Opini /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 13/07/2016 08:57 WIB

Pengelolaan Perumahan di dalam Sistem Islam

Ilustrasi perumahan 1
Ilustrasi perumahan 1

Pengelolaan Perumahan di dalam Sistem Islam
Oleh : Hanjaeli (Pebisnis Property Syariah)


Rumah termasuk kebutuhan primer bagi manusia. Tanpa rumah, manusia akan celaka dan binasa. Karena, rumah memiliki fungsi untuk melindungi manusia dari berbagai ancaman luar. Tanpa rumah, hidup manusia juga menjadi tidak layak. Karena, rumah juga berfungsi sebagai tempat kegiatan belajar-mengajar, ekonomi, sosial, ibadah, rekreasi, pengobatan, dan sebagainya.

Akan tetapi, memiliki rumah di era sekarang bukanlah perkara gampang. Data BPS dan Bappenas menunjukkan bahwa backlog (kekurangan rumah) pada tahun 2014 cukup besar, yaitu 13,5 juta unit. Penyebabnya adalah keterbatasan developer yang belum didukung oleh regulasi yang insentif, rendahnya daya beli/bangun rumah, kendala proses pengadaan lahan, serta peran pemerintah yang masih lemah (http://pu.go.id). Dari perspektif lain, saya malah melihat sistem Islam-lah yang dapat menjadi solusi paripurna terhadap berbagai problematika perumahan rakyat.

Bagaimanakah sistem Islam dalam pengelolaan perumahan rakyat? Paling tidak ada dua aspek yang memudahkan seseorang mendapatkan rumah. Pertama, mekanisme pemenuhan rumah menurut hukum Islam. Kedua, regulasi Islam dan kebijakan kepala negara (khalifah) yang sangat kondusif.


Mekanisme Pemenuhan Rumah Menurut Hukum Islam

Dalam perspektif Islam, rumah termasuk kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat selain sandang dan pangan. Kebutuhan primer tersebut menjadi tanggung jawab negara. Rasulullah Saw sebagai kepala negara hingga para khalifahnya telah menetapkan dan menjalankan kebijakan ini.

Mekanisme pemenuhan kebutuhan rumah menurut hukum Islam melalui tiga tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut.


1. Memerintahkan untuk Bekerja

Negara memerintahkan semua kaum lelaki (yang mampu) untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Selain itu, negara juga memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja, misalnya dengan menciptakan lapangan kerja, ataupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian, perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan mereka memenuhi semua kebutuhan primernya bahkan kebutuhan sekunder dan tersiernya.

Hanya saja, kemampuan dan keahlian bekerja setiap orang pasti berbeda-beda. Hasil kerjanya tentu berbeda-beda pula. Pada gilirannya kemampuan pemenuhan kebutuhannya juga berbeda-beda. Sebagian orang mungkin mampu membeli rumah mewah, sementara yang lain hanya bisa membeli rumah sederhana, atau sekadar menyewanya. Lalu, bagaimana jika upah mereka tidak mencukupi untuk membeli, membangun ataupun menyewa rumah?


2. Kewajiban Kepala Keluarga, Ahli Waris dan Kerabat

Mereka yang tidak mampu membeli, membangun, atau menyewa rumah sendiri, entah karena pendapatannya tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja, maka pada gilirannya akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris dan kerabatnya, sebagaimana aturan (hukum) Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya.

Allah SWT berfirman: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal.” (QS. Ath-Thalaq: 6); dan “Dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai.” (QS. At-Taubah: 24). Sedangan Rasulullah SAW bersabda: “Mulailah memberi nafkah dari orang-orang yang menjadi tanggunganmu, ibumu, ayahmu, saudara laki-lakimu, dan saudara perempuanmu; kemudian kerabatmu yang jauh,” (HR. Nasa’i).


3. Kewajiban Negara

Jika tahap 1 dan tahap 2 tidak bisa menyelesaikannya, maka giliran selanjutanya adalah negara yang berkewajiban menyediakan rumah. Dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad untuk kemaslahatan umat, maka khalifah bisa menjual (secara tunai atau kredit dengan harga terjangkau), menyewakan, meminjamkan atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan. Sehingga, tidak ada lagi individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.

Demikianlah gambaran singkat mengenai mekanisme pemenuhan perumahan rakyat di dalam sistem Islam. Hasil yang diperoleh dari setiap pelaksanaan mekanisme tersebut cukup jelas dan diurus terus oleh negara demi menjamin pemenuhan rumah bagi setiap individu rakyat. Tidak boleh ada warga yang terlantar, tidak menempati rumah, dan menjadi gelandangan.

Pada sisi lain, regulasi Islam dan kebijakan seorang khalifah juga akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja berbagai regulasi dan kebijakan khalifah tersebut muncul dari pemikiran dan hukum Islam demi melayani kemaslahatan rakyatnya.


