Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 03/06/2022 12:00 WIB

Quo Vadis UU Ciptaker

Praktisi HR sekaligus Ketua Umum Asphri Yosminaldi
Praktisi HR sekaligus Ketua Umum Asphri Yosminaldi
Oleh: Ketua Umum Asosiasi Praktisi Human Resource Indonesia (ASPHRI), Mantan Praktisi Senior HRD & Dosen Senior Polteknaker Kemnaker RI, Yosminaldi
 
Isu terkait UU Ciptaker semakin menggelinding tajam dan memasuki babak baru setelah keluarnya Putusan MK No 109/PUU-XVIII/2020 yang berisikan poin-poin penting sebagai berikut: 
1) UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional bersyarat, dengan pertimbangan telah banyak kebijakan turunan yang dibuat dan bahkan telah berlakunya kebijakan ini (dinyatakan bersyarat karena MK harus menyeimbangkan proses pembentukan UU yang harus dipenuhi syarat formil, juga harus pertimbangkan tujuan pembentukan UU). 
 
2) Para pembentuk UU diberikan waktu paling lama dua tahun untuk perbaikan sesuai dengan persyaratan tata cara pembentukan UU. Jika tidak dilakukan perbaikan, maka dinyatakan inkonstitusional secara permanen.
 
3) Apabila dalam dua tahun tidak dapat menyelesaikan perbaikan, maka UU atau pasal atau materi muatan yang telah dicabut oleh UU CK kembali berlaku.
 
4) Putusan MK juga menangguhkan segala tindakan dan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, termasuk tidak boleh menerbitkan PP baru yang berkaitan dengan UU CK selama proses perbaikan.
 
5) MK mengakui adanya metode omnibus law tetapi juga memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk menjadi pedoman didalam pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan.
 
Bagaimana sikap dan respon dari Pemerintah bersama DPR-RI dalam menindaklanjuti Putusan MK diatas?
 
Bagaimana pula respon Pengusaha, Kaum Buruh/Pekerja serta situasi dunia ketenagakerjaan dan hubungan industrial setelah dikeluarkannya Putusan MK yang menimbulkan multi tafsir oleh banyak kalangan itu? Benarkah yang perlu dirubah atau diperbaiki hanya legal-prosedural dalam merevisi UU Ciptaker dan tertutup peluang merevisi material-substansialnya?. 
 
Butuh Keseriusan & Transparansi
 
Presiden Joko Widodo menyatakan pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi terkait UU Cipta Kerja.
"Sebagai negara demokrasi yang berdasarkan hukum, pemerintah menghormati dan segera melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Saya telah memerintahkan pada para menko dan para menteri terkait untuk segera menindaklanjuti putusan MK itu secepat-cepatnya. Dan MK sudah menyatakan bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih tetap berlaku."(Presiden Jokowi/29/11/2021). 
 
Dari pernyataan Presiden dalam merespon Putusan MK tersebut, terlihat bahwa Pemerintah cukup serius dalam menyikapinya agar tidak terjadi “kegoncangan” dalam proses hubungan industrial di dunia ketenagakerjaan yang notabene sangat membutuhkan ketenangan dan kenyamanan dalam hubungan kerja bipartit yang bisa berdampak buruk terhadap pertumbuhan ekonomi dan keberlangsungan dunia industri di Indonesia.
 
Selanjutnya, tentu kita menunggu langkah-langkah berikutnya dari Pemerintah bersama DPR-RI dalam menindaklanjuti secara positif amar putusan MK tersebut agar “bencana hukum” tersebut tak terulang Kembali di kemudian hari. Prinsip kehatian-hatian, transparansi atau keterbukaan serta memberikan peluang keterlibatan aktif dari berbagai pihak yang terkait seperti para akademisi dibidang msdm & hubungan industrial, asosiasi para pengusaha, serikat-serikat pekerja, para tokoh masyarakat, bahkan organisasi praktisi HRD dalam pembahasan ulang draf UU Ciptaker adalah sangat penting, agar produk hukum yang sangat strategis ini benar-benar bisa diterima dan diimplementasikan oleh semua pihak secara bijak, dewasa, berkeadilan dan memberikan kemanfaatan bagi semua stakeholder dunia industri dan dunia ketenagakerjaan.
 
