Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Senin, 05/06/2017 10:00 WIB

Perdebatan Sengit di BPUPKI (1)

foto sidang bpupki 1
foto sidang bpupki 1
Oleh: Hanibal Wijayanta, Jurnalis Senior
 
Sejak pertempuran laut di Coral Sea, di sebelah Timur Australia, pada bulan Mei 1942, posisi Jepang dalam Perang Asia Timur Raya sesungguhnya dalam kondisi yang terus terdesak. Balatentara Jepang yang pada awalnya seolah-olah begitu digdaya dengan serbuan cepatnya ke Asia Timur dan Selatan, akhirnya mulai terhenti dan bahkan mengalami kekalahan besar secara beruntun di berbagai front pertempuran di Pasifik. 
Amerika Serikat pun mulai mengerahkan segala kemampuannya untuk mendukung Blok Sekutu dalam melawan Jerman, Italia dan Jepang. Maka, untuk meraih simpati dan dukungan rakyat Indonesia dalam perang Asia Timur Raya ini, Jepang mulai menebar janji kemerdekaan.[1] 
 
Janji kemerdekaan untuk Bangsa Indonesia di Kelak Kemudian Hari, diucapkan secara resmi oleh Perdana Menteri Jepang Koiso Kuniaki, dalam Sidang Istimewa Teikoku Gikai ke-85, pada tanggal 7 September 1944. Pengumuman ini kemudian disosialisasikan oleh Saiko Shikikan tepat pada upacara “Hari Pembangunan Asia Timur Raya” di Jakarta, pada hari Jum’at, 8 Kugatsu 2604, atau bertepatan dengan tanggal 8 September 1944, atau tanggal 20 Ramadhan 1363 H. 
 
Pengumuman Saiko Shikikan ini kemudian diikuti pula dengan diizinkannya pengibaran bendera Merah Putih, dan diperbolehkannya menyanyikan lagu Indonesia Raya oleh bangsa Indonesia. Di samping pengumuman itu, organisasi-organisasi Islam yang sudah ada semenjak zaman kolonial Hindia-Belanda dan dibekukan kegiatannya oleh Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang, seperti Nahdlatul Ulama, Persyarikatan Muhammadiyah, Persatuan Umat Islam, Al-Ittihadiyatul Islamiyah, dan Persatuan Islam diizinkan untuk beraktifitas kembali.[2]
 
Tapi tampaknya, semua janji-janji dan keputusan yang drastis itu bukan semata-mata karena kebaikan hati Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang. Jika tidak ada keadaan yang memaksa, maka janji-janji itu dipastikan tidak akan pernah ada. Sebab, janji kemerdekaan Indonesia yang diumumkan oleh Perdana Menteri Kekaisaran Jepang, maupun oleh Saiko Shikikan sebagai Pimpinan Tertinggi Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang di Indonesia ini diharapkan akan menumbuhkan dukungan rakyat Indonesia dalam menghadapi serangan balasan Sekutu.[3]
 
Pada tanggal 1 Maret 1945, Saiko Shikikan Letnan Jendral Kumakici Harada, Pimpinan Tertinggi Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang di Jawa, mengumumkan tentang rencana pembentukan Dokuritsu Zyunbi Tjoosakai, atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kemudian, pembentukan BPUPKI diumumkan pada tanggal 29 April 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika, Kaisar Hirohito.[4] Lagi-lagi pemberian janji dan pembentukan lembaga yang dianggap akan menguntungkan bangsa Indonesia dilaksanakan pada saat-saat yang bersejarah bagi Jepang. Tampaknya, hal ini dimaksudkan agar timbul kesan di benak masyarakat Indonesia, bahwa semua keputusan itu merupakan budi baik Kaisar dan Pemerintah Jepang. 
 
Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) beranggotakan 69 orang, dengan Ketua Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat, didampingi Ketua Muda, Walikota Cirebon bernama Ichibangase Yosio. Raden Panji Suroso, seorang bekas anggota Volksraad di zaman Hindia-Belanda, kemudian diangkat menjadi Kepala Badan Tata Usaha, atau semacam Sekretariat BPUPKI, dibantu oleh Toyohiko Masuda dan A.G. Pringodigdo.[5]  Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia juga dibentuk di Sumatera dan dipimpin oleh Muhammad Sjafei. Namun, berbeda dengan BPUPKI di Jawa yang bertanggung jawab kepada Saiko Shikikan (Panglima Tentara) Tentara Angkatan Darat Ke Enam Belas, BPUPKI Sumatera bertanggung jawab kepada Saiko Shikikan Tentara Angkatan Darat Ke Lima Belas. Kedua Panglima Tentara Angkatan Darat Jepang itu berada di bawah koordinasi Panglima Tentara kawasan Selatan, Marsekal Hisaichi Terauchi, yang berkedudukan di Saigon, Vietnam.[6] 
 
Upacara peresmian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dilaksanakan pada tanggal 28 Mei 1945, di gedung Tjuoo Sangi In, di jalan Pejambon 6, Jakarta. Pada zaman Hindia-Belanda, gedung ini adalah Gedung Volksraad, Lembaga Perwakilan Rakyat bentukan pemerintah Hindia-Belanda, dan kini dikenal dengan mana Gedung Pancasila, di Kompleks Departemen Luar Negeri.  Upacara peresmian BPUPKI ini juga dihadiri oleh dua orang pejabat Pemerintah Balatentara Pendudukan Jepang di luar Jawa, yakni Letnan Jenderal Itagaki Seisiroo (Panglima Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura) dan Letnan Jendral Nagano (Panglima Tentara Keenam Belas yang baru). Dalam acara itu, dikibarkanlah bendera Jepang, Hinomaru oleh Mr. A.G. Pringgodigdo kemudian disusul dengan pengibaran bendera Merah Putih oleh Toyohiko Masuda.[7] 
 
Rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang pertama dibuka pada tanggal 28 Mei 1945, sementara pembahasan baru dimulai pada keesokan harinya, dengan dimulainya masa sidang BPUPKI yang Pertama, dari tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Sesuai permintaan Ketua Sidang Dr. Radjiman Wediodiningrat, dalam sidang pertama ini, para anggota BPUPKI menyampaikan pemikirannya tentang dasar negara yang akan dibentuk nanti. Menurut catatan, selama empat hari rapat di masa sidang BPUPKI yang pertama ini, telah berbicara sebanyak 32 orang anggota BPUPKI, yaitu 11 orang pada tanggal 29 Mei, 10 orang pada tanggal 30 Mei, dan 6 orang pada tanggal 31 Mei, serta 5 orang pada tanggal 1 Juni 1945.[8]
 
Dalam sidang pertama BPUPKI pada tanggal 29 Mei 1945, Mr. Muhammad Yamin mengusulkan sebuah konsep dasar negara, dengan mengacu pada sejarah nasional, dan pendapat para pemikir barat. Pada sidang-sidang selanjutnya, beberapa tokoh ulama dan kiai anggota BPUPKI juga sempat melontarkan gagasan mereka tentang keharusan bahwa negara yang akan dibentuk di Nusantara ini memakai aturan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Namun sayang, pendapat para tokoh ulama dan kiai ini banyak yang tidak terdokumentasikan dengan baik. 
 
Contoh yang sangat jelas adalah tidak dimuatnya pidato K.H. Ajengan Ahmad Sanoesi, pendiri Persatuan Ummat Islam Indonesia, dan Pesantren Gunung Puyuh, Cantayan, Sukabumi, yang kemudian diangkat menjadi Wakil Residen Bogor.[9]  Padahal, beberapa orang tokoh pendiri bangsa ini kemudian berpidato –dan terdokumentasikan dengan baik— sebagai tanggapan atas pernyataan K.H. Ajengan Ahmad Sanoesi dalam pidato sebelumnya. Sementara itu, puluhan tahun kemudian, hanya pidato mantan Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam persidangan BPUPKI ke dua, pada tanggal 31 Mei 1945, yang ditemukan catatan notulensinya. Selama berpuluh-puluh tahun notulensi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo itu tidak pernah dimuat dalam dokumen resmi. 
 
Beberapa petikan pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dalam Sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 itu, adalah sebagai berikut:
 
“Tuan-tuan dan sidang yang terhormat! Dalam negara kita, niscaya tuan-tuan menginginkan berdirinya satu pemerintahan yang adil dan bijaksana, berdasarkan budi pekerti yang luhur, bersendi permusyawaratan dan putusan rapat, serta luas berlebar dada tidak memaksa tentang agama. Kalau benar demikian, dirikanlah pemerintahan itu atas agama Islam, karena ajaran Islam mengandung kesampaiannya sifat-sifat itu.” [10]
Setelah mengutip ayat suci Al-Qur’an dalam surah An-Nahl ayat 90, surah An Nisa ayat 5, surah Ali Imron ayat 158, surah Asy-Syura ayat 38 serta surah Al Baqarah ayat 256, Ki Bagoes Hadikoesoemo kemudian melanjutkan lagi pidatonya:
 
“Dengan ayat-ayat yang singkat ini, cukuplah kiranya sudah untuk mengetahui bahwa agama Islam itu cakap dan cukup serta pantas dan patut untuk menjadi sendi pemerintahan kebangsaan di negara kita Indonesia ini. Tetapi di antara tuan-tuan ada juga orang-orang yang tidak setuju negara kita ini berdasarkan agama.”[11]
 
