Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Senin, 01/08/2016 09:00 WIB

Kisah Relawan yang Berlutut Dibawah Pohon Beringin

Teman Ahok
Teman Ahok
Oleh: Azeza Ibrahim, Jurnalis dan Pengamat Komunikasi Budaya dari Center for Islamic and Global Studies (CIGS)
 
Sebuah pepatah Arab mengatakan bahwa teman bukanlah seseorang yang bisa membuatmu tertawa, tapi teman sebenarnya adalah orang yang justru membuatmu menangis. Awalnya pepatah ini terdengar kurang lazim, mengingat dengan gaya hidup hedonis yang berkembang akhir-akhir ini, seorang teman adalah sosok penghibur yang selalu standby saat kawannya bersedih.
 
Namun jika kita reungkan lebih dalam, pepatah ini sebenarnya mengajarkan kita bahwa canda tawa bukanlah ukuran yang tepat dalam menakar keakraban dan kualitas relasi antar manusia. 
 
Sebab seluruh orang bijak bestari sepakat bahwa seringkali yang namanya kebaikan, kebenaran dan petunjuk ke arah yang lebih baik itu dibungkus dengan ketidaknyamanan.
 
Sebaliknya, Kesenangan, hingar bingar, serta hal-hal yang mempesona seringkali jadi pembalut dusta, kebohongan dan kenistaan. "Ignorant people always chooses a comforting lies than unpleasant truths".
 
Maka pepatah tadi sejatinya hendak menasehati kita bahwa sejatinya teman adalah mereka yang bersedia membantu kawannya menempuh jalan kebaikan, mengingatkan akan kesalahan dan kekurangan agar menjadi manusia yang lebih baik, walau harus membuat sang karib bersedih saat menyadari keburukannya.
 
Sayangnya teman dengan kapabilitas semacam ini sudah sulit ditemui, yang sering kita dapati hanyalah penggemar, pendukung buta dan spektator yang komitmennya ada pada tepuk tangan dan sanjungan-sanjungan.
 
Maka tidak heran jika kondisi sosial kita saat ini sangat membingungkan. Pemberi nasihat dicemooh dan distigma sebagai pembenci, sementara para penjahat dihormati karena rajin menjilat dan memuji lalu lantas digelari sebagai orang setia.
 
Kita pun tumbuh menjadi manusia egois yang makin anti kritik dan makin haus penghormatan berbalut kata manis bernama "apresiasi".  Dan akhirnya, kebodohan pun menjadi pemenang.
 
 
Relawan Tanpa Idealisme
 
Walau berada ditengah kondisi sosial yang membingungkan dan seringkali menyebalkan, tidak lantas masyarakat kehilangan harapan akan perbaikan dan perubahan ke arah yang lebih baik. Contohnya adalah warga Jakarta. 
 
Sebagai penduduk Ibukota yang menjadi pusat perkembangan informasi, mereka yang mendaku diri sebagai kelas ekonomi pendapatan menengah keatas dengan akses keilmuan lebih, merasa muak dengan realitas yang ada. Rasa jemu dan gelisah ini pun berubah menjadi skeptisism yang dibuktikan dengan ketidakpercayaan mereka dengan institusi pemerintahaan dan kepartaian yang dianggap sebagai sumber segala masalah.
 
Buktinya pun jelas hadir, tingkat partisipasi mereka dalam berbagai moment pemilihan umum menurun, golongan putih (golput) pun berjaya. Namun makin besar pesimisme seseorang, jauh di lubuk hatinya, harapan akan perbaikan tumbuh dua kali lebih pesat.
 
“I think positive emotion trumps negative emotion every time. We all yearn for reconciliation, for catharsis.”  -Cobb (Inception).
 
Dan ketika sosok Basuki Tjahaya Purnama hadir menggebrak lamunan skeptis dan pesimisme warga Jakarta, harapan pun tumpah membanjiri nalar dengan impian-impian perubahan.  Namun mimpi-mimpi ini masih membentur kenyataan akan bobroknya sistem perpolitikan yang ada. Dari sini mulaihlah idealisme perlawanan demi perubahan dibentuk.
 
“Jakarta Baru” adalah slogan sekaligus beban yang harus dibawa Ahok ketika ia ditinggal Jokowi ke Istana Kepresidenan. Di benak banyak warga Jakarta, ia menjelma menjadi jagoan tunggal  pemberani macam Si Pitung.
 
Namun Ahok tidak kebal peluru dan anti bacok, mustahil satu orang tunggal mendobrak pintu perubahan seorang diri, dari pemahaman ini Teman Ahok pun hadir menggalang dukungan politik murni dari masyarakat.
 
Sebab mereka tahu dan sadar betul bahwa sebagai sosok pahlawan, Ahok tidak bisa disandingkan dengan Partai Politik yang kerap diasosiasikan sebagai tiran dan biang masalah.
 
“Ini dilakukan untuk mendukung Ahok terus konsisten hanya merasa berhutang pada rakyat, bukan Partai Politik” demikian dikutip dalam laman About Us milik situs resmi Teman Ahok.
 
Siapapun yang sudah lama menaruh  geram dengan kondisi perpolitikan terkini pasti terpikat dengan statemen yang dihadirkan Teman Ahok tersebut. Mereka yang selama ini disia-siakan dan hanya diperas suaranya saat pemilu seolah langsung jatuh hati pada frasa “hanya merasa berhutang pada rakyat”, apalagi mantan politisi Gerindra ini sudah menjadi media darling  yang hampir tiada cela saat tampil di layar kaca.
 
