Opini /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 25/09/2019 13:19 WIB

Surat Sejarah kepada Administrator Kolonial Indonesia

Aksi mahasiswa di depan Gedung DPR RI, Selasa (24/9)
Aksi mahasiswa di depan Gedung DPR RI, Selasa (24/9)

DAKTA.COM - Oleh: C. Reinhart (Asisten Peneliti pada Departemen Sejarah, Universitas Indonesia)

 

Sejak beberapa hari belakangan, mahasiswa dari sebagian besar universitas di Indonesia menyatakan sikap protes terhadap rancangan peraturan-peraturan baru yang hendak disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah.

 

Tulisan ini tidak akan membahas satu demi satu pokok protes itu. Namun, secara garis besar, protes mahasiswa berkaitan dengan tiga rencana aturan yang ingin diwujudkan sebagai undang-undang, yaitu mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan Lembaga Pemasyarakatan. Ketiga kebijakan itu, sedikitnya, dinilai tidak memihak kepentingan masyarakat umum dan akan menguntungkan pihak-pihak yang melawan hukum akal sehat.

 

Untuk menyambut aksi mahasiswa tersebut, saya perlu menyampaikan sudut pandang sejarah dalam kasus ini. Semakin diperhatikan, golongan penguasa di Indonesia sesungguhnya sama sekali tidak ingin menyelam ke dalam sejarah untuk mencari jawaban atas permasalahan kekinian.

 

Dengan bercermin dari kenyataan masa kolonial Hindia Belanda, seseorang seharusnya sudah memahami bahwa rancangan undang-undang KUHP merupakan keputusan yang lebih ketinggalan zaman dibandingkan kebijakan kolonial tahun 1931. Pada akhir tahun 1931, Hindia Belanda masuk ke dalam suatu episode sejarah yang menunjukkan pola pemerintahan konservatif. Gubernur Jenderal Jhr. B. C. de Jonge diangkat untuk menggantikan era para gubernur jenderal sebelumnya yang merupakan kaum etis.

 

Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal de Jonge, Hindia Belanda meningkatkan fungsi Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Intelejen Politik untuk membungkam, bila bukan membabat habis, pergerakan nasional. Dekade awal 1930 juga diwarnai dengan kontrol ketat di segala bidang. Siapa saja yang menghina simbol-simbol kolonial Belanda akan berakhir di Boven Digoel. Namun demikian, kebijakan ini bahkan lebih humanis dibandingkan rancangan undang-undang KUHP. Kebijakan hukuman pembuangan tetap lebih manusiawi dibandingkan hukuman mati.

 

Selain itu, pelajaran lain yang sangat penting untuk dipandang pada masa akhir kolonial ini adalah fungsi dewan perwakilan yang lebih baik dibandingkan masa kini, setidaknya secara moral. Dewan representatif Volksraad yang difungsikan pada 1918 memang tidak berfungsi secara penuh sebagai dewan perwakilan.

 

Fungsinya sebagai dewan baru ditingkatkan pada tahun 1925 sebagai dewan yang didengar nasihatnya oleh gubernur jenderal Hindia Belanda. Namun demikian, gagasan yang diajukan para wakil rakyat di dalam Volksraad tidak mengkhianati kepentingan masyarakat bumiputra. Berbeda dengan itu, DPR yang kini berfungsi penuh sebagai lembaga legislatif justru melenceng dari kaidah hukum akal sehat yang dijunjung oleh rakyat.

 

Untuk menghadapi amnesia sejarah yang diderita administrator negara tersebut, Selasa 24 September, saya turun ke jalan bersama dengan pejuang mahasiswa lainnya. Kami yang turun pada gelombang kedua massa Universitas Indonesia sampai di depan Gedung Kementerian Pemuda dan Olahraga pada tengah hari, sekitar pukul 14.00 WIB.

 

Pada titik itu, massa aksi yang sekalipun tersegregasi menurut almamater bertemu di jalan-jalan raya. Tidak ada aksi fisik yang memungkinkan terjadi gesekan. Para mahasiswa hanya menyorakkan tuntutan mereka dan menyanyikan mars-mars universitas. Menjelang sore, terdengar kabar bahwa pecah konflik pada titik aksi depan Gedung DPR/MPR. Massa aksi segera mundur. Sesuai instruksi dan saran dari para alumni, mahasiswa bergerak menuju Gedung TVRI.

 

Saat perjalanan, situasi semakin genting. Instruksi selanjutnya mengarahkan massa aksi Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) Universitas Indonesia (UI) dan beberapa fakultas lain untuk masuk ke dalam wilayah Gelora Bung Karno. Tidak lebih dari sepuluh menit setelah mahasiswa masuk dan mulai duduk beristirahat, terdengar tembakan gas air mata dari aparat yang diarahkan kepada mahasiswa yang tanpa persiapan.

 

Hal ini pada akhirnya memaksa pikiran saya untuk mengingat aksi represif para administrator kolonial yang sangat ketakutan terhadap pergerakan kebangsaan, sekalipun sedang diam. Mahasiswa yang terkejut dan tanpa pengetahuan segera masuk lebih dalam ke wilayah Gelora Bung Karno.

 

Namun demikian, wilayah dalam itu tidak menjadi zona aman. Tembakan gas air mata tetap diarahkan ke dalam bahkan hingga lingkar paling dalam yang meliputi sekitaran stadion. Untuk apa aparat menembaki dengan gas air mata ketika mahasiswa bahkan tidak bersikap anarkis dan belum melewati batas waktu demonstrasi?

 

Dengan kenyataan yang demikian itu, tidakkah pemerintah dan DPR masa ini bahkan lebih mengejutkan tingkahnya dibandingkan dengan para administrator kolonial? Untuk alasan ini, sejarah akan mencatat bahwa perilaku pemerintah Indonesia belakangan ini bahkan lebih buruk dari perilaku pemerintah kolonial pada dekade 1930.

 

Setelah segala penjelasan itu, muncul satu pertanyaan yang harus dijawab oleh para ‘administrator kolonial’ Republik Indonesia. Siapa yang kalian wakili? Apakah rakyat Indonesia atau kepentingan eksternal yang bersilang ruwet dengan kepentingan pribadi kalian seperti halnya apa yang diwakili oleh para administrator kolonial di masa lalu?

 

Saya, kami, dan kalian harus bersuara karena diam adalah pengkhianatan bagi sejarah dan perjuangan adalah budaya kita.

 

Editor :
Sumber : C. Reinhart
- Dilihat 2126 Kali
Berita Terkait

0 Comments