Opini /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 21/05/2015 11:15 WIB

Harkitnas: Nalar Sehat

Kisah dibalik hari kebangkitan nasional   Copy
Kisah dibalik hari kebangkitan nasional Copy

Oleh: Adi Samsuito Siregar

(Penggiat Literasi dan Jurnalisme Warga)

Perayaan kemerdekaan Belanda atas Prancis tidak hanya dirayakan di negeri kincir angin itu. Oleh Pemerintah Belanda, semua daerah jajahan harus turut merayakan hari kemerdekaan tersebut. Yang lebih menyesakkan dada ketika pesta kemerdekaan itu harus dibiayai oleh rakyat bangsa jajahan. Rakyat yang belum merdeka itu harus membiayai pesta perayaan bangsa merdeka.
 
Ternyata nalar sehat masih ada diantara puluhan juta manusia terjajah itu. Dialah Suardi Suryaningrat, manusia ‘jajahan’ itu menolak kebijakan pemerintah Belanda tersebut. Penolakan itu ia sampaikan lewat artikel yang melegenda. Artikel yang yang menjadi sejarah sepanjang kronik ummat manusia. Artikel yang dimuat surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker itu menjadi saksi perlawanan oleh nalar sehat.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggarakan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya,” tulis Suardi Suryaningrat di tahun 1913.

Artikel Suardi Suryaningrat itu tidak saja menggegerkan nusantara namun hingga ke negeri Belenda dan Eropa secara umum. Artikel itu membawa impak besar terhadap kesadaran kolektif manusia di daerah jajahan. Tulisan ini merupakan kronik menuju kebangkitan nasional. Hari yang selalu kita peringati 20 Mei.

Suardi Suryaningrat lewat artikel tersebut memberikan asupan energi dalam gerakan membebaskan negeri ini dari kolonialisme. Artikel ini tidak bisa dilepas dari era kebangkitan nasional. Ulasan yang meneguhkan hati untuk menjadi bangsa yang merdeka. Bangsa yang merasakan sakitnya dijajah dan memiliki tekat untuk tidak melakukan hal yang sama.

Menurut penulis artikel Suardi Suryaningrat ini menjadi prosa penting dalam kebangkitan nasional. Lantas, adakah prosa lain sesudah ini? Prosa yang bisa menggetarkan hati kita sebagai anak bangsa. Prosa yang kian meneguhkan rasa ke-Indonesiaan kita.

Setelah 107 tahun kebangkitan nasional nampaknya kita membutuhkan prosa baru untuk menghantarkan bangsa ini lebih terhormat. Menjadi bangsa terhormat sebagaimana termaktub dalam Nawacita.
Tentu prosa kebangkitan baru itu datang dari nalar sehat. Sebagaimana  Suardi Suryaningrat yang menulis artikel   Als ik eens Nederlander was. Lahir dari nalar yang sehat.

Dan nampaknya, nalar sehat itu sudah menjadi barang langka di negeri ini. Tontonan yang tak menuntun telah mengaburkannya. Industri gosip telah membawa virus pada nalar sehat kita. Individualisme menjadi kabut nalar sehat.
Untuk nalar sehat ini, kita butuh media yang bisa mengambil peran itu. Media yang selalu membawa pencerahan pada nalar. Semoga saja masih ada. Agar nalar berkelas Als ik eens Nederlander was hadir setelah 107 tahun Hari Kebangkitan Nasional. Semoga.


 

Editor :
Sumber : Syifa Faradilla
- Dilihat 3224 Kali
Berita Terkait

0 Comments