Evaluasi Perdagangan 2022, Indonesia Perlu Tinggalkan Kebijakan Proteksionis
JAKARTA, DAKTA.COM - Indonesia perlu meninggalkan kebijakan proteksionis untuk meningkatkan kinerja perdagangan internasionalnya. Salah satu contohnya adalah menggunakan impor untuk memastikan kualitas produk Indonesia dapat bersaing di pasar internasional.
“Indonesia masih perlu meningkatkan daya saing produknya supaya dapat bersaing di pasar internasional. Peningkatan daya saing membutuhkan upaya untuk menciptakan kualitas produk yang memenuhi standar internasional dan mampu bersaing secara harga,” jelas Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.
Ia melanjutkan, meningkatkan daya saing sangat diperlukan untuk membuka pasar bagi produk Indonesia. Menciptakan produk berkualitas dengan harga terjangkau sangat ditentukan oleh ketersediaan bahan baku yang dibutuhkan, dan banyak dari bahan baku tersebut hanya dapat dipenuhi melalui impor.
Selain itu, kebijakan Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) juga dapat mempersulit integrasi Indonesia ke dalam rantai nilai global. Kebijakan yang dapat ditemukan di hampir semua industri ini membatasi pelaku industri untuk memperoleh komponen-komponen produksi dari luar negeri yang relatif lebih murah.
Walaupun kebijakan TKDN merupakan bentuk keberpihakan pemerintah kepada perusahaan lokal, namun kebijakan ini berpotensi menghilangkan kompetisi yang sehat dalam Industri. Terakhir, TKDN juga merupakan klausul yang ditentang dalam perjanjian dagang RCEP dimana Indonesia merupakan salah satu negara anggotanya.
“Untuk menghasilkan produk yang berdaya saing tinggi, industri perlu diberikan keleluasaan dalam mendapatkan bahan baku berkualitas. Pada akhirnya impor yang kita lakukan itu bertujuan untuk memberikan nilai tambah, bukan semata dikonsumsi secara langsung,” tegas Hasran.
Dalam dua tahun terakhir, Indonesia mengalami surplus neraca perdagangan. Secara volume, tidak terjadi peningkatan yang signifikan. Namun secara nilai, ekspor indonesia meningkat tajam ke dunia internasional.
Peningkatan ekspor ini disebabkan oleh naiknya harga-harga komoditas, seperti nikel, batubara dan CPO di pasar global. Di akhir tahun 2022, harga komoditas-komoditas ini akan turun dan ini akan berdampak pada neraca perdagangan Indonesia.
Indonesia sejak dulu hingga sekarang memang lebih banyak mengekspor sumber daya alam (komoditas) dibanding produk-produk jadi yang memiliki nilai tambah atau value added yang tinggi.
Untuk itu, Indonesia perlu segera beralih dari mengandalkan komoditas tambang sebagai andalan ekspornya. Di tengah krisis iklim dan kebutuhan akan produk yang memiliki nilai keberlanjutan tinggi, meningkatkan value added pada produksi dalam negeri merupakan satu hal yang dapat dilakukan untuk membuka pasar untuk produk Indonesia.
Ekspor sumber daya alam sangat rentan terhadap global shock dibanding produk jadi bernilai tinggi. Ekspor produk jadi juga akan lebih banyak membuka kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan dibanding ekspor sumber daya alam (komoditas).
Sumber | : | CIPS |
- Relaksasi Impor Jagung Dibutuhkan untuk Bikin Harga Telur Terjangkau
- Sistem Pembayaran Inklusif Percepat Transformasi Ekonomi Digital
- Regulatory Sandbox, Wadah Inkubasi Kebijakan Ekonomi Digital
- OJK Pastikan Surati BSI Terkait Perlindungan Data Nasabah Pascaserangan Siber
- KB Bukopin Cabang Bekasi Gelar Pemeriksaan Kesehatan Untuk Nasabah Pensiunan
- Pos Indonesia Mulai Distribusikan Bantuan Pangan Pengentasan Stunting bagi 1,4 Juta Keluarga
- Tasyakuran Hari BPR Syariah; Asbisindo Launching Tagline BPR Syariah Sahabat UMKM
- Summarecon Mall Bekasi Hadirkan Event Ramadhan; “Oasis in the Desert”
- Pemerintah Perlu Evaluasi Program Pupuk Bersubsidi
- Waste4Change dan Bank DBS Indonesia Gelar Edukasi Literasi Keuangan
- Kompleksitas Regulasi Hambat Investasi Sistem Komunikasi Kabel Bawah Laut
- Bekasi Coffee Week 2023 Kembali Hadir di Summarecon Mall Bekasi
- Hilirisasi Jangan Diikuti Pelarangan Ekspor
- Pollux Mall Chadstone, Tempat Nongkrong Baru di Cikarang
- Apindo: Pertumbuhan Ekonomi Belum Berkualitas
0 Comments