Rabu, 10/07/2019 08:52 WIB
Bahaya Utang Bank Dunia untuk Madrasah Agama
DAKTA.COM - Oleh: Ayin Harlis (Narasumber Kajian Muslimah MQ Lovers Bekasi)
Dalam rangka mendukung program peningkatan mutu madrasah dasar dan menengah di Indonesia, Bank Dunia menyetujui pinjaman senilai US$250 juta atau setara Rp3,5 triliun. Pinjaman ini akan disalurkan melalui program Realizing Education's Promise.
Melalui proyek tersebut pemerintah akan membangun sistem perencanaan dan penganggaran elektronik berskala nasional untuk mendorong belanja yang lebih efisien oleh sumberdaya di bawah naungan Kemenag.
"Melalui proyek ini, sekitar delapan juta siswa sekolah dasar dan menengah akan mendapat manfaat dari peningkatan manajemen sekolah, sistem data pendidikan, dan proses belajar-mengajar," terang Komaruddin, Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag (cnnindonesia.com, 28/06/2019).
Bagi sebagian masyarakat, disetujuinya pinjaman dalam jumlah yang fantastis untuk pengembangan madrasah menjadi kabar menggembirakan. Seolah-olah akan membuka ruang yang lebih lebar untuk kemajuan pendidikan Islam. Padahal, apabila ditelaah lebih dalam terdapat banyak catatan yang seharusnya dipertimbangkan ulang.
Pertama, karena dana bersifat pinjaman maka harus jelas mekanisme pembayarannya, siapa yang wajib membayar, dan mengandung riba atau tidak. Inilah salah satu yang dikhawatirkan oleh Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yunahar Ilyas.
Menurutnya, Kementerian Agama tentu berbeda dengan Kementerian PUPR atau Kementerian Perdagangan dan Perindustrian. Penggelontoran dana pinjaman untuk kementerian tersebut bisa menghasilkan profit karena jenis pembangunannya sengaja dikomersialkan seperti jalan tol. Apabila nantinya murid yang diminta membayar pinjaman tersebut, maka proyek ini dapat dikatakan memberatkan. Bukan untung malah buntung.
Kedua, proyek yang didanai oleh pinjaman Bank Dunia ini merupakan program peningkatan kualitas sosial. Proyek semacam ini lebih sering memiliki standar keberhasilan yang bersifat abstrak. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Maksum Machfoedz menanggapi soal dana pinjaman ini dengan nada kekhawatiran.
Apabila pengelolaan dana ini tidak efektif maka akan terjadi peluang korupsi pada dana triliunan ini (republika.co.id, 20/06/2019). Apalagi Kementerian Agama saat ini sedang disorot oleh publik setelah kasus OTT Romahurmuziy terkait korupsi jual beli jabatan yang menyeret hingga ke tingkat Menteri.
Ketiga, persoalan yang harus dijawab adalah efektivitas dan distribusi penggunaan dana pinjaman yang jumlahnya terbilang tak sedikit ini. Pengamat Pendidikan Islam dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menilai upaya peningkatan kualitas pendidikan madrasah di Indonesia belum merata.
Masih ada dikotomi madrasah negeri dan swasta padahal anak didik yang bersekolah di madrasah swasta pun banyak. Selain itu, Jejen menambahkan bahwa peningkatan kualitas pendidikan tidak bisa dilakukan tanpa dibarengi pembangunan sarana prasarana yang di lapangan juga masih memprihatinkan. Bahkan yang lebih disayangkan Jejen menduga dana ini akan dinikmati oleh madrasah yang didirikan oleh yayasan dari ormas tertentu.
"Saya menduga selama ini kue di Kementerian Agama hanya dinikmati oleh madrasah punya ormas tertentu,” ujarnya (republika.co.id, 26/06/2019).
Keempat, proyek dana pinjaman ini menargetkan proses belajar mengajar termasuk kurikulum dan pembinaan sumber daya pendidik, di samping penataan sistem media informasi dan tata kelola. Pada upaya pencapaian target tersebut tentu standar keberhasilan harus sejalan dengan arah ideologi kreditor, yaitu Bank Dunia.
Komarudin mengatakan bahwa dana pinjaman ini sejalan dengan upaya Kementerian Agama tengah gencar mempromosikan moderasi beragama, yang merupakan konter terhadap narasi radikalisme dan ekstremisme (republika.co.id, 30/06/2019).
Inilah yang menjadi daya tawar menggiurkan bagi Bank Dunia untuk bersedia mencairkan dana pinjaman yang besar. Padahal labelisasi radikal dan ekstrimis masih debatable serta muncul sebagai reaksi Barat terhadap kebangkitan gerakan Islam politik.
Islam memandang dana pinjaman dari luar negara tidaklah haram sepenuhnya. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi pada kebolehan utang luar negeri. Di antaranya tidak ada riba, tidak membahayakan kemaslahatan umat, tidak mengancam kedaulatan negara. Namun, Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Politik Ekonomi dalam Islam menegaskan bahwa utang luar negeri untuk pembangunan bidang-bidang strategis negara sama saja dengan bunuh diri politik.
Pendidikan sebagai pilar pembangunan sumber daya manusia negara tidak layak disandarkan pada ketergantungan utang luar negeri. Apalagi utang tersebut memberi celah pihak luar mereduksi pemikiran-pemikiran Islam di benak generasi muslim. Allah ‘Azza wa Jalla melarang memberikan jalan apapun bagi orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman dalam firman-Nya:
“Dan sekali-kali Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.” (QS. Al-Nisâ’ [4]: 141)
Islam mengarahkan pendidikan dibiayai oleh pos kepemilikan umum dari baitul maal. Pos kepemilikan umum akan penuh dengan pendapatan negara yang berasal dari kekayaan alam yang dikelola negara. Sayangnya, sumber pendapatan di pos ini jadi bancakan perusahaan asing di negeri kita. **
Editor | : | |
Sumber | : | Ayin Harlis |
- Kabupaten Bekasi Tentukan Pemimpinnya Sendiri, Sejarah Baru dan Terulangnya Pilkada 2012
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
0 Comments