Peningkatan Daya Saing Industri Mamin Perlu Didukung Pengurangan Hambatan Non-Tarif
DAKTA.COM - Hambatan non-tarif (non-tariff measures /NTM) melemahkan daya saing industri pengolahan makanan dan minuman Indonesia karena menimbulkan berbagai biaya tambahan serta menyebabkan waktu yang lebih lama untuk menjalankan proses yang ada.
“Indonesia perlu membuka diri untuk mengimpor produk-produk yang diproduksi secara lebih efisien di negara lain. Akses terhadap impor, terutama produk pangan dan pertanian, terbatas oleh regulasi perdagangan yang rumit dan proteksionis.,” terang Associate Researcher dari Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Krisna Gupta.
Hambatan non-tarif kian bertambah, mencakup hampir 100% hewan, sayuran, dan produk makanan. Secara keseluruhan, hambatan non-tarif menambah biaya kepatuhan dan menyebabkan penundaan yang menghambat akses perusahaan terhadap bahan baku yang reliabel, sehingga mendisrupsi produksi.
Di antara jenis-jenis hambatan non-tarif, restriksi kuantitatif dan sistem perizinan impor menjadi penyebab distorsi terbesar dalam pasar dan menghambat perdagangan secara signifikan.
NTM mensyaratkan dipenuhinya berbagai ketentuan seperti mengenai label, pengemasan, atau sertifikasi dan juga inspeksi pra-pengiriman di pelabuhan asal yang memakan banyak waktu hingga memunculkan keterlambatan impor.
Proses administrasi, pemeriksaan dan pengeluaran barang bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, jika situasi sedang ramai. Keterlambatan waktu ini memakan biaya, dan ini merugikan importir bahan baku serta industri.
Restriksi kuantitatif dan sistem perizinan impor diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan nomor 25/2022 yang menguraikan persyaratan-persyaratan spesifik untuk mendapatkan Persetujuan Impor setiap produk perdagangan yang diregulasi. Untuk sebagian produk, seperti produk-produk susu, proses permohonan PI mensyaratkan perusahaan untuk mendapatkan rekomendasi dari pemerintah provinsi dan kementerian teknis.
Penerapan Neraca Komoditas melalui Peraturan Presiden nomor 32/2022, yang memperkenalkan sistem perizinan perdagangan baru berdasarkan basis data terpadu berisi stok, pasokan dan permintaan menjanjikan sistem perizinan impor yang lebih sederhana, yang menghapus kewajiban memiliki rekomendasi teknis.
Namun, kebijakan ini menghadirkan masalah-masalah baru bagi perusahaan, khususnya terkait reliabilitas basis data Neraca Komoditas dan fokusnya terhadap jumlah ketersediaan barang sebagai salah satu faktor yang memengaruhi keputusan persetujuan impor.
“Sistem ini juga belum teruji jika ada gejolak perubahan yang mendadak, seperti harga CPO ataupun Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) untuk penyediaan daging sapi,” lanjutnya.
Untuk memfasilitasi akses perusahaan terhadap bahan baku, Penelitian terbaru CIPS yang berjudul Perdagangan untuk Pemulihan Ekonomi: Kebijakan Impor untuk Mendukung Sektor Makanan dan Minuman Indonesia merekomendasikan Kementerian Perdagangan meninjau ulang dan menyelaraskan peraturan-peraturan yang ada, yang masih menjadi hambatan perdagangan bagi perusahaan.
Kementerian Perdagangan juga perlu mempertimbangkan relaksasi restriksi kuantitatif dan memperbolehkan perusahaan dengan API-P yang telah memenuhi persyaratan teknis untuk bisa mengimpor tanpa batas kuantitas.
Neraca Komoditas idealnya hanya menjadi sumber informasi dalam membuat keputusan kebijakan strategis secara lebih luas, alih-alih sebagai dasar keputusan perizinan impor perusahaan.
Industri makanan dan minuman merupakan salah satu sektor manufaktur prioritas yang dapat berkontribusi dalam pemulihan dan transformasi struktural ekonomi Indonesia pasca pandemi Covid-19. Pada tahun 2021, sektor ini menyumbang 6% terhadap Produk Domestik Bruto dan 20% terhadap total ekspor Indonesia senilai USD 45,4 miliar.
Sektor ini didominasi oleh usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah, dan mempekerjakan secara sebanyak 4,6 juta pekerja. Kendati demikian, industri makanan dan minuman mengalami pertumbuhan yang stagnan dalam dua dasawarsa terakhir, salah satunya karena besarnya ketergantungan sektor ini pada komoditas kelapa sawit dan turunannya.
Partisipasi dalam rantai nilai global merupakan jalan keluar terbaik untuk mengurangi ketergantungan dari sektor kelapa sawit dan menciptakan industri makanan dan minuman yang lebih tahan terhadap gejolak perekonomian global Dengan diratifikasinya RCEP, Indonesia saat ini berada di posisi yang strategis untuk membuat rantai nilai regional industri makanan minuman yang lebih kompleks dan berdaya saing.
Sumber | : | CIPS |
- Lippo Cikarang Cosmopolis Tawarkan Diskon Besar, Rumah Tapak Hanya Rp289 Juta
- Pentingnya Strategi Pelonggaran Ekspor Nikel Mentah Secara Bertahap
- Pentingnya Wujudkan Sistem Pertanian Pangan Berkelanjutan di Indonesia
- Summarecon Expo 2023 Hadirkan Produk Properti Unggulan
- Viola Residence Jadi Senjata Andalan Summarecon Crown Gading
- Launching Crystal Boulevard Signature Commercial Summarecon Bekasi Berjalan Sukses
- Crystal Boulevard Signature Commercial, Kawasan Terdepan di Summarecon Bekasi
- Komitmen Gelar Program SIAP SEHAT, KB Bukopin Bekasi Peduli Kesehatan Nasabah Pensiunan
- Summarecon Mall Bekasi Tahap Kedua Segera Dibangun
- Branch Executive OCBC NISP Karawang Tuparev Krisfian Audhi Hutomo Ajak Masyarakat Melek Investasi
- Berikan Tawaran Paket Istimewa ke Tamu, Rumah Makan Bang Jidor Jalin Kerjasama dengan WO
- Bentuk Komitmen, KB Bukopin Gunung Sahari Gelar Pemeriksaan Kesehatan Gratis Untuk Nasabah Pensiunan
- Rahmat Jamhari, Kasie Trantib Jatisampurna Kembangkan Bisnis Rumah Makan Bang Jidor
- Summarecon Crown Gading Hadirkan Fasilitas Baru
- August Rush 2023 di Summarecon Mall Bekasi
0 Comments