Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 19/12/2022 15:00 WIB

Hambatan Non-Tarif Membatasi Potensi Industri Makanan Minuman

MAKANAN DAN MINUMAN
MAKANAN DAN MINUMAN

 

JAKARTA, DAKTA.COM -  Penerapan berbagai hambatan non-tarif atau non-tariff measures menghambat potensi pertumbuhan industri makanan dan minuman.

 

“Pertumbuhan industri makanan minuman perlu didorong dengan kebijakan yang supportive dan fokus pada ketersediaan bahan baku,” terang Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hasran.

 

Pertumbuhan industri makanan dan minuman di triwulan III-2022 mencapai 3,57%, lebih tinggi dari periode yang sama tahun lalu yang tercatat 3,49%. Pada periode yang sama, industri makanan dan minuman berkontribusi sebesar 37,82% terhadap PDB industri pengolahan non-migas dan menjadi sub sektor dengan kontribusi PDB terbesar.

 

Ada beragam jenis kebijakan non-tarif, seperti kuota impor, sanitary and phytosanitary, persyaratan teknis, inspeksi pra-pengiriman, atau karantina. Dari 2015 hingga 2021, jumlah kebijakan non-tarif telah bertambah 26 persen. Produk makanan dan minuman paling banyak diatur oleh kebijakan non-tarif dibanding produk lainnya. 

Penelitian CIPS menyebutkan, hambatan non-tarif melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman karena biaya bahan baku menjadi lebih mahal karena menambah biaya pemenuhan persyaratan, seperti ketentuan label, pengemasan, atau sertifikasi. Selain itu, hambatan non-tarif meningkatkan biaya prosedur, termasuk karena keharusan inspeksi pra pengiriman di pelabuhan asal. 

Selain biaya langsung, hambatan non-tarif juga memperlambat proses impor. Hambatan non-tarif sering memakan waktu dan memunculkan keterlambatan impor. Dwelling time atau masa penimbunan peti kemas di pelabuhan Indonesia sekitar lima hari, lebih lama dari 1,5 hari di Singapura dan dua hari di Malaysia.

Ketika sedang ramai, proses administrasi, pengecekan dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Keterlambatan waktu ini memakan biaya, dan ini merugikan importir serta industri.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Perpres No.32/2022 tentang Neraca Komoditas yang mengatur ketentuan impor 24 komoditas, termasuk enam diantaranya berkaitan dengan industri makanan minuman, yaitu gula, garam, daging lembu, beras, perikanan, dan jagung.

Dalam Neraca Komoditas, perusahaan wajib mengajukan kebutuhan impor selama setahun melalui portal data yang sudah ditentukan paling lambat bulan September tiap tahunnya. Data seluruh kebutuhan impor akan disesuaikan dengan produksi dalam negeri.

Kalau produksi dalam negeri mencukupi maka tidak akan ada impor sama sekali. Bahkan kuota impor yang disetujui belum tentu sama dengan jumlah yang diajukan oleh perusahaan. Hal ini memunculkan pertanyaan mengenai transparansi pembagian alokasi tiap perusahaan sering mendapatkan pertanyaan dari pihak perusahaan.

Diluar komoditas yang diatur dalam Neraca Komoditas proses impornya menggunakan ketentuan lama yaitu menggunakan sistem kuota dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian serta izin Kementerian Perdagangan. Proses ini pun membutuhkan waktu yang lebih lama dan transparansi yang lebih minim dibandingkan sistem Neraca Komoditas 

 

Beberapa komoditas bahkan memiliki tambahan persyaratan. Contohnya, dalam Peraturan Menteri Perindustrian No. 3 Tahun 2021, impor bahan baku gula hanya diberikan untuk pabrik gula baru yang didirikan tahun 2010 dan tahun-tahun berikutnya.

Kenyataannya kebanyakan pabrik gula di Indonesia sudah berusia lebih dari 100 tahun sehingga tidak dapat memanfaatkan fasilitas tersebut dan menjadi kesulitan bahan baku.

Untuk itu, pemerintah perlu melakukan proses tinjauan Regulatory Impact Assessment (RIA) dan tinjauan berkala terhadap seluruh kebijakan non-tarif, baik yang direncanakan maupun yang sudah berjalan. Langkah ini sesuai dengan pedoman komitmen ASEAN terhadap kebijakan non-tarif. 

RIA dapat memberi informasi potensi keuntungan dan kerugian dari suatu kebijakan, serta potensi dampaknya pada industri, masyarakat, dan ekonomi. RIA juga membantu Indonesia memutuskan kebijakan non-tarif mana yang pantas dilanjutkan dan mana yang perlu dihapus.

RIA juga bisa mencegah keluarnya kebijakan non-tarif baru yang semakin menghambat perdagangan dan membantu perancangan kebijakan non-tarif yang lebih strategis.
 

Sumber : CIPS
- Dilihat 1342 Kali
Berita Terkait

0 Comments