Kamis, 20/07/2017 06:45 WIB
Dari Teosofi ke Pluralisme Agama
Oleh: Adnin Armas, Pendiri INSISTS
Berdebat tentang soal paham Pluralisme Agama dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran bisa tidak bermanfaat, jika tidak ada satu standar definisi dan metodologis penafsiran yang dipegang bersama. Kaum Pluralis tidak menerima penafsiran ayat-ayat al-Quran sebagaimana yang dilakukan Nabi Muhammad saw, para sahabatnya, dan para mufassir yang mu’tabar (otoritatif). Mereka tidak mengakui otoritas para mufassir dan merasa berhak menafsirkan al-Quran menurut perspektif pluralisme, sebagaimana kalangan feminis, homoseksual, Marxis, dan sebagainya.
Maka, dalam kajian masalah Pluralisme Agama, adalah lebih bermanfaat jika kita menelusuri terlebih dahulu asumsi-asumsi dasar dan akar pemikiran Pluralisme Agama ini. Dengan berbagai rumusan dan legitimasinya, paham ini dibangun di atas dasar asumsi bahwa ‘semua agama adalah benar dan jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan’. Menurut mereka, adalah tidak adil jika Tuhan hanya membenarkan satu agama saja. Tidak ada satu agama yang berhak menyatakan, bahwa hanya agamanya sendiri yang benar dan merupakan satu-satunya jalan keselamatan. Berangkat dari asumsi inilah, maka dicarikan ayat-ayat al-Quran yang dapat mendukung kesimpulan tersebut. Dengan itu, kaum Pluralis Agama sudah menempatkan keadilan Tuhan dalam kerangka persepsinya.
Teosofi
Adalah menarik, sejak ratusan tahun lalu, gagasan ‘pembenaran semua agama’ semacam ini sudah dikembangkan kalangan Freemason, Teosofi, Kristen Liberal, dan menyusul kemudian kalangan yang menamakan dirinya ‘Islam pluralis’. Gagasan yang menyatakan bahwa pada intinya semua agama adalah sama, merupakan salah satu ajaran penting dalam Freemason. Pada abad ke-18, para Mason di Inggris meyakini agama adalah ‘apa yang semua manusia setuju… yaitu, menjadi manusia yang baik dan benar’ (Religion is which all men agree… that is, to be Good Men and True).
Pada abad ke-19, tepatnya pada tanggal 17 November, 1875, para Mason di New York mempelopori terbentuknya The Theosophical Society (Masyarakat Teosofis). Dalam pidato peresmian acara tersebut, Henry Steel Olcott (1832-1907), pendiri Masyarakat Teosofis berharap supaya para anggota membuat penelitian dalam perbandingan agama untuk menemukan “ancient wisdom,” khususnya dalam sumber sumber primer dari semua agama, buku-buku Hermes dan Veda (primeval source of all religions, the books of Hermes and the Vedas).
Annie Wood Besant, (1847-1933) yang memegang jabatan sebagai ketua Masyarakat Teosofis pada tahun 1907, menggantikan posisi Olcott, merumuskan Teosofi sebagai agama universal (universal religion). Dalam Teosofi, sebuah doktrin agama akan diuji terlebih dahulu dengan prinsip Semper, ubique et ab omnibus (Selalu, dimana saja dan dari semua). Semua agama adalah benar dan universal. Besant menyatakan Masyarakat Teosofis menerapkan kepada pengikutnya bahwa agama-agama adalah ungkapan dari hikmah ilahi yang lahir dan berasal dari Zat yang satu. Oleh sebab itu, keragaman dan perbedaan dalam manifestasi lahiriah dan bentuk bukanlah inti dari ajaran agama. Semua agama memiliki keaslian dan kebenaran karena berasal dari Zat yang satu.
Dalam perkembangannya, The Theosophical Society mewarnai pemikiran-pemikiran Rene Guénon (m. 1951) dan Frithjof Schuon (m.1998), yang menjadi tokoh utama Hikmah Abadi (Sophia Perennis). Guénon, yang awalnya Katolik, lalu memeluk Islam pada 1912, namun tetap menghidupkan pemikiran hikmah abadi. Pengalaman spiritual Guénon dalam Freemason dan gerakan Teosofi mendorongnya untuk menyimpulkan semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. Salah seorang penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon, seorang tokoh spiritualis terkemuka abad ke-20. Schuon, yang terpengaruh dengan pemikiran Guénon, menyingkap titik temu antar agama pada level esoterik.
Pengalaman kalangan Freemason ini kemudian merambah masuk ke dalam Kristen Liberal. Sebagian analisis menyebutkan, pengaruh Freemason kepada Kristen merupakan bentuk balas dendam terhadap Gereja yang selama ratusan tahun menindas mereka. Teologi eksklusif Gereja yang bersemboyan ‘extra ecclesiam nulla salus’ (Diluar Gereja Tidak Ada Keselamatan) tidak mampu lagi bertahan. Pada tahun 1965, dalam Konsili Vatikan II dirumuskan konsep teologi inklusif seperti anonymous Christianity (Kristen tanpa nama), satu konsep yang mengakui adanya keselamatan pada kalangan non-Katolik). Konsep ini dirumuskan untuk membendung arus Pluralisme dalam Kristen.
Barat pasca modern yang mengusung paham ‘pluralism’ dan ‘equality’ semakin gencar memaksa semua agama untuk menyesuaikan diri. Kalangan Yahudi Liberal banyak yang kemudian menerimanya. Demikian juga kalangan Kristen Liberal. Mereka tak segan-segan mengubah konsep teologisnya dalam memandang agama-agama lain. Apalagi setelah terjadi perubahan dalam teologi Katolik Roma – yang pemeluknya sekitar 1,1 milyar — dalam Konsili Vatikan II.
