Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 13/07/2015 10:18 WIB

Lebaran: Antara Tradisi dan Sprit Revolusi Mental

Susanto   Copy
Susanto Copy

Oleh : Susanto

Dosen Fakultas Tarbiyah, Institut Perguruan Tinggi Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta
Komisioner Bidang Pendidikan, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI


Setahun sekali, setiap tanggal 1 bulan Syawal, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri dan dalam terminologi lokal Indonesia disebut sebagai “lebaran”. Pada hari tersebut, kegembiraan terpancar dari kalbu setiap orang. Bahagia karena telah mencapai kemenangan. Istilah “lebaran” selalu akrab dengan umat Islam Indonesia, melekat dalam budaya dan memiliki banyak dimensi makna. Pertama, memiliki dimensi makna agama. Tak dipungkiri, setelah umat Islam menjalankan puasa ramadhan, lebaran akan tiba dan disemarakkan dengan membaca takbir, tahmid dan tahlil oleh seluruh umat Islam di penjuru negeri sebagai simbol kembali ke fitrah. Kedua, memiliki dimensi budaya. Disebut sebagai peristiwa budaya, karena dalam lebaran memiliki tradisi ikutan yang seringkali disebut sebagai budaya “sungkem”. Sungkem yang terjadi di hari lebaran telah mengakar dalam budaya Indonesia secara turun temurun dan terus dirawat, karena sungkeman dipnadang sebagai “tali perekat’ antara hamba Allah baik, karena hubungan nasab maupun sesama umat Islam. Ketiga, memiliki dimensi ekonomi, karena momentum lebaran cukup membantu memicu laju pertumbuhan ekonomi; terutama tingginya permintaan moda transportasi, wisata, kebutuhan sandang dan pangan serta kebutuhan lain yang terkait gaya hidup terutama untuk kelas ekonomi tertentu.

Tetapi apa sesungguhnya lebaran itu? Hingga kini, asal usul terminologi lebaran belum ditemukan referensi yang otoritatif memmberikan jawaban tunggal. Sebagian orang mengatakan terminologi lebaran berasal dari bahasa Jawa ngoko, yakni kata “bar”/”wes” artinya “selesai melaksanakan ibadah puasa”. Sebagian orang jawa memaknai “lebaran” dari kata “lebar” yang berarti “mubadzir’, karena dalam tradisi sungkeman di hari lebaran, setiap keluarga menyediakan makanan atau jajanan, namun seringkali pengunjung saat silaturahmi sungkeman tak semua menyantapnya, sehingga makanan yang telah sediakan seringkali “mubazdir’. Dalam hal penyebutan, orang Jawa jarang menggunakan istilah lebaran saat Idul Fitri. Mereka lebih sering menggunakan istilah “bodo”. Kata lebaran justru lebih banyak digunakan oleh orang Betawi. Menurut mereka kata lebaran berasal dari kata “lebar” yang diartikan luas dan merupakan gambaran keluasan atau kelegaan hati setelah melaksanakan ibadah puasa serta kegembiraan menyambut hari kemenangan.

Tradisi Lebaran di Negara Lain

Perayaan lebaran di negara lain, cukup variatif, karena setiap negara memiliki ekspresi budaya yang khas dan unik. Pertama,  Tradisi Lebaran di Malaysia. Tradisi lebaran di Malaysia mirip dengan tradisi di Indonesia. Masyarakat negeri tetangga ini juga menyiapkan makanan khas lebaran seperti ketupat dan rendang, yang juga menjadi makanan khas lebaran masyarakat Indonesia. Tak hanya itu, bagi usia yang lebih muda memberi hormat dan mencium tangan orang kepada yang lebih tua, sementara orang dewasa yang sudah berpenghasilan memberikan uang hari raya kepada anak.

