Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 12/06/2015 09:50 WIB

Lima Pilar Islamophobia di Barat

Islamophobia
Islamophobia

 Status Muslim di barat berada di bawah ancaman. Meningkatnya prevalensi kejahatan dengan latar belakang kebencian anti Muslim hanya salah satu konsekuensi yang bisa dilihat. Di Inggris, menurut serikat pengajar, anak-anak sekolah Muslim menderita penyerangan; Muslimah menjadi korban lebih dari setengah serangan Islamofobia, Tell MAMA mengatakan.

Meskipun kejahatan kekerasan terhadap Muslim dipahami sebagai isu utama bagi umat Islam dan gerakan anti-rasis, namun merupakan suatu kesalahan jika berpikir bahwa Islamophobia adalah masalah rasisme yang dilakukan oleh sekelompok minoritas kecil di jalanan, atau mereka yang berada di pinggiran politik. Kenyataannya lebih dari itu. Islamophobia telah tertanam jauh di dalam politik dan masyarakat, dan merupakan masalah yang lebih serius daripada yang diakui banyak penulis. Selain itu, sementara sebagian besar pembahasan Islamophobia menunjukkan bahwa rasisme anti-Muslim hanyalah seputar masalah prasangka, yang mungkin memiliki konsekuensi sosial, perlu dipahami bahwa Islamophobia lebih besar dari hanya masalah pemikiran rasis saja.

Rasisme dan prasangka jelas merupakan bagian penting dari Islamophobia tetapi agar ide-ide tersebut efektif maka perlu dikembangkan dan diproduksi secara aktif dan dipraktekkan sehingga menyebar dan dilembagakan dalam kebijakan dan praktek-praktek baru. Rasisme anti-Muslim ditopang oleh 'lima pilar' Islamofobia.

Pilar pertama dan paling penting adalah lembaga negara – terutama aparat 'kontra-terorisme' yang meluas, sebagai penghubung utama dari lembaga-lembaga dan praktek-praktek yang mentargetkan para 'ekstrimis' dan mereka yang dikatakan telah 'menjadi radikal'. Ketidakakuratan konsep yang didefinisikan dan dioperasionalkan dalam wacana resmi, juga  praktik rutin yang dilakukan kepolisian dan intelijen, menjadikan ribuan orang, termasuk non-Muslim, dianggap sebagai target yang sah untuk kecurigaan, pengawasan dan pengumpulan data intel.

Beberapa penulis akademis melihat negara sebagai lembaga yang progresif, atau setidaknya netral, dan mampu membantu tantangan rasisme anti-Muslim dengan menciptakan ruang bagi keterlibatan budaya dan masyarakat Muslim. Tapi dalam pandangan kami, negara tidaklah netral. Kebijakan kontra-terorisme merugikan Islam (dan lainnya) melalui perundang-undangan yang luar biasa, cacat pre-emptive serta intel dan pengawasan. Ditambah lagi aparat kontra-terorisme telah menyebar dari rumah tradisional mereka di kepolisian dan lembaga intelijen untuk menduduki hampir setiap cabang negara, dari sekolah dan universitas hingga ke perpustakaan.

Barisan terdepan yang relatif baru dalam perang untuk mengusir umat Islam dari ranah publik adalah sektor LSM. The Charity Commission, yang dipimpin oleh seorang neo-konservatif, Lord Shawcross, telah memimpin peningkatan yang signifikan dalam penyelidikan terhadap badan-badan amal Muslim. Sebuah lembaga think tank, Claystone, melaporkan bahwa The Charity Commission telah menandai 55 badan amal Inggris dengan kode 'ekstremisme dan radikalisasi', tanpa sepengetahuan organisasi  yang bersangkutan. Pemberian kode ini mempengaruhi badan amal Muslim secara tidak proporsional.

Empat pilar Islamophobia lainnya adalah gerakan sosial atau politik yang mendukung atau mendorong negara ke arah gerakan sosial kanan – yang oleh sosiolog Laurence Cox dan Gunvald Nilsen disebut  gerakan sosial 'dari atas', yang berarti 'kelompok dominan'.

Gerakan sosial yang pertama adalah yang paling terkenal – yaitu yang paling kanan. Perwakilan tradisional di partai neo-fasis ini sangat anti-Muslim, tetapi dalam beberapa tahun terakhir mereka telah bergabung bersama sejumlah partai baru (seperti Demokrat Swedia, Partai Rakyat Denmark dan UKIP di Inggris), pergerakan jalanan seperti English Defence League, PEGIDA di Jerman (juga Inggris, Austria, Denmark, Norwegia dan Swedia) dan 'gerakan kontra-jihad' lainnya yang beroperasi di hampir setiap negara Uni Eropa, serta di AS.

