Mutiara Hikmah /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 12/10/2016 16:00 WIB

Prinsip Dasar Pendidikan Kedewasaan

Ilustrasi anak anak sebagai generasi penerus
Ilustrasi anak anak sebagai generasi penerus
Oleh Alwi Alatas, Peneliti dan Penulis Sejarah Islam
 
Perbedaan utama antara anak-anak dan orang dewasa adalah dalam hal kemandirian.Kemandirian adalah sebagian dari kekuatan.Seorang anak masih berada dalam keadaan lemah dan belum mampu untuk berdiri sendiri. 
 
Karena itu ia diasuh dan dibimbing oleh orang tuanya. Saat menjadi pemuda dan dewasa, secara gradual ia masuk dalam fase kekuatan yang memungkinkan dirinya untuk mandiri dan akhirnya tidak lagi bergantung pada orang tuanya. Ini merupakan siklus yang alami pada setiap manusia.
 
Seperti telah disebutkan pada artikel yang lain sebelum ini, al-Qur’an membagi siklus hidup manusia dalam tiga bagian. Begitu pula yang disebut pada ayat berikut ini:
 
“… kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak (thiflan), kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai kepada masa dewasa (tablughu asyuddakum), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua (syuyukhan) ….” (QS 40: 67)
 
Ayat tersebut menggunakan terma “tablughu asyuddakum” untuk fase dewasa. Istilah ini digunakan beberapa kali dalam al-Qur’an, di antaranya terkait penjagaan terhadap anak-anak yatim. Saat menjelaskan tentang istilah ini pada ayat yang lain (QS 6: 152), Imam al-Thabari menjelaskan di dalam Tafsir-nya bahwa kata asyudda merupakan jamak dari kata syaddun dan maknanya adalah kekuatan (quwwah).
 
Ia juga menafsirkan “tablughu asyuddakum” sebagai tercapainya puncak kekuatan pada usia muda. Sebagian mufassir menakwilkan kata-kata ini sebagai terjadinya ihtilam atau mimpi basah (Tafsir al-Thabari, vol. 12, hlm. 222-223).Dengan kata lain, usia muda atau usia dewasa menghadirkan ke dalam dirinya puncak kekuatan, dan bersamaan dengan itu juga kemampuan untuk mandiri.
 
Masalahnya, mandiri dalam hal apa, sehingga dapat dikatakan seseorang itu sudah dewasa?
 
Setelah direnungi secara mendalam, setidaknya ada empat aspek kemandirian yang menjadi pokok perbedaan antara anak-anak dengan orang dewasa, yaitu adanya identitas diri, tujuan hidup atau visi, kemampuan mengambil keputusan, serta rasa tanggung jawab.
 
Seorang anak belum memiliki kemandirian dalam keempat hal tersebut, sementara seorang yang dewasa (seharusnya) sudah memilikinya.
 
Identitas diri seorang anak masih ikut dengan orang tuanya, tujuan hidupnya masih berubah-ubah, ia belum mampu untuk membuat pilihan dan mengambil keputusan secara dewasa, dan belum mampu untuk memikul tanggung jawab. Namun seiring dengan tumbuhnya si anak mencapai usia baligh dan menjadi seorang pemuda, ia mulai memiliki kekuatan dan kemampuan untuk mandiri dalam keempat aspek tersebut.
 
Berbeda dengan anak-anak, seorang yang dewasa sudah memiliki identitasnya sendiri, mantap dengan tujuan hidup dan cita-citanya, mampu membuat keputusan secara dewasa, serta mampu dan mau memikul tanggung jawab.
 
Karena itu menjadi tugas orang tua dan para pendidik untuk membimbing anak-anak agar memahami hal ini serta membantu mereka agar mampu mandiri dalam keempat aspek ini saat umurnya mencapai usia dewasa, yaitu saat ia baligh atau berusia 15 tahun. Jika tidak demikian, maka ia akan tumbuh menjadi seorang yang kekanak-kanakan, walaupun ia sudah mencapai fase usia dewasa dan sudah memiliki potensi kekuatan dan kemandirian. 
 
Bukan hanya menjadi seorang yang kekanak-kanakan, bahkan ia bisa memberontak dari orang tuanya, karena sudah terdorong untuk memiliki identitas sendiri. Ia akan mudah terpengaruh oleh teman-temannya karena masih sangat labil dalam tujuan hidupnya. Ia juga mungkin mengambil keputusan-keputusan yang buruk dan fatal serta menjadi sangat tidak bertanggung jawab dalam hidupnya.
 
Orang tua perlu membimbing serta melatih anak-anaknya untuk mencapai aspek-aspek kemandirian ini.
 
