Oase Iman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 28/04/2015 15:45 WIB

Keyakinan Yang Menepis Segala Keraguan

masih ragukan kepada Allah
masih ragukan kepada Allah

Oleh: Sarah Zakiyah

( Penulis adalah Pengurus PP Muslimat Hidayatullah)
 


PERJALANAN manusia mencari tuhan telah dimulai sejak manusia itu ada, sama lamanya dengan pencarian jati diri manusia itu sendiri.

Kajian tentang manusia dan tuhan mungkin terus berlanjut hingga berakhirnya kehidupan dunia. Persepsi tentang tuhan yang dihadirkan pun bermacam-macam. Tengoklah misalnya pendapat sarjana barat Karen Armstrong, penulis buku Sejarah Tuhan, yang menyebut tuhan sebagai figur kabur yang hanya bisa diidentifikasi dengan abstraksi intelektual.

Ulama pun banyak sekali membahas tentang masalah ini. Mulai dari tulisan mereka yang  menyangkal syubhat Tauhid hingga kaidah-kaidah yang dijadikan landasan dalam memahami Tuhan.

Lalu pertanyaannya, apa sebenarnya yang menjadi sebab sehingga pembahasan ini seperti tak kunjung usai? Mari kita bahas sedikit di sini.

Keberadaan manusia, alam, dan seisinya mengusik akal untuk mengetahui siapa pencipta. Manusia ingin menemukan gerangan siapa desainer di balik keberadaan-Nya. Akal manusia yang pada dasarnya limited terus berusaha mengungkapkannya dalam kata dan menjelaskannya dengan segala hal yang dapat dirasakan dan dilihat inderawi.

Manusia-manusia yang mengedepankan logika berusaha mememukan tuhan yang ghaib  dan memaksa melakukan interpretasi ilmiah agar tuhan bisa dibuktikan keberadaannya secara kasat mata (konkrit). Usaha-usaha imanensi tanpa keyakinan Tauhid terhadap hal ihwal transenden pun pada akhirnya tak menyimpulkan apa-apa selain kebingungan.

Pembahasan ini makin meruncing saat manusia berkubang dalam lumpur kejahiliaan, keadaan di mana manusia menolak petunjuk dari Allah. Penolakan itu karena hawa nafsu menjadi lentera utama yang diletakkan di depan menjadi penuntun mereka menelusuri jalan kehidupan ini.

Keesaan Allah diingkari karena menurut mereka akal dan logika tidak menjumpai tuhan secara konkrit. Pada tingkatan yang parah, kita menyaksikan dan membaca betapa banyak pernyataan yang mereka ucapkan tentang keingkaran mereka, misalnya; “Tuhan telah Membusuk, “Menggugat keberadaan Tuhan”, “Tuhan telah mati”, dan lain sebagainya.

Inilah keadaan jahiliyah yang lebih parah dari kejahiliaan yang ada pada kaum badui sebelum kedatangan Muhammad Rosulullah Shallallahu ‘alaihi Wassallam. Mengapa demkian? Karena kaum yang hidup di zaman nabi adalah umat yang tak mengenal ilmu, sedangkan sekarang ilmu pengetahuan dapat dengan mudah didapatkan.

Ilmu yang seharusnya menjadi alat mendekatkan diri kepada Allah yang transenden, malah mereka jadikan barometer ada atau tidak adanya Allah. Ma’adzallah!

Inilah kesalahan terbesar akal, yang saat ini dijadikan barometer segala hal oleh manusia. Lupa akan hakikat diri bahwa ia ada karena ada Dzat yang membuatnya ada. Hawa nafsulah yang mengusai hati dan jiwa manusia membutakan fitrah yang mereka miliki.

Keangkuhan intelektual telah menulikan telinga dan menumpulkan hati nurani manusia hingga mereka tak dapat menyaksikan kebenaran sebagaimana Allah firmankan dalam QS. Al-Jatsiyah:

أَفَرَأَي"تَ مَنِ ات"َخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ وَأَضَل"َهُ الل"َهُ عَلَىٰ عِل"مٍ وَخَتَمَ عَلَىٰ سَم"عِهِ وَقَل"بِهِ وَجَعَلَ عَلَىٰ بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَن يَه"دِيهِ مِن بَع"دِ الل"َهِ ۚ أَفَلَا تَذَك"َرُونَ

“Maka apakah kamu memperhatikan orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Ilah / sesembahan, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmuNya dan Allah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya, maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah membiarkannya sesat, apakah kamu tidak mengambil pelajaran?.” QS. Al-Jatsiyah:[45]: 23]

Kemampuan akal manusia yang limited tidak akan bisa menjangkau eksistensi Allah Ta’ala sebagai Dzat yang tidak terbatas (unlimited). Tafsir liar tentang tuhan yang keluar dari akal manusia yang terbatas kemampuannya itu adalah suatu keharaman dalam agama.