Gerakan paling kanan tidak dibatasi dengan rapi dan terdapat semacam tumpang tindih dengan gerakan sosial lainnya, yang masing-masing saling berbenturan. Mereka diantaranya adalah gerakan neo-konservatif, sangat aktif di Uni Eropa maupun di Amerika Serikat, negara asalnya; gerakan Zionis; dan sejumlah arus kiri/liberal yang pro-perang. Ketiganya adalah gerakan transnasional dan memiliki hubungan dengan kelompok-kelompok yang lebih ke kanan, serta gerakan konservatif yang lebih utama dan think tank neo-liberal sayap kanan.

Gerakan sosial ini, meskipun terbagi pada beberapa hal, saling bekerja sama – dan berkolaborasi dengan negara – untuk memproduksi, mereproduksi dan memberlakukan rasisme anti-Muslim, dalam proses memasukkan rencana kebijakan dan pengaturan praktis yang menjamin subordinasi Muslim biasa .

Sebagai contoh, Henry Jackson Society yang neo-konservatif, yaitu sebuah think tank yang menyatukan neo-konservatif kunci AS dan Inggris, termasuk William Kristol dan Richard Perle. Di antara pendukung keuangan utama Henry Jackson Society adalah rekan Konservatifnya, Stanley Kalms, mantan bendahara Partai Konservatif dan presiden DSG International (sebelumnya Dixons). Kalms adalah anggota terkemuka dari the Conservatve Friends of Israel, meskipun pada tahun 2009 ia bermain mata dengan UKIP. Dia telah mendukung Henry Jackson Society dan pendahulunya yaitu the Centre for Social Cohesion melalui Traditional Alternatives Foundation dan Stanley Kalms Foundation, dan keterikatannya dengan lembaga konservatis yang lebih utama diilustrasikan oleh dukungan keuangannya untuk the Institute for Economic Affairs dan the Centre for Social Justice.

Kalms tampaknya memiliki pandangan 'radikal' terhadap Islam dan umat Islam. Menurut Tony Lerman, penulis dan 'murtad' Zionis, Kalms hadir pada pertemuan pada tanggal 17 November 2006 di mana ia berkata: 'Kebanyakan Muslim tidak ingin berintegrasi ... akhirnya mereka akan berbaris di belakang fundamentalis.' Gerakan Sosial kanan dan elemen gerakan neo-konservatif serta Zionis, berperan aktif penting dalam membina rasisme anti-Muslim.

Kami tidak akan mengubah kembali gelombang Islamophobia hanya dengan menghadapi ancaman UKIP dalam politik, atau EDL dan bagian lain dari transnasional 'gerakan kontra-jihad' di jalanan. Kita juga perlu memusatkan perhatian kita pada elemen gerakan neo-konservatif (yang juga transnasional) dan Zionis yang memberikan informasi, 'penelitian' dan advokasi yang dapat menyeret negara dan politik ke sayap kanan dan mempertajam kebijakan Islamofobia, seperti yang kita lihat di Inggris dengan revisi program ‘Prevent’ pada tahun 2010 (menggambar pada bahan dari Pusat neo-konservatif untuk Kohesi Sosial) dan di the Counter-Terrorism and Security Act 2015.

Yang paling penting, kita perlu memahami bahwa Negara itu sendiri beserta mesin pengawasan dan represi yang dimilikinya, yang sebenarnya berada di barisan depan untuk memastikan bahwa umat Islam secara kolektif didorong ke tepi kehidupan publik dengan konsekuensi politik demokratis yang sangat serius untuk jangka pendek, menengah dan panjang. Niat mereka tampak jelas: perbedaan pendapat, baik itu dengan organisasi Muslim, gerakan sosial atau serikat pekerja, selalu dikriminalisasi untuk melindungi penguasa dari tekanan yang timbul dari bawah.

Tulisan ini adalah sebuah komentar menyedihkan tentang keadaan histeria mengenai Islam di Inggris saat ini yang bahkan mendokumentasikan bukti Islamophobia sebagai bukti 'ekstremisme' atau 'radikalisasi'. Hanya dengan menulis artikel ini kita berpotensi memasuki apa yang oleh polisi disebut sebagai 'ruang pra-kriminal', yang cukup untuk mendapat perhatian dari intel dan lembaga kepolisian.

 

Sumber : Artikel ini didasarkan pada makalah yang disampaikan saat konferensi Understanding Conflict di University of Bath, pada 08-11 Juni 2015.

Editor :
Sumber : jurnalislam.com
- Dilihat 4609 Kali
Berita Terkait

0 Comments