‘Giliran Islam !’
Setelah kalangan Yahudi dan Kristen bisa ‘dipaksa’ mengubah teologi eksklusifnya, maka giliran umat Islam yang didesak untuk mengikuti jejak mereka agar mengubah keyakinannya, bahwa ‘hanya Islam satu-satunya agama yang benar dan agama wahyu’. (QS 3:19, 85). Majalah The Theosophist edisi Maret 1929 yang terbit di Madras India, memuat satu artikel berjudul “Where Islam and Theosophy Meet”, oleh Mark K. Neff. “They see every religion as a partial expression of the Divine Wisdom.. Theosophy is the body of truths which forms the basis of all religions,” begitu pandangan Teosofis terhadap agama-agama. Semboyan Teosofi yang tertera pada simbolnya adalah “There is no religion higher than Truth.”
Di Indonesia, cara pandang kaum teosofi terhadap agama-agama ini banyak dianut kalangan ilmuwan penganut paham Pluralis Agama. Seorang tokoh pluralis yang sudah meninggal, menulis: “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama.”
Berangkat dari asumsi semacam itulah, maka kalangan Pluralis di kalangan masyarakat Islam, juga mencari legitimasi dan justifikasi dari ayat-ayat al-Quran – seperti QS 2: 62 dan 5:69 – dan tokoh-tokoh atau ulama Islam, seperti Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi, Rasyid Ridha, termasuk Hamka. Padahal, banyak penelitian sudah membuktikan, berbagai kutipan kaum Pluralis terhadap para tokoh dan ulama Islam itu tidak tepat.
Begitu juga kutipan mereka terhadap Tafsir Al-Manar-nya Rasyid Ridha dan Moh. Abduh. Tak berbeda pula dengan Tafsir al-Azhar-nya Hamka. Ketika menafsirkan kedua ayat al-Qur’an tersebut, Buya Hamka jelas menyebutkan, bahwa yang disebut beriman secara benar adalah beriman kepada segala wahyu yang diturunkan Allah kepada para RasulNya; tidak membeda-bedakan diantara satu Rasul dengan Rasul yang lain, percaya kepada keempat kitab yang diturunkan. (Prof. Dr. Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz 1 dan Juz 6).
Jadi, meyakini Muhammad saw sebagai Rasullullah dan meyakini kebenaran al-Qur’an, dalam pandangan Buya Hamka, adalah pra-syarat mutlak bagi iman yang benar. Keyakinan terhadap al-Qur’an berarti mengakui kebenaran isi al-Qur’an. Itu artinya, seorang Kristiani harus menolak konsep ketuhanan Yesus, dan meyakini Nabi Isa adalah Rasul Allah, bukan Tuhan atau anak Tuhan. Sebab, Allah sangat murka dituduh mempunyai anak. (QS 19:88-91).
Buya Hamka juga memberi contoh pada zaman Rasulullah saw beberapa individu baik dari Yahudi maupun Nasrani yang telah beriman kepada Allah, hari akhirat dan mengerjakan amal salih. Mereka tentu mengimani Muhammad saw sebagai utusan Allah. Dari kalangan Yahudi adalah Abdullah bin Salam, Ubai bin Ka’ab; dari kalangan Nasrani seperti Tamim ad-Dari, Adi bin Hatim atau Kaisar Najasyi (Negus), selain juga Salman al-Farisi yang berpindah dari Majusi kepada Nasrani yang akhirnya memeluk Islam. Semua contoh yang diberikan Buya Hamka, menunjukkan bahwa mereka memeluk Islam karena meyakini kebenaran ajaran Islam dan kenabian Muhammad saw. Karena itu, pintu gerbang masuk Islam adalah membaca dua kalimat syahadat. Tidak bisa dikatakan seorang Muslim dan mukmin, jika seseorang tidak beriman kepada kenabian Muhammad saw.
Di zaman yang penuh dengan fitnah, dimana kebenaran dan kebatilan dicampur aduk, sudah seyogyanya kaum Muslim kembali kepada al-Quran dan hadits, ditambah dengan metodologi pemahaman yang benar, sebagaimana yang telah diajarkan oleh para sahabat Nabi saw dan para ulama pewaris Nabi. Pada hemat saya, lebih selamat mengikuti pendapat Abu Bakar r.a., Umar r.a., Imam Syafii, al-Ghazali, dan ulama-ulama Islam terkemuka lainnya, ketimbang bertaklid kepada Anni Besant, Mahatma Gandhi, John Hick, Paul F. Knitter, Habermas, Derrida, dan sebagainya. Wallahu a’lam.
Editor | : | |
Sumber | : | insists.id |
- Potensi Covid-19 Klaster Industri di Bekasi
- Geliat Ekonomi Bekasi di Tengah Pandemi Covid-19
- Rintihan Pembelajaran Jarak Jauh di Masa Pandemi
- Masih Efektifkah Sistem Zonasi Covid-19 di Bekasi?
- Wabah Virus Corona, Haruskah Disyukuri?
- Bekasi Siapa Gubernurnya?
- Ancaman Transgender, Haruskah Kita Diam?
- Kenapa Bekasi Tenggelam?
- Nasib Bekasi : Gabung Jakarta Tenggara atau Bogor Raya?
- Air Bersih atau Air Kotor?
- Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)
- Refleksi Emas Kampung Buni di Tengah Gelar Kota Industri
- Apa Kata Netizen: Catatan Mudik 2019 Si Obat Rindu Masyarakat +62
- Diksi Kafir dalam Polemik
- Ironis, Kasus Nuril Tunjukkan Kebobrokan Hukum
0 Comments