Pada bagian akhir Ki Bagoes mengatakan :
 
“Oleh karena itu tuan-tuan, saya sebagai seorang bangsa Indonesia tulen, bapak dan ibu saya bangsa Indonesia, nenek moyang saya pun bangsa Indonesia juga yang asli dan murni belum ada campurannya; dan sebagai seorang Muslim yang mempunyai cita-cita Indonesia Raya dan Merdeka, maka supaya negara Indonesia merdeka itu dapat berdiri tegak dan teguh, kuat dan kokoh, saya mengharapkan akan berdirinya negara Indonesia itu berdasarkan agama Islam. Sebab, itulah yang sesuai dengan keadaan jiwa rakyat yang terbanyak, sebagaimana yang sudah saya terangkan tadi. Janganlah hendaknya jiwa yang 90 persen dari rakyat itu diabaikan saja tidak dipedulikan. Saya khawatir apabila negara Indonesia tidak berdiri di atas agama Islam, kalau-kalau umat Islam yang terbanyak itu nanti bersifat pasif atau dingin tidak bersemangat: sebagaimana yang dikuwatirkan juga oleh tuan Kiai Sanusi tadi. Tetapi saya mengharapkan jangan sampai kejadian demikian. Tuan-tuan, sudah banyak pembicara yang berkata, bahwa agama Islam itu memang tinggi dan suci. Sekarang bagaimana kalau orang yang tidak mau diikat oleh agama yang sudah diakui tinggi suci, apakah kiranya akan mau diikat oleh pikiran yang rendah dan tidak suci? Kalau jiwa manusia tidak mau bertunduk kepada agama perintah Allah, apakah kiranya akan suka bertunduk kepada perintah pikiran yang timbul dari hawa nafsu yang buruk? Pikirkan dan camkanlah tuan-tuan.”[12]
 
Notulensi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo yang sangat mendasar, tajam dan bernas ini, selama berpuluh–puluh tahun tidak pernah terungkap dalam pembicaraan politik dan urusan kenegaraan di Indonesia. Begitu pula pidato tokoh-tokoh Islam anggota BPUPKI lainnya. Tentu sangatlah janggal dan aneh jika beberapa orang tokoh muslim anggota BPUPKI yang sangat dikenal oleh masyarakat muslim sebagai orator dan singa podium, sama sekali tidak urun rembug dalam masalah krusial seperti dalam pembahasan dan pembentukan negara Indonesia ini. Sementara itu, dalam Buku Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 
 
28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945 yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara pada tahun 1998, terdapat catatan kaki yang menarik: 
 
“Risalah ini tidak terdapat baik dalam buku Prof. Mr. Muhammad Yamin yang terbit pada tahun 1959, maupun dalam berkas arsip yang diterima dari Negeri Belanda, dan yang ditemukan dalam perpustakaan Puri Mangkunegaran Solo. Risalah ini diterima Sekretariat Negara dari arsip keluarga Ki Bagoes Hadikoesoemo yang diserahkan oleh putra beliau, Kolonel (L) Basmal Hadikoesoemo.”[13] 
 
Hingga kini belum ada penyelidikan yang mendalam dan menyeluruh tentang hilangnya beberapa arsip penting dalam kehidupan bernegara di Indonesia ini, seperti raibnya notulen rapat BPUPKI dan PPKI. Padahal, di antara notulen rapat yang hilang itu berisi pidato Ki Bagoes Hadikoesoemo dan tokoh-tokoh Islam lainnya.
 
Beberapa ahli sejarah seperti Ahmad Mansyur Suryanegara menduga, ada faktor kesengajaan dari beberapa pihak untuk menggelapkan peran dan jasa para tokoh Islam. Parahnya, upaya penggelapan sejarah itu pertama kali justru dilakukan oleh salah satu tokoh pendiri bangsa. Diduga, tujuannya adalah agar pemikiran, ide serta peranan para founding fathers Indonesia dari kalangan ulama dan tokoh-tokoh Islam tidak muncul, sehingga seolah kaum muslimin tidak berperan sama-sekali dalam penyusunan sendi-sendi Negara Indonesia ini. 
 