Kalau tidak, orang tua akan mengalami banyak kesulitan dan kesusahan saat anak tumbuh menjadi remaja. Bukannya menjadi seorang berkarakter dewasa, anak tersebut akan menjadi seorang remaja yang labil dan sulit diatur. Akhirnya ia menjadi orang seperti yang disebutkan Raja Ali Haji di dalam Gurindam Dua Belas pasal ke-7:
 
Apabila anak tidak dilatih,
 
Jika besar bapanya letih.
 
Kami akan membahas secara lebih detail masing-masing aspek-aspek kedewasaan dalam tulisan yang lain. Namun pada artikel ini akan diberikan contoh dari sebuah kisah yang indah.
 
Kedewasaan Ismail
 
Nabi Ismail ‘alaihis salam tumbuh besar di kota Makkah. Ketika ia menjadi seorang pemuda, ayahnya Ibrahim ‘alaihis salam menerima perintah untuk menyembelih anaknya itu. Ismail bersedia menjalankannya, tetapi kemudian Allah menggantinya dengan seekor domba.
 
Jika kita merujuk pada Alkitab – dalam bagian yang dibahas ini kita boleh meriwayatkannya tanpa membenarkan atau menolaknya – disebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendapatkan anak Ismail saat ia berusia 86 tahun (Kejadian 16: 16) dan mendapatkan anak Ishak saat ia berumur 100 tahun (Kejadian 21: 5). Jadi ada selisih 14 tahun di antara keduanya. 
 
Orang-orang Nasrani meyakini bahwa Ishak yang rencananya akan disembelih dan dikorbankan, tetapi kaum Muslimin meyakini bahwa Ismail-lah yang akan dikorbankan. Menariknya, saat membahas tentang perintah penyembelihan terhadap Ishak, Alkitab (Kejadian 22: 2) menyebutnya sebagai “anakmu yang tunggal itu”, sementara kita mengetahui bahwa penyebutan itu hanya mungkin berlaku atas Ismail selama adiknya Ishak belum lahir, yaitu saat Ismail berumur kurang dari 14 tahun. 
 
Tampaknya yang dimaksud oleh Alkitab terkait perintah penyembelihan anak sebenarnya adalah Ismail yang ketika itu masih berusia remaja.
 
Al-Qur’an memiliki kisah tersendiri tentang penyembelihan ini, yang walaupun tidak menyebutkan secara jelas nama Ismail tetapi para mufassir menjelaskan bahwa Ismail-lah yang dimaksudkan oleh ayat tersebut. Ayat ini mengandung kisah kedewasaan yang indah.
 
Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!”Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. (QS 37: 102)
 
Ibn Katsir menyebutkan pendapat Ibn Abbas, Mujahid, dan beberapa yang lainnya bahwa kata-kata “tatkala anak itu sampai pada umur sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim” (falamma balagha ma’ahu sa’ya) bermakna ketika ia menjadi seorang pemuda dan mampu bekerja sebagaimana ayahnya. 
 
Pada masa lalu kemampuan ini dicapai pada usia belasan tahun, tak lama setelah masa baligh – sekarang pun sebenarnya potensi itu bisa dicapai oleh seseorang pada usia yang kurang lebih sama.
 
Di dalam Tafsir al-Khazin (vol. 4, hlm. 22) ada disebutkan pendapat bahwa usia Ismail ketika itu adalah 13 tahun. Ada pula yang mengatakan 7 tahun, tapi tampaknya usia ini terlalu dini untuk dijadikan acuan. Tafsir al-Qurthubi juga menyebutkan adanya pendapat bahwa Ismail ketika itu berusia 13 tahun.
 
Di dalam ayat tersebut, nabi Ibrahim mendapat sebuah mimpi yang merupakan perintah dari Rabb-nya. Mimpi ini juga melibatkan Ismail. Ini adalah salah satu aspek kedewasaan: mimpi, visi, atau tujuan, atau dalam konteks ini sesuatu yang belum terjadi dan akan diwujudkan pada waktu-waktu berikutnya.
 
Mimpi ini datang dari Allah dan harus dijalankan oleh Ibrahim dan Ismail. Mimpi itu memerintahkan Ibrahim untuk menyembelih anaknya Ismail. Ini adalah sebuah mimpi yang gila bagi orang-orang yang tidak percaya pada kehidupan akhirat. Tidak ada orang yang memiliki mimpi atau visi menyembelih anak sendiri dan tidak ada orang yang bermimpi (berkeinginan) untuk disembelih hingga mati.
 
Tetapi bagi seorang mukmin, tujuan sejati dan tertinggi adalah agar bisa sampai kepada Allah dalam keadaan diridhai. Mimpi Ibrahim, walaupun berat untuk dilaksanakan, adalah jalan yang membawa kepada tujuan tertinggi tadi.
 
Di samping mimpi, perintah ini juga berkenaan dengan tanggung jawab. Ini merupakan aspek kedewasaan yang kedua. Baik Ibrahim maupun Ismail diminta untuk merealisasikan sebuah tanggung jawab yang sangat berat. Tanggung jawab itu menyiratkan adanya pengorbanan, dan pengorbanan itu sendiri bertingkat-tingkat.
 
Dalam kaitan ini, kedua insan mulia ini diserahi satu beban tanggung jawab terbesar yang mungkin dipikul oleh seseorang, yaitu mengakhiri hidup sendiri dan kehilangan belahan jiwa. Rasanya tidak ada tanggung jawab yang lebih berat daripada itu.
 
Perintah itu untuk dilaksanakan, bukan untuk didiskusikan. Namun Ibrahim tidak langsung menarik anaknya untuk disembelih. Ia menyampaikan mimpinya itu kepada sang anak dan memberi kesempatan kepadanya untuk menyampaikan pendapat serta mengambil keputusan. 
 
Ini adalah aspek kedewasaan yang ketiga, yaitu pengambilan keputusan secara dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa Ibrahim menganggap Ismail sebagai pria dewasa, walaupun usianya ketika itu masih sangat belia. Karena hanya orang yang dianggap dewasa yang biasanya diminta dan didengar pendapatnya.
 
Sikap Ismail berikutnya sangat mengagumkan. Ia tidak menolak mimpi ayahnya. Sebaliknya ia menerima mimpi tersebut, yang berarti ia mengambil mimpi itu sebagai bagian dari mimpinya sendiri. Pada saat yang sama Ismail menerima beban tanggung jawab tersebut dan mempersilahkan ayahnya untuk menjalankan tugasnya. Ismail dipersilahkan untuk memilih pendapatnya, dan inilah pilihan yang ia buat. 
 
Ia tidak dipaksa oleh ayahnya untuk menerima keputusan secara sepihak, dan inilah keputusan yang diambilnya. Ia memilih dan membuat keputusan secara dewasa, yaitu berdasarkan pilihan baik-buruk, bukan suka-tak suka. Tak ada yang suka dikorbankan dan disembelih, tetapi karena hal itu dilakukan dalam rangka ketaatan pada Allah dan karenanya itu merupakan hal yang baik, maka Ismail memilihnya.
 
Ismail kemudian menutup kata-katanya dengan menyatakan siapa dirinya. “Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar”. Ini adalah aspek keempat dan terakhir dari kedewasaan dalam pembahasan kita, yaitu identitas diri. 
 
Ismail menjadikan kesabaran sebagai identitas dirinya dan ini menjelaskan mengapa ia sanggup mengambil tanggung jawab yang sangat berat. Karena ia mengerti apa artinya menjadi orang yang sabar dan ia kelihatannya juga sudah melatih dirinya menjadi seorang penyabar. 
 
Ia tidak merasa gamang atau ragu dengan status dan jati dirinya dan karena itu ia mampu mengambil keputusan dengan penuh keyakinan. Pada akhirnya, semua itu akan menghantarkannya kepada tujuannya yang paling tinggi, yaitu berjumpa dengan Tuhan-nya dalam keadaan yang diridhai.
 
Kita mengetahui bahwa akhirnya Allah mengganti Ismail dengan seekor domba. Ibrahim dan Ismail lulus dalam ujian tersebut. Kisah mereka dikenang di dalam ibadah qurban yang dijalankan oleh kaum Muslimin setiap tahun.
 
Sebagian orang mengatakan bahwa di dalam Iedul Qurban sebenarnya kita sedang ‘menyembelih’ sifat cinta dunia di dalam hati kita. Mungkin saat menyembelih hewan qurban di hari Iedul Adha, kita juga bisa memaknai bahwa pada saat itu kita sedang menyembelih sifat kekanak-kanakan di dalam diri kita sendiri dan selepasnya kita harus tampil sebagai seorang yang benar-benar dewasa, karena sifat kedewasaan tidak selalu berkaitan dengan usia tertentu.
 
Adapun bagi anak-anak kita, masa ‘penyembelihan’ terbesar di dalam hidup mereka terjadi di antara masa-masa baligh dan usia 15 tahun. Saat mereka lulus dalam ujian tersebut, mereka akan muncul sebagai manusia yang dewasa dan matang pada waktunya. 
 
Mereka akan muncul sebagai pemuda yang mandiri dalam visi, identitas diri, tanggung jawab, serta pengambilan keputusan. Tapi jika tidak, maka boleh jadi umur mereka atau bahkan hidup mereka sendiri yang akan tersembelih dan terkorbankan. (Jakarta,9 Muharram 1438/ 10 Oktober 2016).
 
*Saya berterima kasih kepada Muhammad Ghazi Alaydrus dan Muhammad Ardiansyah atas bantuannya mencarikan rujukan di beberapa tafsir terkait ayat ini.
Editor :
Sumber : InPAS Online
- Dilihat 1722 Kali
Berita Terkait

0 Comments