar diwacanakan. Tagline yang merupakan ide orisinil Menkeu Sri Mulyani tersebut akan ditindaklanjuti dalam bentuk kerjasama Ditjen Pajak dengan e-commerce seperti Tokopedia, ditujukan untuk mempermudah pembayaran pajak.
Luar biasa! Tampak demikian nyata rakyat semata 'sapi perah' untuk beragam pungutan pajak. Kebijakan neoliberal menghisap habis potensi ekonomi rakyat tanpa ampun. Dengan seluruh instrumennya, negara seakan absah memeras rakyat melalui kebijakan pajak. Padahal negara seharusnya mengemban amanat melindungi, mengayomi, serta mensejahterakan warga negaranya.
Sungguh berbanding terbalik dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara hanya boleh memungut pajak dalam keadaan yang sangat terpaksa. Pajak diposisikan sebagai solusi paling akhir dalam menyelesaikan problem keuangan negara.
Itupun dengan syarat-syarat yang ketat, seperti pemanfaatannya hanya untuk kebutuhan urgen dan mendasar umat, juga untuk menunaikan kewajiban agama. Pajak juga hanya diambil dari orang-orang yang mampu/kaya saja, serta diberlakukan hanya sementara saat dibutuhkan. Ketika kebutuhan sudah tercover, maka pungutan pajak harus dihentikan.
Pendapatan yang besar dari kharaj, jizyah, ghanimah, juga pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, membuat negara memiliki ketangguhan ekonomi tak tertandingi. Bahkan pajak mungkin saja tidak akan pernah diberlakukan mengingat besarnya kas negara untuk menjamin urusan manusia.
Karena itu, sudah saatnya kita segera melepaskan diri dari jeratan neoliberalisme dalam mengelola negara. Sungguh, dengan pengelolaan yang benar, kekayaan SDA Indonesia yang membentang luar biasa dari Timur ke Barat, akan mampu menyejahterakan seluruh rakyat tanpa terkecuali. **
Editor | : | |
Sumber | : | Rizki Sahana |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments