Mutiara Hikmah /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 18/03/2016 10:30 WIB

Non-Muslim di Pentas Politik

Ilustrasi Pemimpin
Ilustrasi Pemimpin
Oleh: Syamsuddin Arif,
 
Direktur Eksekutif INSISTS
 
Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi. 
 
Yang melarang berpegang pada ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”). 
 
Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr dirujuk lantas menyimpulkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?
 
Tiga Persoalan
 
Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imāmatul mafdūl). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imāmatul fāsiq). Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imāmatul kāfir). 
 
Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya ‘kurang layak’ (mafdūl) daripada yang benar-benar layak (fādil). Lebih banyak yang ‘kurang taat’ (fāsiq) daripada yang sholeh. 
 
Tentu saja dengan pengecualian para Khulafā’ Rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –ridwānullāhi ʿalayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal ʿUmar bin ʿAbdil ʿAzīz.
 
Jadi memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das Sollen) dan ‘apa nyatanya’ (das Sein). 
 
Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya. Namun realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir –terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyyah dan sesudahnya– itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan kesalahan. 
 
Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. 
 
Inilah yang disebut imāmatu’l -mafdūl. (Lihat: Imam Abū ’l-Ḥasan al-Asyʿarī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Ḥazm, al-Fasl fī ’l-milal wa ’l-ahwā’ wa ’n-nihal, ed. M.I. Nasr dan ʿA.ʿUmayrah, Dār al-Jīl Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).
 
Sama halnya dengan imāmatu’l-fāsiq. Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). 
 
Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. 
 
Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu dararayni) yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. 
 
Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Ahmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (fa-quwwatuhu li’l-muslimīn wa fujūruhu ʿalā nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī islāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 27). (BERSAMBUNG)
Editor :
Sumber : insists.id
- Dilihat 1932 Kali
Berita Terkait

0 Comments