Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 05/08/2019 11:56 WIB

Publikasi Jurnal Internasional Untuk Siapa?

Ilustrasi Jurnal
Ilustrasi Jurnal
DAKTA.COM - Oleh: Sururum Marfuah Hash
 
Terkenal kaya dalam berinovasi tentu merupakan nikmat yang patut untuk kita syukuri. Baru-baru ini Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mengungkapkan bahwa saat ini Indonesia memiliki publikasi ilmiah internasional terbanyak di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) (Republika, 24/7/2019). 
 
Wajar jika upaya mempublikasikan inovasi dalam bentuk jurnal secara internasional terus digencarkan karena ini merupakan salah satu standar untuk unjuk ke-intelektualan suatu bangsa, terlebih pada institusi kampus yang didorong untuk dapat masuk ke peringkat dunia (QS Rangking) yang indikator utamanya adalah seberapa banyak inovasi yang mampu untuk dipublikasikan. 
 
Inovasi yang baik tentu adalah inovasi yang mampu bermanfaat baik bagi manusia, makhluk hidup, maupun lingkungan. Namun apa jadinya apabila kita tidak memahami fungsi, tugas, serta siapa yang perlu berperan dari inovasi tersebut? Tentu yang ada adalah inovasi tersebut justru dapat membahayakan bahkan mampu menutup mata masyarakat dari kepentingan yang berbahaya oleh kapitalis, karena penggiringan yang membuat kita hanya fokus pada pengembangan inovasi namun tidak memahami permasalahan apa yang sedang mendorong inovasi tersebut. 
 
Berdasarkan data dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) hingga per 8 Mei 2018, publikasi ilmiah internasional sebanyak 8.269 jurnal atau berhasil melampaui Singapura yang berjumlah 6.825 jurnal.
 
Pada beberapa inovasi yang telah terpublikasi, tentu tidak mudah untuk menyelesaikannya. Banyak yang harus mengorbankan tenaga bahkan materi untuk bisa menyelesaikan penelitian dan inovasinya agar layak untuk dipublikasi. 
 
Bahkan ketika hasil penelitian itu akan dipublikasi untuk menuju tahap internasional mahasiswa, dosen atau akademisi perlu membayar hasil jerih payahnya kepada Scopus atau layanan pengaksesan jurnal lainnya agar “diakui” secara internasional. 
 
Kemudian apabila hasil publikasi tersebut ingin diakses maka pengakses harus merogoh kocek yang tidak sedikit untuk bisa mengaksesnya. Peristiwa ini marak terjadi pada dunia pendidikan, terutama institusi kampus. Di Indonesia, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek-Dikti) harus mengeluarkan uang senilai Rp14,82 miliar untuk berlangganan database jurnal. 
 
Maka dari permasalahan ini kita perlu kembali bertanya, lantas untuk siapakah sebenarnya semua publikasi ini? Untuk yang mampu saja? Bukankah begitu? Inovasi dalam riset semuanya tentu membutuhkan modal yang tidak sedikit terutama jika diimplementasikan oleh negara, lantas negara mana yang mampu memanfaatkan inovasi tersebut? Bukankah negara maju? Bukankah Negara yang kuat dalam modal? Jika begitu lantas bukankah itu artinya kita sedang melanggengkan yang maju untuk semakin maju? Dan semakin terlihatlah kesenjangan antara negara maju dan berkembang. 
 
Kita perlu menyadari bahwa kita terjebak pada komersialisasi ilmu pengetahuan, dimana seluruh aspeknya telah digerogoti oleh standar kehidupan yang salah yakni “materi”, sehingga apabila tidak menguntungkan dalam hal materi maka ilmu pengetahuan itu hanya dianggap layaknya sampah.
 
Lemahnya peran negara untuk mandiri dan berdaulat dalam ilmu pegetahuan tiada lain karena sistematika pendidikan dan ilmu pengetahuan tersebut berkiblat pada negara-negara Barat. Maka sampai kapan kita akan terjebak pada kesalahan yang telah berulang kali ini? **
Editor :
Sumber : Sururum Marfuah Hash
- Dilihat 2497 Kali
Berita Terkait

0 Comments