Dalam buku yang disusun Prof. Mr. Mohammad Yamin, “Naskah Persiapan UUD 1945”, misalnya. Dalam buku itu Mohammad Yamin sama sekali tidak mencantumkan pembicaraan para pemuka nasionalis Islam, karena pada dasarnya, ia memang menolak Islam menjadi dasar negara Indonesia. Buku itu tampaknya kemudian menjadi strategi dasar de-Islamisasi dalam penulisan sejarah Indonesia.[14]
 
Setelah Ki Bagoes Hadikoesoemo berpidato, sebenarnya Mohammad Hatta langsung menanggapi dan menolak ide Negara Islam yang dilontarkan oleh Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah itu. Sayang, pidato Mohammad Hatta ini pun hingga kini belum dapat diketemukan notulensi maupun salinan aslinya, sehingga argumen-argumen penolakan Mohammad Hatta belum dapat ditelaah lagi. 
 
Padahal pidato Mohammad Hatta itu pula yang kemudian menjadi dasar pijakan penolakan para founding fathers Indonesia dari kalangan nasionalis sekuler dan non muslim Indonesia Timur terhadap ide Negara Islam yang disampaikan para tokoh muslim. Para sejarawan menduga, orang yang paling bertanggung jawab dalam menghilangkan beberapa pidato penting itu juga Muhammad Yamin. Bahkan, tidak hanya sekadar menyembunyikan pidato penting dari beberapa orang tokoh nasional dalam rapat-rapat BPUPKI itu, Muhammad Yamin justru menambahkan beberapa teks pidato miliknya sendiri dalam buku “Naskah Persiapan UUD 1945” yang disusunnya. 
 
Padahal, menurut Mohammad Hatta, sesungguhnya Muhammad Yamin tidak pernah berpidato tentang lima sila sebagaimana ditulisnya dalam bukunya itu, di dalam sidang-sidang BPUPKI.[15]  
 
Meskipun demikian, fakta tentang adanya pidato bantahan Mohammad Hatta tentang ide pembentukan negara Indonesia berdasarkan azas Islam sebagaimana dilontarkan oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo dan K.H. Ahmad Sanoesi, dapat ditemukan dari pidato Prof. Dr. Mr. Soepomo yang pada prinsipnya kurang lebih sejalan dengan ide Mohammad Hatta. Berikut petikan pidatonya:
 
“Oleh anggota yang terhormat Tuan Moh Hatta telah diuraikan dengan panjang lebar, bahwa dalam negara persatuan di Indonesia hendaknya urusan negara dipisahkan dari urusan agama. Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Moh. Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam. Apa sebabnya di sini saya mengatakan “bukan negara Islam?” Perkataan “negara Islam” lain dengan artinya dari pada perkataan “Negara berdasarkan atas cita-cita luhur dari agama Islam”. Apakah perbedaannya akan saya terangkan. Dalam negara yang tersusun sebagai “negara Islam”, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama adalah satu, bersatu padu.”[16]
 
Kemudian, Soepomo melanjutkan:
 
“Tadi saya mengatakan bahwa dalam negara Islam, negara tidak bisa dipisah-pisahkan dari agama, dan hukum syariah itu dianggap senagai perintah Tuhan untuk menjadi dasar, untuk dipakai oleh negara. Dalam negara-negara Islam, misalnya di negara Mesir dan lain-lain yang menjadi soal, ialah apakah hukum syariat dapat dan boleh diubah, diganti, disesuaikan menurut kepentingan internasional menurut aliran zaman? Ada suatu golongan yang terbesar yang mengatakan bahwa itu tidak diperbolehkan. Tetapi ada lagi golongan yang mengatakan bisa disesuaikan dengan zaman baru. Umpamanya saja seorang ahli agama terkenal, yaitu Kepala dari sekolah tinggi “Al-Azhar” di Kairo, Muhammad Abduh yang termasyhur namanya – dan ia mempunyai murid di sini juga—mengatakan, “Memang hukum syariah bisa diubah dengan cara “ijmak”, yaitu permusyawaratan, asal tidak bertentangan dengan Qur’an dan dengan Hadis. Ada lagi yang mempunyai pendirian yang lebih radikal, seperti Ali Abdul Razik, yang mengatakan bahwa agama terpisah daripada hukum yang mengenai kepentingan negara. Dengan pendek kata, dalam negara-negara Islam masih ada pertentangan pendirian tentang bagaimana seharusnya bentuk hukum negara, supaya sesuai dengan aliran zaman modern, yang meminta perhatian dari negara-negara yang turut berhubungan dengan dunia internasional itu…”[17]
 
Dalam sidang BPUPKI selanjutnya, sebenarnya masih terjadi perdebatan seru akibat perbedaan tajam antara kubu Islam –dengan 35 orang anggota— yang  menghendaki dasar negara Indonesia berdasarkan Islam, dan kubu sekuler dan non muslim yang tidak menghendaki peran agama (Islam) dalam negara. Golongan sekuler dan non muslim menginginkan agar Indonesia berdasarkan prinsip kebangsaan. Perdebatan panjang itu tidak terselesaikan sampai tanggal 1 Juni. Pada tanggal 1 Juni itu, Soekarno berpidato selama satu jam yang penuh dengan janji dan rayuan kepada para tokoh BPUPKI dari kubu Islam agar mau berkorban dan berkompromi untuk membangun cita-cita Negara Indonesia yang hendak dicapai bersama. 
 
