Opini /
Follow daktacom Like Like
Sabtu, 30/11/2019 13:06 WIB

Wacana Jabatan Presiden 3 Periode Menuai Pro-Kontra

Pengambilan sumpah Presiden Joko Widodo
Pengambilan sumpah Presiden Joko Widodo
Oleh: Alin FM
Praktisi multimedia dan penulis
 
Belum genap seratus hari Presiden Jokowi dilantik. Janji-janji kampanye belum dipenuhi. Kesejahteraan rakyat pun belum juga terwujud. Utang pun semakin menumpuk. Bahkan ongkos politik kampanye juga belum lunas. Dan Tak lupa diingatan publik, masih ada para pendukung dan tim sukses yang belum ke bagian jatah kursi jabatan.
 
Kini sudah merebak wacana menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Masa jabatan presiden yang saat ini maksimal dua periode, diusulkan menjadi tiga periode seiring dengan usul amandemen UUD 1945 yang tengah digodok Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). 
 
Jika jadi diamendemen, perubahan periode masa jabatan presiden ini memungkinkan Presiden Joko Widodo menjabat satu periode lagi, dari aturan awal yang membatasi hanya dua periode. Wakil Ketua MPR dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, menyampaikan adanya wacana itu di MPR di lansir dari fokus.tempo.co.  
 
Meski menuai pro kontra, wacana ini tetap dikaji oleh MPR. Sebagai hal yang disebut sebagai substansi dalam perubahan amandemen UUD 1945, Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan wacana ini bagaimana pun harus tetap mereka tampung. 
 
“Diskursus tentang penambahan masa jabatan presiden ini terlihat biasa saja sebagai sebuah wacana usulan dan beberapa pemangku kepentingan yang memang harus ditampung oleh MPR,” ujar Arsul.
 
Usul perubahan wacana ini sebenarnya bukan baru ramai belakangan ini saja. Awal Oktober lalu, Ketua Fraksi Partai Nasional Demokrat (NasDem) MPR Johnny G. Plate, sudah mengeluarkan wacana ini. Ia mengatakan perpanjangan masa jabatan bertujuan demi konsistensi pembangunan. 
 
"Konsistensi pembangunan juga terikat dengan eksekutifnya. Masa jabatan presiden juga berhubungan, nanti didiskusikan semuanya," ujar Johnny di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 7 Oktober 2019.
 
Johnny yang saat ini menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika, bahkan menyarankan agar masa jabatan presiden diperpanjang dengan opsi menjadi 1x8 tahun, 3x4 tahun, atau 3x5 tahun. Johnny membantah usul ini datang darinya. Ia mengatakan usul ini datang dari masyarakat, meski ia tak menyebutkan masyarakat mana yang dimaksudnya.
 
Padahal wacana itu jelas-jelas menabrak konstitusi Demokrasi. Namun tentu tak akan dianggap mengancam Negara karena itu hanya sebuah wacana. Dalam konstitusi sudah diatur masa jabatan presiden hanya dua kali. Pasal 7 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan. Sangat jelas, UUD 1945 memberikan batasan bahwa hanya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan. 
 
Ini artinya cukup dua periode saja, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.
 
Wacana menambah masa jabatan presiden menjadi tiga periode bukan hanya bertentangan dengan konstitusi. Bahkan ada UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juga harus diubah. Dalam UU tersebut, Pasal 169 huruf N menyatakan syarat menjadi Presiden dan Wapres adalah belum pernah menjabat di posisi itu selama dua kali masa jabatan untuk jabatan yang sama. Tentu Pasal tersebut tentu harus diubah oleh Sang Pembuat UU yakni DPR. Selain itu, UU dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan itu juga harus diubah.
 
Memang dalam sistem demokrasi, hukum itu dibuat oleh manusia. Kapan saja bisa diubah sesuai kepentingan si pembuat UU tersebut. Jika ada kepentingan yang tak sesuai maka Hukum bisa diubah dan disesuaikan. Bahkan dalam kondisi tertentu presiden bisa mengeluarkan Perpu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang).
 
Jadi langkah pertama adalah mengubah konstitusi. Nampaknya tak akan banyak mengalami kesulitan asalkan dapat cocok dalam berbagi kepentingan dengan para politisi. Bukankah sebagian besar partai sudah merapat dalam kekuasaan?  Dan kalaupun nanti Konstitusi sudah diubah oleh MPR, lalu DPR lambat mengubah UU Wacana Masa jabatan Presiden 3 periode menuai kontrovesi di tengah masyarakat. Masalah mendasarnya adalah standar aturan hukum yang dipakai menentukan berapa lama jabatan itu. Dalam sistem demokrasi, hukum dibuat atas kesepakatan manusia.  Bukan dari Sang Pembuat Hukum, Allah SWT. 
Jadi hukum bisa disetir oleh pemangku kepentingan kekuasaan. Tanpa melihat kepentingan  Rakyat.
 
Wacana seperti hanya membuat gaduh. Seharusnya tidak ada wacana tersebut ditubuh elit, sehingga rakyat bisa tenang menjalani kehidupan. Tidak menonton ketamakan kekuasaan yang dilakoni oleh sejumlah elit Politik.
 
Akhirnya kita menyadari Sistem Demokrasi, bukan sistem yang membuat rakyat tenang. Sistem yang hanya membuat kontrovesi bahkan sensasi. Rakyat butuh kesehjateraan. Rakyat butuh pemimpin yang mencintai Rakyat dan rakyat mencintai pemimpinnya. Pemimpin yang menjalankan amanah konstitusi dengan sepenuh hati. Rakyat butuh solusi dari setiap persoalan. 
 
Solusi itu hanya dapat ditemukan dari Sistem hukum buatan Sang Pencipta, Allah SWT. Sebagai seorang Muslim haruslah memilih hukum Allah SWT untuk solusi kehidupan.
 
Bagi seorang muslim, Allah adalah ahkamul hakimin alias sebaik-baik pemberi ketetapan hukum. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Bukankah Allah adalah sebaik-baik pemberi ketetapan hukum?” (TQS. At-Tiin ayat 8).
 
Oleh sebab itu ciri orang yang beriman adalah yang patuh kepada ketetapan hukum Allah dan Rasul-Nya. Allah ta’ala berfirman, 
 
وَمَا كَانَ لِمُؤ"مِنٍ وَلَا مُؤ"مِنَةٍ إِذَا قَضَى الل"َهُ وَرَسُولُهُ أَم"رًا أَن" يَكُونَ لَهُمُ ال"خِيَرَةُ مِن" أَم"رِهِم" ۗ وَمَن" يَع"صِ الل"َهَ وَرَسُولَهُ فَقَد" ضَل"َ ضَلَالًا مُبِينًا
“Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. Al-Ahzab: 36)***
Editor : Dakta Administrator
Sumber : Opini Danyah Alia
- Dilihat 5689 Kali
Berita Terkait

0 Comments