Kedua, Tradisi Lebaran di Arab Saudi. Perayaan lebaran di Arab Saudi selalu diisi dengan kesenian, seperti pagelaran teater, pembacaan puisi, parade pertunjukkan musik, tarian dan kegiatan seni lainnya. Selain itu, masyarakat Arab juga terbiasa mendekorasi rumah mereka dengan hiasan-hiasan khas lebaran. Untuk menu khas lebaran, umat muslim Arab Saudi menyantap daging domba yang dicampur dengan nasi dan sayuran tradisional setelah melakukan shalat ied. Setalh itu, mereka mengunjungi sanak saudara dan tetangga untuk bersilaturahmi. Tak hanya itu, anak-anak tampaknya juga mendapatkan bingkisan-bingkisan lebaran yang berisi permen, coklat dan makanan lainnya sebagai bentuk kasih sayang kepada anak.

Ketiga, Tradisi lebaran di Turki. Tradisi lebaran yang berkembang di masyarakat Turki menyebut perayaan Idul Fitri dengan terminologi “Bayram”. Kebiasaan pada hari Bayram mereka mengenakan pakaian khas yang dikenal dengan Bayramlik.  Pada hari tersebut masyarakat memiliki kebiasaan mengucapkan salam “Bayraminiz Kutlu Olsun”, “Mutlu Bayramlar”, atau “Bayraminiz Mubarek Olsun”. Sama halnya dengan di Indonesia, orang yang lebih muda akan mencium tangan dan bersujud kepada orang yang lebih tua. Disamping itu, anak-anak di Turki berkeliling ke rumah sanak keluarga dan tetangga untuk mengucap salam Bayram dan doa. Sebagai bentuk kasinh sayang kepada anak, ia menerima hadiah berupa coklat, permen, uang koin, dan manisan tradisional Turki seperti Baklava dan Lokum.

Kembali ke Fitrah:

Spirit Revolusi Mental. Meski beragam ekspresi dalam menyemarakkan lebaran baik di Indonesia maupun di sejumlah negara, namun sejatinya adanya tradisi lebaran merupakan simbol berakhirnya puasa ramadhan. Dengan demikian, terminologi lebaran bak sekata dengan idul fitri meski keduanya memiliki muatan perspektif yang sedikit berbeda. Apa sesungguhnya idul fitri?. Kata Idul Fitri berasal dari bahasa Arab Id dan Fitri. Kata Id berarti “kembali”. Sedangkan kata Fitri berarti “berbuka atau suci”. Dengan demikian, secara etimologi Idul Fitri dimaknai sebagai “kembali berbuka” sedangkan secara substansi dimaknai sebagai “kembali suci”.

 
Setiap orang memiliki sifat fitrah (suci), terbawa serta olehnya sejak kelahiran, walaupun sering, karena kesibukan dan dosa, fitrah itu terabaikan. Karena itu, suara fitrah seringkali begitu lemah dalam diri kita bahkan terkadang hanya sayup-sayup. Suara itulah yang dikumandangkan pada Idul Fitri, yakni Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allah Akbar. Alhasil, bila kalimat-kalimat itu benar-benar tertancap dalam jiwa, akan hilanglah segala kebergantungan kepada unsur-unsur lain kecuali kepada Allah semata.

Kesucian adalah gabungan tiga unsur: benar, baik dan indah. Karena itu, seseorang yang ber- Idul Fitri, dalam arti kembali kepada kesucian akan selalu berbuat yang indah, benar, dan baik. Inilah akar revolusi mental yang sesungguhnya. Bahkan melalui kesucian jiwanya itu, ia akan melihat segalanya dengan pandangan positif. Ia selalu berusaha mencari sisi-sisi baik, benar, dan indah. Selalu mencari dan menggali yang indah untuk melahirkan seni, mencari yang baik untuk mewujudkan etika dan mencari yang benar agar menghasilkan produktifitas. Dengan demikian, orang yang ber-idul fithri akan mengambil sisi positif, bukan mengadili kesalahan. Adanya potensi positif yang tumbuh di masyarakat terus dirawat, dikembangkan, disemangati agar kelak menjadi “obor” peradaban, dan bukan selalu memandag kelemahan dan kesalahan, seolah negeri ini akan kiamat. Selamat berhijrah menuju revolusi mental.

Editor :
Sumber : Ulil Albab
- Dilihat 3318 Kali
Berita Terkait

0 Comments