Pidato panjang yang sangat memukau hadiri itu dikemudian hari dikenal dengan judul Lahirnya Pancasila. Berikut beberapa petikannya:
 
“Saya minta, saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo dan saudara-saudara Islam lain: maafkan saya memakai perkataan, “kebangsaan” ini! Saya pun orang Islam. Tetapi saya meminta kepada saudara-saudara, janganlah saudara-saudara salah faham jikalau saya katakan bahwa dasar pertama buat Indonesia ialah dasar kebangsaan. Itu bukan berarti satu kebangsaan dalam arti yang sempit, tetapi saya menghendaki satu nationale staat, seperti yang saya katakan dalam rapat di Taman Raden Saleh beberapa hari yang lalu. Satu Nationale Staat Indonesia bukan berarti staat yang sempit. Sebagai saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo katakan kemarin, maka Tuan adalah orang Bangsa Indonesia, datuk-datuk Tuan, nenek moyang Tuan pun Bangsa Indonesia. Di atas satu kebangsaan Indonesia, dalam arti yang dimaksudkan oleh saudara Ki Bagoes Hadikoesoemo itulah, kita dasarkan Negara Indonesia.[18]
 
Selanjutnya, untuk menarik perhatian para tokoh muslim anggota BPUPKI, Soekarno pun mencoba meyakinkan mereka, bahwa dirinya pun sejatinya adalah seorang pembela Islam. Selanjutnya, dalam pidatonya, Soekarno mengatakan:
 
“Untuk pihak Islam, inilah tempat yang terbaik untuk memelihara agama. Kita, saya pun, adalah orang Islam –maaf beribu maaf, keislaman saya jauh belum sempurna—tetapi kalau saudara-saudara membuka saya punya dada, dan melihat saya punya hati, Tuan-tuan akan dapati tidak lain tidak bukan hati Islam. Dan hati Islam Bung Karno ini, ingin membela Islam dalam mufakat, dalam permusyawaratan. Dengan cara mufakat, kita perbaiki segala hal juga keselamatan agama, yaitu dengan jalan pembicaraan dan permusyawaratan di dalam Badan Perwakilan Rakyat.”[19]
 
Ketika menjelaskan tentang prinsip musyawarah mufakat, Soekarno pun kembali menyinggung sentimen kaum muslimin tentang pemilihan seorang Khalifah atau Amirul Mu’minin, sebutan untuk kepala negara dalam pandangan Islam:
 
“Tidakkah agama Islam mengatakan bahwa Kepala-Kepala Negara, baik khalif maupun Amirul Mu’minin harus dipilih oleh rakyat? Tiap-tiap kita mengadakan Kepala Negara, kita pilih. Jikalau pada suatu hari Ki Bagoes Hadikoesoemo misalnya menjadi Kepala Negara Indonesia dan mangkat, meninggal dunia, jangan anaknya Ki Hadikoesoemo dengan sendirinya, dengan otomatis menjadi pengganti Ki Hadikoesoemo. Maka oleh karena itu saya tidak mufakat kepada prinsip monarkhi.”[20]
 
Namun, pada saat menjelaskan tentang prinsip Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, Soekarno justru seolah melupakan kewajiban kaum muslimin untuk melaksanakan syari’at Islam ketika mengaku sebagai seorang muslim, dan ber-Tuhan menurut ajaran Nabi Muhammad SAW. Dengan lugas ia mengatakan :
 
“Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan. Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa Al Masih, yang belum ber-Tuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semua ber-Tuhan. Hendaknya Negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhan dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada “egoisme agama”. Dan hendaknya Negara Indonesia satu negara yang ber-Tuhan.”[21]
 
Dalam perdebatan selanjutnya, para politisi Islam harus bersusah payah untuk berkompromi dengan rumusan undang-undang dasar yang tidak tegas menyebutkan tentang negara Islam, presiden Islam dan sebagainya. Akhirnya dibentuklah sebuah panitia kecil beranggotakan sembilan orang yang akan merumuskan pokok pikiran pendirian negara Indonesia. Sembilan orang itu adalah Soekarno, Mohammad Hatta, Ahmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, K.H. Abdoel Kahar Moezakir, K.H. Abdoel Wahid Hasyim, A.A. Maramis, Haji Agoes Salim, Mr. Mohammad Yamin. Perhatian utama dari Panitia Sembilan adalah untuk mencari suatu modus, persetujuan antara kelompok Islam dan kelompok nasionalis, yang sudah timbul dalam sidang pertama BPUPKI. Kemudian, pada tanggal 22 Juni 1945, Panitia Sembilan berhasil merumuskan suatu konsensus politik yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan.[22] 
 
Perjuangan dan pengorbanan para tokoh Islam yang menjadi anggota BPUPKI ini masih sempat agak terobati dengan adanya rumusan konsensus “Piagam Jakarta” yang berhasil disusun oleh Panitya Sembilan. Mr. Mohammad Yamin menyebut konsensus itu sebagai "Jakarta Charter", Prof. Dr. Mr. Soepomo menyebut naskah itu sebagai sebuah "Perjanjian Luhur", sedangkan Dr. Sukiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai "Gentlemen Agreement". Adapun bagi kalangan Islam, inti sari dari “Piagam Jakarta” itu adalah tujuh kalimat: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.[23]
 
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, anak kalimat dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diusulkan oleh anggota Panitya Sembilan BPUPKI, Prof. K.H. Abdoel Kahar Moezakkir. Adanya anak kalimat ini untuk sementara waktu telah meredakan ketegangan ideologi pada bulan-bulan menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan rumusan anak kalimat itu pendukung dasar Islam telah sedikit terobati hatinya, sekalipun untuk jangka panjang dasar Islam ternyata harus mereka perjuangkan lagi. Sebab, anak kalimat itu rupanya hanya berumur 57 hari bersama induk kalimatnya.[24] 
 
Piagam Jakarta inilah yang seharusnya dibacakan pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia nanti. Namun, dalam beberapa jam menjelang, maupun pada saat pembacaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, naskah yang disusun Panitia Sembilan sebagai suatu konsensus politik, yang mencerminkan dan mewadahi aspirasi semua golongan itu, justru seolah dilupakan oleh para penyusunnya sendiri. Padahal, sebagai Ketua Panitya Sembilan, dalam rapat ke I sidang ke II, BPUPKI, tanggal 10 Juli 1945, sebelum membacakan teks Piagam Jakarta, Soekarno mengatakan bahwa:
 
“Panitya sembilan orang inilah sesudah mengadakan pembicaraan yang masak dan sempurna, telah mencapai hasil baik untuk mendapatkan suatu modus, satu persetujuan, antara pihak Islam dan pihak Kebangsaan.  Modus persetujuan itu termaktub di dalam satu rancangan pembukaan hukum dasar, rancangan preambule hukum dasar, yang dipersembahkan sekarang oleh Panitya Kecil kepada sidang sekarang ini, sebagai usul.[25]
 
Selanjutnya, pada saat mempertahankan rumusan yang telah disusun oleh Panitia Sembilan itu di hadapan rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945, terhadap keinginan-keinginan para anggota, baik untuk mengurangi –K.H. Ahmad Sanusi dan Ki Bagoes Hadikoesoemo meminta frasa “bagi pemeluk-pemeluknya” dihilangkan saja— ataupun untuk menambahkan kalimat lainnya, Soekarno pun mengatakan:
 
“Paduka Tuan Ketua, kami Panitya Perancang mengetahui bahwa anggota yang terhormat Sanusi minta perkataan, “bagi pemeluk-pemeluknya” dicoret. Sekarang ternyata, bahwa anggota yang terhormat Hadikoesoemo minta juga dicoretnya. Tetapi kami berpendapat, bahwa kalimat-kalimat itu seluruhnya berdasar kepada ke-Tuhanan, sudah hasil kompromis di antara 2 pihak. Sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan di antara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, gaven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil. Bahkan kemaren di dalam Panitya soal ini ditinjau lagi dengan sedalam-dalamnya di antara yang lain-lain, sebagai tuan-tuan yang terhormat mengetahui, dengan Tuan Wachid Hasjim dan Agus Salim di antara anggota panitya, kedua-duanya pemuka Islam. Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi Panitya memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Mohd Yamin, “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan tuan anggota yang terhormat Sukiman, “Gentlemen Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak Kebangsaan. Saya mengaharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan Panitya ini.”[26] 
 
Namun, beberapa kejanggalan tampak dalam notulensi sidang BPUPKI tanggal 16 Juli 1945, yang terkesan sangat pendek dan langsung pada kesimpulan dengan diterimanya beberapa putusan mengenai teks Undang-Undang Dasar yang berkaitan langsung dengan aspirasi Ummat Islam tanpa ada keberatan sama-sekali dari para tokoh Islam.[27] 
 