Rasulullah Shollallahu alaihi wa sallam bersabda memperingatkan sebagaimana termaktub dalam Mu’jam Ath-Thobari dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallaahu anhu:

“Berfikirlah kalian akan tanda-tanda kekuasaan Allah, dan janganlah berfikir tentang Dzat Allah“.

Segala cara yang ditempuh untuk menghadirkan Allah secara konkrit tak akan membuahkan hasil. Sebab, kemampuan akal manusia terbatas. Dan, mengerahkan segala usaha untuk hal ini akan membawa pada kebinasaan manusia.

Abu Ja’far Athohawi dalam Al-Aqidah Athohawiyah mengatakan, “Allah itu tak akan mampu digapai oleh khayal, tak akan sampai akal memikirkan dan tak akan pernah meyerupai makhluk-Nya.“

Dalam literatur klasik Islam telah dijelaskan bahwa untuk mengetahui tentang sesuatu langkahnya adalah kita harus menyaksikannya secara langsung tetapi ini tidak mungkin dilakukan pada Allah sebagai Dzat transenden. Dalam surah Al An’am: 103 Allah berfirman:

لا"َ تُد"رِكُهُ الأَب"صَارُ وَهُوَ يُد"رِكُ الأَب"صَارَ وَهُوَ الل"َطِيفُ ال"خَبِيرُ

“(Allah ) tak dapat ditembus penglihatan dan Dialah yang dapat menembus segala penglihatan.”

Sehingga, mengukur, mengqiyaskan, atau menyerupakan Allah dalam figur konkrit adalah sesuatu yang terlarang. Ini pun mustahil bagi Allah karena Allah tidaklah menyerupai apapun. Ini sebagaimana firman-Nya dalam surah Asysyura ayat 11: “Tidak ada sesuatu pun yang menyerupaiNya , dan Dialah Maha Mendengar Maha Mengetahui“.

Konsep mengenal Tuhan adalah menghukumi sesuatu dan mengetahuinya dari jejak yang terlihat dan dapat disentuh. Seperti inilah mengenal Allah, tak perlu melihat Dzat-Nya, cukup tanda-tanda keberadaan-Nya yang dapat dilihat pada diri manusia sendiri, alam semesta dan jagad raya.

Demikianlah perintah Allah kepada manusia agar memahami dzatnya yang mulia. “Tidakkah mereka merenungkan apa yang ada pada diri mereka (Ar Ruum:8).

“Tidakkah mereka memperhatikan apa yang ada pada  kerajaan langit dan bumi.” (Al ‘Araf:185).

Akhirnya, tak sepatutnyalah manusia menafikan keberadaan Allah karena Allah tak dapat ditembus panca indera. Bukankah keberadaan siang hari tetap ada walaupun mata kelelawar tak dapat menembusnya.

Begitulah keberadaan Allah. Dia ada tapi hati manusia yang tertutup dengan dinding kesombongan yang tak patut ada, menghalanginya dari melihat Allah.

Ibnu  Athoillah dalam Al-Hikam memberi hikmah :

كَي"فَ يَتَصَو"َرُ أَن" يَح"جُبُهُ شَي"ءٌ وَهُوَ ال"َذِي أَظ"هَرَ كُل"َ شَي"ءٍ

كَي"فَ يَتَصَو"َرُ أَن" يَح"جُبُهُ شَي"ءٌ وَهُوَ ال"َذِي ظَهَرَ فِي كُل"َ شَي"ءٍ

كَي"فَ يَتَصَو"َرُ أَن" يَح"جُبُهُ شَي"ءٌ وَهُوَ ال"َذِي ظَهَرَ  بِكُل"َ شَي"ءٍ

كَي"فَ يَتَصَو"َرُ أَن" يَح"جُبُهُ شَي"ءٌ وَهُوَ ال"َذِي ظَهَرَ لِكُل"َ شَي"ءٍ

كَي"فَ يَتَصَو"َرُ أَن" يَح"جُبُهُ شَي"ءٌ وَهُوَ ال"َذِي أَظ"هَرَ مِن" كُل"َ شَي"ءٍ

 “Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah terhijab (tertutupi oleh sesuatu), sedangkan Dia yang menamapakkan segala sesuatu

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah terhijab (tertutupi oleh sesuatu), sedangkan Dia tampak pada segala sesuatu

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah terhijab (tertutupi oleh sesuatu), sedangkan Dia tampak pada sebab segala sesuatu

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah terhijab (tertutupi oleh sesuatu), sedangkan Dia tampak untuk segala sesuatu

Bagaimana bisa dikatakan bahwa Allah terhijab (tertutupi oleh sesuatu), sedangkan Dia lebih tampak dari segala sesuatu.*


 

Editor :
Sumber : Hidayatullah.com
- Dilihat 2923 Kali
Berita Terkait

0 Comments