Regulasi Islam dan Kebijakan Khalifah

Khalifah (kepala negara) adalah pelayan umat. Dia harus mengurusi rakyatnya hingga semua kebutuhan primernya –termasuk rumah—harus terpenuhi. Selain melalui mekanisme tersebut di atas, beberapa regulasi dan kebijakan yang diberlakukannya juga harus memudahkan individu rakyat dalam memiliki rumah, antara lain dengan cara:


1. Larangan Menelantarkan Tanah

Tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya, maka negara berhak memberikannya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Nabi Saw bersabda: “Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil”. (HR. Bukhari).

Mekanisme pelarangan penelantaran tanah, penarikan tanah terlantar dan pemberiannya diatur oleh negara. Individu rakyat tidak boleh serta-merta main serobot sendiri sehingga akan memicu perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.


2. Ihya, Tahjir dan Iqtha’

Selain jualbeli, waris atau hibah, menurut hukum Islam tanah bisa dimiliki melalui ihya, tahjir dan iqtha’. Pengertian ihya’ (al-mawat) adalah menghidupkan/memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang, untuk suatu keperluan termasuk membangun rumah. Nabi Saw bersabda: ”Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR Bukhari).

Tahjir (al-ardh) artinya membuat batas atau memagari bidang tanah. Nabi Saw bersabda, "Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Ahmad).

Sedangkan iqtha` artinya pemberian tanah milik negara kepada individu rakyat. Pada saat tiba di kota Madinah Nabi Saw pernah memberikan tanah kepada Abu Bakar As-Shiddiq dan Umar bin Khaththab. Nabi Saw juga pernah memberikan tanah yang luas kepada Zubair bin Awwam.

Mekanisme penerapan ihya, tahjir dan iqtha’ harus diatur sedemikian rupa oleh negara beserta segenap aparaturnya hingga di tingkat daerah agar tidak terjadi perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan di tengah-tengah masyarakat.


3. Tanah Ash-shawafi

Ash-shawafi adalah setiap tanah yang dikumpulkan Khalifah dari tanah negeri-negeri yang dibebaskan dan ditetapkan untuk baitul mal. Termasuk tanah yang tidak ada pemiliknya, tanah milik negara yang dibebaskan, tanah milik penguasa, tanah milik panglima perang, tanah milik orang yang terbunuh atau tanah milik orang yang lari dari peperangan.

Negara mengelola tanah ash-shawafi untuk kemaslahatan kaum Muslim. Termasuk untuk diberikan, disewakan atau dijual dengan harga terjangkau kepada individu rakyat untuk mendirikan rumah.
 

4. Harta Milik Umum

Harta milik umum adalah harta yang ditetapkan oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) sebagai milik bersama kaum Muslim. Harta milik umum misalnya sumber air, padang rumput (hutan), bahan bakar, sarana umum (jalan, kereta api, trem, saluran air, dsb) dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas.

Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung akan memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja negara harus mengatur dan mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi kerusakan dan kekacauan di tengah-tengah masyarakat.  

Misalnya, dengan mekanisme tertentu, seseorang secara langsung bisa mengambil kayu di hutan dan bebatuan di kali untuk bahan bangunan rumahnya. Secara tidak langsung, negara harus mengolah terlebih dulu kayu-kayu (pepohonan) milik umum untuk dijadikan papan, triplek dan batangan kayu sebagai bahan bangunan rumah.  

Negara juga harus mengolah barang tambang untuk menghasilkan besi, aluminium, tembaga, dan lain-lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian, individu rakyat mudah menggunakannya baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).


5. Tanpa Akad Batil dan Ribet

Penerapan syariah akan menegasikan semua akad bisnis properti yang batil dan ribet, seperti meniadakan bunga, denda, sita, asuransi, akad ganda, kepemilikan tidak sempurna, serta segala macam persyaratan adminitrasi dan birokasi yang menyulitkan dan berbiaya. Dengan penerapan sistem Islam, maka para pengembang (developer) syariah yang kini mulai menggeliat bangkit akan semakin tumbuh subur lagi sehingga semakin memudahkan setiap individu rakyat memiliki rumah yang murah dan berkah. Pada akhirnya keberadaan developer properti akan semakin menyempurnakan fungsi negara dalam menjamin pemenuhan perumahan rakyat.


Demikian gambaran global pengelolaan perumahan di dalam sistem Islam yang agung. Sistem yang berasal dari Dzat Yang Agung. Hanya dengan penerapannya yang kaffah, Islam terwujud sebagai agama yang  rahmatan lil-‘alamin. []
 

Editor : Dakta Administrator
Sumber : Hanjaeli (Pebisnis Property Syariah)
- Dilihat 5809 Kali
Berita Terkait

0 Comments