Nasional / Politik dan Pemerintahan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 15/07/2015 09:42 WIB
Kolom Sa'duddin

Pengaturan Hak Politik Warga Negara

Saduddin
Saduddin

JAKARTA_DAKTACOM: Sejak lahirnya NKRI tahun 1945, negara telah menjunjung tinggi pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM). Sikap tersebut nampak dari Pancasila dan UUD 1945, yang memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan HAM warga negara. Sehingga pada praktek penyelenggaraan negara, perlindungan atau penjaminan terhadap HAM dan hak-hak warga Negara (citizen’s rights) atau hak-hak constitusional warga Negara (the citizen’s constitusional rights) dapat terlaksana.

Hak-hak warga negara (citizen’s rights) yang di atur negara meliputi (a) Hak untuk hidup; (b) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan; (c) Hak mengembangkan diri; (d) Hak memperoleh keadilan; (e) Hak atas kebebasan pribadi; (f) Hak atas rasa aman; (g) Hak atas kesejahteraan; (h) Hak turut serta dalam pemerintahan; (i) Hak wanita; dan (j) Hak anak. Pada poin (h) secara nyata Negara memberikan pengakuan kepada setiap warga Negara untuk ikut serta dalam pemerintahan yakni adanya hak politik, meliputi hak memilih dan dipilih.
 
Hak Politik Sebagai Bagian Dari Hak Asasi
 
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar(basic right) setiap individu atau warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh Negara. Ketentuan mengenai ini, diatur dalam Pasal 1 ayat (2), Pasal 2 ayat (1), Pasal 6A (1), Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 22C (1) UUD 1945. Perumusan sejumlah pasal tersebut sangat jelas bahwa tidak dibenarkan adanya diskirminasi mengenai ras, kekayaan, agama dan keturunan. Ketentuan UUD 1945 di atas mengarahkan bahwa negara harus memenuhi segala bentuk hak asasi setiap warga negaranya, khususnya berkaitan dengan hak pilih setiap warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Pemilihan Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Indonesia. Makna dari ketentuan tersebut menegaskan bahwa segala bentuk produk hukum perundang-undangan yang mengatur tentang Pemilu, Pilpres dan Pilkada,  khususnya mengatur tentang hak pilih warga negara, seharusnya membuka ruang yang seluas-luasnya bagi setiap warga negara untuk bisa menggunakan hak pilihnya, sebab pembatasan hak pilih warga negara merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Sementara hak dipilih secara tersurat diatur dalam UUD 1945 mulai Pasal 27 ayat (1) dan (2); Pasal 28, Pasal 28D ayat (3), Pasal 28E ayat (3). Pengaturan ini menegaskan bahwa negara harus memenuhi hak asasi setiap warga negaranya, khusunya dalam keterlibatan pemerintahan untuk dipilih dalam event pesta demokrasi yang meliputi Pemilu, Pilpres dan Pilkada.   

International Covenant On Civil And Political Rights (ICCPR 1966) berkaitan dengan hak politik warga negara menegaskan dalam Pasal 25 bahwa “Setiap warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk tanpa pembedaan apapun dan tanpa pembatasan yang tidak wajar untuk berpartisipasi dalam menjalankan segala urusan umum baik secara langsung maupun melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas, selanjutnya untuk memilih dan dipilih pada pemilihan berkala yang bebas dan dengan hak pilih yang sama dan universal serta diadakan melalui pengeluaran suara tertulis dan rahasia yang menjamin para pemilih untuk menyatakan kehendak mereka dengan bebas, dan untuk mendapatkan pelayanan umum di negaranya sendiri pada umumnya atas dasar persamaan. Ketentuan di atas ditujukan untuk menegaskan bahwa hak politik, memilih dan di pilih merupakan hak asasi. Pembatasan, penyimpangan, peniadaan dan penghapusan hak tersebut merupakan bentuk pelanggaran hak asasi warga negara.

Menurut ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya”. Lebih lanjut menurut ketentuan Pasal 43 ayat (1) UU ini, dinyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan”. Kedua ketentuan pasal di atas jelas menunjukkan adanya jaminan yuridis yang melekat bagi setiap warga Negara Indonesia itu sendiri untuk melaksanakan hak memilihnya.
 
Pembatasan Hak Politik
 
Pelaksanaan HAM bukanlah sesuatu yang bersifat absolut dan mutlak, sangat dimungkinkan adanya ruang pembatasan untuk menjamin hak dan kebebasan orang lain serta memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Hal ini ditegaskan dalam ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, dinyatakan bahwa “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undang (UU) dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”.

Berdasarkan ketentuan Pasal 28 J ayat (2) di atas, jelas menunjukkan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, dimungkinkan adanya pembatasan. Pembatasan sebagaimana dimaksud pada ketentuan pasal tersebut harus diatur dalam UU, artinya tanpa adanya pengaturan tentang pembatasan tersebut maka tidak dimungkinkan dilakukannya pembatasan terhadap pelaksanaan hak dan kebebasan yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia.

Kerangka hukum ini perlu untuk dipahami secara bersama dalam rangka memaknai “hak” yang telah diakui dan diatur secara hukum di Indonesia. Apabila mengacu pada ketentuan yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, sepintas menunjukkan adanya bentuk pelanggaran hukum terhadap jaminan hak politik yang melekat pada warga negara Indonesia. Adanya ruang untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang melekat pada setiap orang dan warga negara Indonesia, melahirkan pengaturan bahwa hak politik tersebut dimungkinkan untuk tidak melekat pada semua warga negara Indonesia. Artinya, hak politik tersebut diberikan pembatasan-pembatasan sehingga warga Negara yang diberikan jaminan untuk memiliki hak politik tersebut benar-benar merupakan warga negara yang telah memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
 
Ketentuan Pembatasan Hak Politik
 
Adanya pembatasan hak politik warga negara memberikan ruang perdebatan yang cukup alot tidak hanya di kalangan penyelenggara negara; eksekutif, legislatif dan yudikatif, akan tetapi juga di kalangan akademisi, LSM, pengamat dan media. Ini dimungkinkan karena adanya berbagai pandangan berbeda atas ketentuan yang ada dalam perundang-undangan yang masih bersifat fleksibel untuk ditafsirkan.
           
Sumber rujukan yang dijadikan dasar pembatasan yakni, Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945, menjelaskan bahwa pembatasan dimungkinkan atas pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Semua dasar pertimbangan tersebut sangat bersifat subjektif dan membuka lebar ruang perdebatan yang begitu luas.

Sejauh ini, beberapa regulasi telah dikeluarkan terkait adanya pembatasan hak politik warga negara guna terjaminnya hak dan kebebasan orang lain serta menciptakan rasa keadilan demi mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Namun, selalu saja menimbulkan pro dan kontra yang begitu besar di sejumlah kalangan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan gangguan stabilitas keamanan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
           
Kiranya ke depan perlu dibuat sebuah rumusan baku yang merupakan penjabaran atas ketentuan Pasal 28 J ayat (2) UUD 1945 dalam format UU yang lebih memberikan kejelasanan dan mengeliminir perbedaan tafsir yang begitu luas terhadap pembatasan hak politik warga negara. Yang nantinya dapat dijadikan sebagai rujukan bagi peningkatan kualitas demokrasi.    
 

SA’DUDDIN
Anggota Komisi II DPR RI
Fraksi Partai Keadilan Sejahtera

Reporter :
Editor :
Sumber : Redaksi
- Dilihat 357943 Kali
Berita Terkait

0 Comments