Terkait dengan tindaklanjut Pemerintah & DPR-RI dalam merespon Putusan MK terseut diatas, DPR-RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU P3) menjadi undang-undang. Revisi ini adalah perubahan kedua atas UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana merupakan pedoman penyusunan peraturan perundang-undangan yang belum mengatur metode omnibus law. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna ke-23 tertanggal 24 Mei 2022 dalam masa sidang V tahun 2021-2022. 
 
Dengan adanya landasan hukum yang pasti dan konstitusional dalam melakukan revisi UU Ciptaker, diharapkan Pemerintah segera memproses semua tahapan-tahapan revisi UU Ciptaker sesuai aturan dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Kolaborasi & Sinergi Bipartit. 
 
Terlepas dari dinamika Pro & Kontra masing-masing pihak dalam mekanisme bipartit (Pengusaha dan Pekerja) menyikapi tetap berlakunya UU Ciptaker beserta 4 (empat) PP turunannya (PP 34, 35, 36 & 37), kedua belah pihak dalam sistem dan mekanisme bipartit (Pengusaha & Pekerja) diharapkan untuk bisa selalu menjaga sistem dan mekanisme hubungan kerja yang kondusif, dinamis, adil, terbuka dan berkolaborasi serta bersinergi agar tercipta keberlangsung dunia usaha dan dunia industri yang saling menguntungkan. 
 
Dengan akan berlangsungnya proses perubahan & perbaikan UU Ciptaker setelah disahkannya Revisi UU P3, diharapkan akan menghasilkan produk revisi UU Ciptaker yang memberikan kebaikan dan kemanfaatan yang lebih adil dan saling menguntungkan bagi masa depan dunia usaha dan dunia industri umunya, serta dunia ketenagakerjaan Indonesia khususnya.
 
Lakukan Revisi Material-Substansial
 
Dengan adanya perbaikan UU Ciptaker secara legal-prosedural sebagaimana amar putusan MK dan pengesahan revisi UU P3 oleh Pemerintah bersama DPR-RI sebagai landasan yuridis-formal dalam melakukan revisi UU Ciptaker, diharapkan tindaklanjut perbaikan dan revisi UU Ciptaker tersebut tidak hanya sebatas legal-prosedural, tapi juga melakukan revisi secara material-susbtansial. 
 
Pembentukan UU Cipta Kerja harus dimulai dari awal, yakni mulai dari perencanaan sampai dengan pengundangan. Proses pembentukanpun harus memperhatikan catatan-catatan MK soal pembentukan UU yang konstitusional, terutama yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat secara bermakna (meaningful participation), tidak tergesa-gesa serta transparansi dalam mengakses dokumen pembentukan UU, seperti draf RUU, naskah akademik dan lainnya. 
 
Diharapkan, penyusunan UU ini nantinya disesuaikan dengan metode omnibus law sebagaimana diatur pada revisi UU tentang Penyusunan Peraturan Perundang-undangan (P3).
 
Perbaikan UU Cipta Kerja sebagai tindaklanjut putusan MK tersebut, harus menjadi momentum dalam membenahi UU Ciptaker secara substansial, khususnya yang menjadi gugatan masyarakat didalam setiap judicial review UU Cipta Kerja. Harus ada iktikad baik dari Pembentuk UU untuk memperbaiki secara formil dan materiil terhadap UU Ciptaker. Hal ini perlu digarisbawahi dan dilakukan untuk meminimalkan adanya potensi revisi UU Cipta Kerja dipersoalkan kembali ke MK, sehingga akan banyak menghabiskan waktu dan sangat melelahkan.
 
Kita berharap, agar semua pihak yang terkait dalam proses revisi UU Ciptaker untuk tidak terburu-buru dan benar-benar mematuhi semua prinsip-prinsip utama dalam penyusunan UU, agar tercipta UU Ciptaker yang memenuhi aspirasi semua pihak, khususnya kepentingan bipartit (Pengusaha & Pekerja) dalam sistem dan mekanisme hubungan industrial yang kondusif, dinamis, terbuka dan berkeadilan.
 
Semoga tujuan luhur dan mulia para pembentuk UU untuk kebaikan, kemanfaatan dan keberlangsungan dunia usaha, dunia industri dan dunia ketenagakerjaan Indonesia bisa tercapai sesuai harapan dan keinginan kita bersama. Aaamien***
Reporter : Ardi Mahardika
- Dilihat 6080 Kali
Berita Terkait

0 Comments