Dan tak tanggung-tanggung, diklaim sudah satu juta orang yang secara resmi kepincut dengan apa yang disampaikan baik oleh Ahok sendiri maupun relawannya, Teman Ahok. Masyarakat pun rela menukar KTP dan harapan mereka dengan idealisme independensi serta kedaulatan rakyat.
 
Sulit rasanya untuk percaya bahwa idealisme yang digembar-gemborkan itu kini berubah dengan sangat cepat  menjadi kampanye profan dengan tag line “yang penting Ahok Jadi DKI 1”. Tampaknya, setelah Ahok resmi berkongsi dengan Golkar, Nasdem dan Hanura, ia telah kehilangan “teman” yang sejati.
 
 
Kegagalan Pencitraan atau Kesuksesan Pembodohan?
 
Singgih Widyastomo, juru bicara Teman Ahok memberikan pernyataan yang menarik untuk disimak paska resminya Ahok masuk jalur partai.
 
"Kita kecewa dengan perjuangan selama ini dikerjakan. Tapi kami harus menghormati dengan lapang dada keputusan Pak Ahok, kita tidak boleh egois memaksa (Ahok) tetap maju jadi Cagub DKI jalur independen," ujarnya sebagaimana dikutip dari laman http://www.merdeka.com/politik/meski-kecewa-teman-ahok-tak-mau-paksa-ahok-maju-independen.html
 
Jika kita telisik, agak lucu jika 1 juta dukungan suara untuk mengusung pria asal Belitung sebagai DKI 1 dianggap sebuah sikap egois saat berhadapan dengan keputusan untuk memilih jalur partai. Nalar sehat manapun justru akan mengatakan bahwa yang egois adalah ia yang menafikan harapan 1 juta orang dan lebih mementingkan kalkulasi politiknya sendiri.
 
Keganjilan semakin terasa jika kita mengunjungi fanspage Teman Ahok di jejaring medsos Facebook. Seluruh komentar yang mendukung  Teman Ahok menyatakan bahwa gerakan relawan tersebut telah berhasil memberi “bargain power” lebih saat mengikat kontrak dengan 3 partai politik tersebut.
 
“Teman Ahok telah berhasil memberikan Ahok a stronger bargaining power, menunjukan kepada parpol aspirasi masyarakat Jakarta yg sebetulnya. Tanpa Teman Ahok, kemungkinan besar tidak ada parpol yg berani mengambil resiko mengusung Ahok. Selamat! Anda Anda sekalian adalah inspirasi bagi generasi muda Indonesia,” ujar akun bernama Anthony Amni.
 
Padahal, “Bargain Power” berupa 1 juta KTP itu bahkan tidak bisa membuat Ahok untuk komit di jalur Independen, artinya 1 juta itu sama dengan nol besar. Lalu power macam mana yang hendak menaklukan partai sekaliber Golkar yang terbukti mampu bertahan selama reformasi walau jelas sejarahnya sebagai pendukung Soeharto nomor wahid.
 
Banyak analisa mengenai mengapa Ahok harus mengambil keputusan drastis sedemikian rupa, namun yang menarik ditelisik adalah tentang bagaimana management Public Relation Teman Ahok dalam membentuk narasi.
 
Dari time line media sosial, tampak Teman Ahok menggunakan ragam teknik persuasi. Mulai dari “play as victim” saat Ahok didera kasus korupsi hingga memanfaatkan Pokèmon Go sebagai booster popularitas untuk menggaet kaula muda yang memang pasar potensial sebagai calon pemilih baru.
 
Walau terhitung mampu memberi counter di setiap isu negatif yang dihembuskan ke arah mereka, seperti yang paling kontroversial adalah kasus jual beli KTP, tampaknya Teman Ahok agak kewalahan mengontrol isu saat Ahok membuat keputusan berubah haluan.
 
Belajar dari kasus Selebgram Awkarin, kekuatan sosmed yang menjadi salah satu ujung tombak Teman Ahok dalam membangun opini lewat buzzer mandiri ataupun yang terorganisir kini justru menjadi bumerang yang berpotensi mematikan citra sang Gubernur Incumbent. 
 
Hastag #BalikinKTPGue yang sempat naik menjadi tranding topic membuktikan hal tersebut, rilis dan pernyataan Teman Ahok tak banyak membantu, bahkan seolah makin membuka ketimpangan yang lebar antara janji dan realitas yang disampaikan Ahok.
 
Pun demikian, tidak lantas kampanye yang dilakukan Teman Ahok betul-betul hilang musnah. Bagian yang paling menyedihkan pun muncul lewat suara-suara fans militan yang mencintai Ahok tanpa syarat dan ketentuan, absolut. Mereka yang mengaku terdidik itu seolah-olah lupa dengan kredo “Absolute power, corrupt absolutely”.
 
Alih-alih, Teman Ahok tidak hadir sebagai sosok teman sejati, namun justru berlaku sebagai hamba sahaya yang tidak bisa mengatakan tidak terhadap tuannya. Tak pernah sedikitpun dalam rilisan resminya Teman Ahok memberikan kritikan membangun. 
 
Tentunya budaya seperti ini adalah budaya pembodohan yang jauh dari semangat demokrasi yang ironisnya justru selalu disuarakan oleh genk asal Pejaten itu.
 
Kalaulah kita hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan para pendukung Donald Trump di Amerika sana, pun disini, kita hanya bisa mengelus dada saat Teman Ahok membela mati-matian junjungannya.
Editor :
Sumber : Radio Dakta
- Dilihat 3551 Kali
Berita Terkait

0 Comments