Padahal sehari sebelumnya, tanggal 15 Juli 1945, dalam sidang BPUPKI yang panjang dan panas ketika membahas beberapa pasal krusial yang berkaitan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, beberapa tokoh Islam angkat bicara. Dalam rapat tanggal 15 Juli 1945 itu, K.H. Masjkoer yang baru pertama kalinya berbicara di hadapan sidang BPUPKI, mempertanyakan tentang penerapan frasa kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam kaitannya dengan beberapa pasal. Pasal-pasal itu misalnya pasal 7 tentang Presiden harus bersumpah menurut agamanya yang bermakna bisa berarti agama selain Islam. Padahal, dalam ayat yang lain disebutkan pula bahwa Presiden adalah orang Indonesia asli yang beragama Islam, serta pasal 28 tentang agama resmi bagi Republik Indonesia adalah agama Islam. Sebab, menurut pendapat K.H. Masjukoer kedua ayat itu bertentangan sehingga harus dikompromikan atau dengan mencoret salah satu ayat itu.[28] 
 
Karena usul K.H. Masjkoer belum juga disepakati, sementara Soekarno sebagai tokoh Nasionalis mencoba membujuk para hadirin dengan panjang lebar maka, K.H. Abdoel Kahar Moezakkir kemudian meminta agar semua yang tertulis di dalam Undang-Undang Dasar yang menyebut-nyebut Allah, dan berkaitan dengan agama Islam atau apa saja, untuk dicoret sama-sekali. Bahkan K.H. Abdoel Kahar Moezakkir menutup ucapannya sambil memukul meja.[29] 
 
Perdebatan pun berlangsung seru antara tokoh-tokoh kalangan nasionalis dengan tokoh-tokoh kalangan Islam. K.H. Masjkoer, K.H. Abdoel Kahar Moezakkir, K.H. Ahmad Sanoesi dan Ki Bagoes Hadikoesoemo secara bergantian berbicara. Bahkan Ki Bagoes Hadikoesomo kemudian meminta para anggota BPUPKI bersikap tentang negara Indonesia yang akan mereka bentuk ini, apakah berdasarkan agama atau tidak.[30]
 
Kalaupun setelah rapat tanggal 15 Juli 1945 itu kemudian digelar pertemuan antara faksi Islam dan faksi kebangsaan sebagaimana disebutkan oleh Soekarno dalam rapat tanggal 16 Juli 1945,[31] bagaimana proses perdebatan dalam pertemuan itu tidak pernah tergambar dengan jelas karena tidak ada notulensinya.
 
Kemudian, dengan menyimak notulensi rapat yang seru dan penuh perdebatan sengit pada tanggal 15 Juli 1945, mengapa para tokoh Islam itu kemudian sama sekali tidak berbicara dalam sidang keesokanharinya? Padahal, dalam sidang tanggal 16 Juli 1945 itu, ditetapkan bahwa pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar berbunyi, “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”.[32] 
 
Sementara itu, ketika BPUPKI menutup sidangnya yang kedua dan terakhir pada tanggal 16 Juli 1945,[33]  Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wediodiningrat mengatakan, “Jadi, rancangan ini sudah diterima semuanya, Jadi, saya ulangi lagi, Undang-undang Dasar ini kita terima dengan sebulat-bulatnya. Bagaimana Tuan-Tuan? Untuk penyelesaiannya saya minta dengan hormat supaya yang setuju, yang menerima, berdiri.” Kemudian, “Saya lihat Tuan Yamin belum berdiri.” Lalu, “Dengan suara bulat diterima Undang-Undang Dasar ini. Terima kasih Tuan-Tuan…” Hadirin pun bertepuk tangan.[34]  Pada saat itu, sesungguhnya yang disetujui BPUPKI adalah naskah Undang-Undang Dasar yang memuat kalimat Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya yang tercantum dalam Jakarta Charter sebagai pembukaannya, dan pasal 4 ayat 1, yang berbunyi “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.” 
    
===
[1]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945. Sekretariat Negara Republik Indonesia. Jakarta. 1998. hlm xxiv – xxv. 
[2]  Ahmad Mansur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. Bandung. 2010. hlm 99. 
[3]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm xxiv – xxv. 
[4]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm lvii – lviii. 
[5]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm lvii – lviii. 
[6]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm xxvii. 
[7]  Nana Nurlina Soeyono dan Sudarini Suhartono. Sejarah untuk SMP dan MTS. Grasindo. Jakarta. 2012. hlm 129 – 130. 
[8]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm xxvii. 
[9]  K.H. Ajengan Ahmad Sanoesi adalah seorang tokoh dan guru para kiai dan ulama di Jawa Barat. Kiai Ahmad Sanoesi adalah Ketua Persatoean Oemat Islam Indonesia, pendiri pesantren Gunung Puyuh, Cantayan, Sukabumi, dan pendiri Al-Ittihadul Islamiyah, Sukabumi. Sejak Januari 1944, K.H. Ahmad Sanoesi menjabat sebagai Shu Sangi Kai (Dewan Penasehat Daerah) Karesidenan Bogor. Kemudian, pada bulan Desember 1944, K.H. Ahmad Sanoesi diangkat menjadi Foku Shuchokan (Wakil Residen) Bogor. Menjelang Proklamasi, K.H. Ahmad Sanoesi dipilih menjadi anggota BPUPKI. Setelah Indonesia merdeka, K.H. Ahmad Sanusi kemudian terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari Partai Masyumi. Meski banyak berperan di BPUPKI, ulama besar ini nyaris tak pernah disebut-sebut perannya sebagai founding fathers Indonesia. Lihat Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. Salamadani. Bandung. 2010. hlm 136. Lihat pula Didin Hafidhuddin dkk. Pemikiran dan Gerakan K.H. Ahmad Sanusi dalam Kaderisasi Ulama di Jawa Barat. Asosiasi Ilmu Pendidikan Islam Indonesia (AIPII) Bekerjasama dengan Program Pascasarjana Universitas Ibn Khaldun. Bogor. 2011. hlm 120 – 123. 
[10]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 41.
[11]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 42.
[12]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 48.
[13]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 33
[14]  Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. hlm 128
[15]  Ahmad Mansyur Suryanegara. Api Sejarah 2. hlm 128. Mohammad Yamin adalah sosok intelektual, ahli hukum dan sejarawan yang kurang disukai karena perilakunya. Semula Mohammad Yamin adalah tokoh pemimpin Jong Sumatranen Bond, kemudian bergabung dengan Indonesia Muda, lalu ke Partai Indonesia (Partindo) dan kemudian bergabung dengan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Pada tahun 1939 Mohammad Yamin dipecat dari Partai Gerindo karena meskipun sudah diperingatkan oleh Pengurus Besar Partai, ia masih tetap menerima pemilihannya sebagai anggota Dewan Kota (Gementee Raad) dalam sidang 1939 – 1943, dengan tidak semufakat dengan Gerindo. Mohammad Yamin dipilih oleh orang-orang yang bukan anggota partai Gerindo, dan yang juga tidak bekerja bersama-sama dengan partai Gerindo. Setelah dipecat dari Gerindo, bersama beberapa orang bekas anggota Gerindo, Mohammad Yamin kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Parpindo mengambil sikap kooperatif atau bekerja sama dengan Pemerintah Hindia-Belanda dan berusaha mencapai kemajuan ke arah suatu masyarakat dan bentuk negara yang tersusun menurut keinginan rakyat, Parpindo mempergunakan Sosial–Nasionalisma dan Sosial–Demokrasi sebagai dasar perjuangan. Parpindo sebagian terdiri atas orang-orang yang melompat dari kalangan Partai Gerindo, dan ia tidak disukai umum karena ia tidak terlahir dari pada kebutuhan politik yang sungguh-sungguh. Kecuali Mr. Mohammad Yamin, tidak ada lagi orang-orang yang sudah bersekolah tinggi yang duduk di dalam partai itu. Lihat A.K. Pringgodigdo. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. hlm 117 – 118. 
[16]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. (Editor). Ibid. hlm 57-58.
[17]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. (Editor). Ibid. hlm 59.
[18]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati. (Editor). Ibid. hlm 92-93.
[19]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 98.
[20]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 101.
[21]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 101.
[22]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm xxxv.
[23]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm xxxv.
[24]  Dwi Purwoko. Dr. Mr. T.H. Mohammad Hasan. Salah Seorang Pendiri Republik Indonesia dan Pemimpin Bangsa. Penebar Swadaya. Jakarta. 1995. hlm 37.
[25]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 116.
[26]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 265.
[27]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 380 – 386.
[28]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 368 – 369.
[29]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 372.
[30]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 370 – 378.
[31]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 381.
[32]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 383.
[33]  Prawoto Mangkusasmito, dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi, mengatakan bahwa rapat itu terjadi pada tanggal 17 Juli 1945, sementara Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor) dalam buku Ibid, menjelaskan bahwa rapat terjadi pada tanggal 16 Juli 1945. Lihat Prawoto Mangkusasmito. Pertumbuhan Historis Rumus Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi. Bulan Bintang. Jakarta. 1977. hlm 18. Serta Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 380 – 386. 
[34]  Saafroedin Bahar dan Nannie Hudawati (Editor). Ibid. hlm 386.
Editor :
Sumber : Hanibal Wijayanta
- Dilihat 65740 Kali
Berita Terkait

0 Comments