Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Senin, 05/12/2022 15:00 WIB

Kebijakan Pro Inovasi Dorong Percepatan Pemulihan Ekonomi

EKONOMI
EKONOMI

DAKTA.COM Kebijakan yang mendukung terciptanya inovasi dapat mendukung upaya untuk pemulihan ekonomi.

 

“Kegiatan berbasis inovasi masih terbilang kurang di Indonesia. Salah satu yang menghambat hal ini adalah keterbatasan anggaran untuk riset dan kurangnya insentif yang tersedia, yang mendukung terciptanya inovasi,” terang Head of Economic Opportunities Research Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Trissia Wijaya.

 

Anggaran untuk penelitian dan pengembangan (research and development) di Indonesia masih terbilang sedikit, yaitu kurang dari 1% PDB. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan anggaran serupa yang berjumlah di atas 2% yang dilakukan China, Amerika Serikat dan Singapura.

 

Selain itu, kurang maksimalnya sinergi Triple Helix – pemerintah, universitas, dan industri - dalam pengembangan penelitian juga berdampak pada inovasi di Indonesia. Padahal perlu diingat bahwa ekosistem inovasi yang kuat membutuhkan partisipasi swasta yang signifikan dan sinergi tiga sektor ini secara berkesinambungan.

 

Selama ini, umumnya lembaga pemerintah dan BUMN yang difokuskan untuk melakukan penelitian dan pengembangan. Namun apakah mereka juga memiliki dorongan yang sama seperti perusahaan swasta yang harus berinovasi demi kelangsungan bisnisnya? Apakah mereka dapat mendorong sinergi Triple Helix yang berkesinambungan?

 

Faktor berikutnya yang mempengaruhi inovasi adalah kebijakan kandungan lokal atau Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang berubah-ubah. Keharusan untuk menggunakan bahan baku lokal memang memiliki intensi yang baik.

 

Namun kualitas dari bahan baku ini harus sesuai dengan yang diharapkan investor untuk menghasilkan end product yang sesuai dengan standar industrial best practices.

 

Sayangnya hal ini seringkali belum dapat dipenuhi oleh bahan baku lokal. Di saat impor menjadi satu alternatif, kebijakan pemerintah justru mempersulit produsen untuk mendapatkan bahan baku dengan kualitas yang diharapkan.

 

“Pemerintah juga perlu memastikan regulasi dan perizinan terkait kemudahan berusaha (ease of doing business) dibuat mudah, transparan dan tidak berbelit-belit agar bisa menarik minat investor dalam berbagai kegiatan riset dan inovasi di Indonesia,” cetus Trissia.

 

Disahkannya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja seharusnya mampu turut mendorong inovasi di Tanah Air. Inovasi seharusnya jangan dibiarkan berjalan di tempat dengan karena adanya ketentuan yang membatasi pergerakan sektor ini, seperti dari menerima masuknya foreign direct investment (FDI).

 

Masuknya FDI pada sektor ini akan membawa dampak positif bagi sektor farmasi dalam negeri, seperti pengembangan kegiatan penelitian dan pengembangan (research and development) dan mendorong munculnya inovasi baru.

 

Sebelum ada UU Cipta Kerja, inovasi di Indonesia sering terhambat oleh adanya kebijakan yang mengharuskan perusahaan asing yang berinvestasi untuk melakukan transfer teknologi. Namun karena teknologi membutuhkan adanya jaminan untuk hak atas kekayaan intelektual, maka Indonesia menjadi tidak menarik di mata investor.

 

Trissia kembali mengingatkan kalau kebijakan ini dapat mengalihkan orientasi perusahaan dan industri dalam negeri kepada ekspor dan pasar internasional. Menguasai pasar dalam negeri memang penting tetapi kalau hal itu didapat dengan mengorbankan inovasi, maka kualitas dari produk yang dihasilkan tidak akan meningkat dan konsumen sebagai end-user yang secara tidak langsung harus menanggung beban biaya produksi.

 

Implementasi hak atas kekayaan intelektual dan property rights secara umum dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi karena ada jaminan atas kepastian hukum di dalamnya. Perlindungan atas objek yang lahir dari intelektualitas manusia juga merupakan pengakuan atas karya seseorang atau sebuah kelompok.

 

 

 



 

Sumber : CIPS
- Dilihat 734 Kali
Berita Terkait

0 Comments