DAKTA.COM - Oleh: Eli Ermawati
Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), M Yani mengatakan film Dua Garis Biru yang baru tayang di bioskop ini dapat membantu BKKBN dalam menjangkau remaja Indonesia lebih luas dengan program Generasi Berencana (GenRe).
Hal senada juga disampaikan oleh Deputi Bidang Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi (KBKR) dr Dwi Listyawardani bahwa dalam menyampaikan sosialisasi mengenai kesehatan reproduksi, perencanaan kehidupan, dan nilai-nilai lain kepada remaja memang lebih tepat dengan menggunakan media film.
Film Dua Garis Biru ini mengisahkan sepasang remaja yang melampaui batas dalam berpacaran sehingga berujung pada pernikahan usia dini. Film serupa juga pernah ditayangkan sebelumnya seperti film Dilan, Kucumbu Tubuh Indahmu yang diboikot oleh beberapa pemerintah kota. Film tersebut jelas memberikan contoh yang tidak baik. Apalagi di negara mayoritas Muslim, pantasnya kita melarang agar film tersebut tidak ditayangkan.
Jika kita amati tontonan dan film-film saat ini banyak yang tak layak untuk menjadi asumsi masyarakat, terutama pada anak-anak dan remaja. Karena kebanyakan film yang beredar itu mengandung unsur negatif yang bisa mempengaruhi rusaknya moral seseorang. Bahkan film kartun yang dikemas untuk anak-anak.
Penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa tontonan dapat mempengaruhi manusia untuk meniru dari apa yang telah ditonton, (detikHOT, Rabu 1/5/2019).
Cepat atau lambat dapat mempengaruhi kepribadian seseorang, faktanya banyak pelajar tingkat SMA, SMP dan bahkan SD yang berpacaran atau menjalin hubungan asmara tanpa ikatan pernikahan, padahal dalam Islam zina itu dilarang. Firman Allah Swt :
“Dan janganlah kamu mendekati zina; (zina) itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Qs. Al Isra:32)
Mereka adalah korban daripada tontonan yang tidak baik itu. Dalam hal ini peran orang tua sangat penting untuk mengontrol dan memperhatikan anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam pergaulan yang salah.
Jadi tidak tepat jika Dwi Listyawardani mengatakan film tersebut bisa menjadi edukasi kesehatan reproduksi kepada remaja yang menontonnya. Jika memang pemerintah ingin mengatasi pernikahan usia dini yang harus ditempuh adalah memberikan pemahaman tentang pernikahan itu sendiri bagaimana jadinya jika berumahtangga tidak disertai kesiapan ilmu yang matang dan mental yang kuat juga bahaya dari pergaulan bebas.
Hidup dengan sistem Liberal atau serba bebas ini kita harus bisa mengendalikan diri agar tidak terjerumus kedalamnya. Jadi pada dasarnya film tersebut dibuat demi kepentingan semata, tujuan si pembuat film dengan bisnis yang menjanjikan keuntungan, bagaimanapun filmnya mereka hanyalah mencari keuntungan.
Pemerintah harus bisa mengendalikan produksi film, bukan malah memberikan kebijakan yang bebas pada investor asing untuk membiayai produksi film. Karena kunci pembangunan sebuah negara ada pada manusianya, jika generasi pemudanya saja disuguhi tontonan yang bisa menjerumuskan perilaku amoral maka kehancuranlah yang didapat. **
Editor | : | |
Sumber | : | Eli Ermawati |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments