Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 27/01/2022 10:00 WIB

Ancaman Utang Bengkak Akibat Proyek Ibu Kota Baru

IBU KOTA NEGARA 1
IBU KOTA NEGARA 1

JAKARTA, DAKTA.COM : Pembangunan ibu kota baru tampaknya akan segera mulai direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) IKN untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan Timur.

Layaknya mega proyek pada umumnya, pembangunan ibu kota tentu akan menelan biaya yang tak sedikit. Berdasarkan perhitungan yang pernah disampaikan Jokowi saat mengumumkan rencana pemindahan ibu kota 2019 lalu, setidaknya dibutuhkan dana Rp466 triliun untuk memindahkan pusat pemerintahan Indonesia ke wilayah yang diklaim sebagai salah satu paru-paru dunia tersebut.

Awalnya, Presiden Joko Widodo berjanji tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan ibu kota baru. Namun siapa sangka, rencana itu berubah.

Pemerintah pernah menyebut 19 persen atau setara Rp80 triliun dari dana pembangunan ibu kota baru akan menggunakan dana APBN.

Kini, jumlahnya kian membesar. Dalam laman ikn.go.id beberapa waktu lalu bahkan, terpampang jelas porsi dana APBN untuk ibu kota baru melonjak jadi 53,5 persen dari total pendanaan yang dibutuhkan.

Meski sempat dibantah oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, namun yang pasti anggaran pembangunan IKN tidak akan sedikit. Dan karena itulah beberapa waktu lalu Sri Mulyani sempat mengatakan pemerintah akan melirik dana PEN untuk pembangunan ibu kota baru.

"Mengenai anggaran apalagi tadi porsi APBN dan lain-lain nanti kami akan hitung ya. Jadi sebetulnya tidak ada yang disebut hari ini preconception 54 persen adalah APBN," ungkap Sri Mulyani dalam konferensi pers yang disiarkan secara daring, Selasa (18/1).

Berbagai skema pembiayaan akan dibuka pemerintah untuk melancarkan pembangunan mega proyek ambisius era Presiden Jokowi itu, mulai dari skema Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), dana swasta, pendanaan BUMN, hingga investasi.

Namun yang tak kalah santer, proyek ibu kota baru juga akan didanai dengan utang. Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Suharso Monoarfa mengatakan pemerintah berupaya untuk tidak mengambil utang jangka panjang.

Ia yakin pembangunan ibu kota baru tidak akan membebani APBN, namun justru akan menambah aset pemerintah.

"Kami juga menghindari utang jangka panjang. Kami akan adaptasi model pembiayaan sedemikian rupa yang tidak memberatkan APBN, tapi justru menambah aset pemerintah sedemikian rupa," kata Suharso dalam konferensi pers di Kompleks DPR RI yang disiarkan secara daring, Selasa (18/1).

Mantan Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin dengan lantang menyebut tidak ada urgensinya memindahkan ibu kota di tengah tingginya utang luar negeri Indonesia.

"Tidak ada urgensi sama sekali apalagi pemerintah memiliki utang tinggi, adalah keputusan/kebijakan yang tidak bijak," kata Din kepada CNNIndonesia.com, Jumat (21/1).

Menurut Bank Indonesia (BI) utang luar negeri Indonesia tercatat sebesar US$416,4 miliar atau setara Rp5.962 triliun (kurs Rp14.319 per dolar). Utang tersebut terdiri atas utang pemerintah sebesar US$202,2 miliar dan utang swasta sebesar US$205,2 miliar.

Dengan begitu, rasio utang dibandingkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia mencapai 35,5 persen. BI mengklaim itu masih sehat karena didominasi utang jangka panjang.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan potensi peningkatan utang bisa saja terjadi dari pembangunan ibu kota baru. Setidaknya terdapat beberapa hal yang membuka potensi itu. Pertama, ruang fiskal pemerintah yang sangat sempit karena defisit anggaran hanya diperbolehkan di bawah 3 persen.

Belum lagi anggaran negara harus dibagi ke beberapa pos kebutuhan masyarakat di tengah penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi seperti pemberian insentif bagi pelaku usaha hingga menghadirkan jaminan sosial kepada masyarakat yang terdampak.

Kedua, skema KPBU yang ditargetkan pemerintah bisa memenuhi 40 hingga 50 persen kebutuhan pendanaan ibu kota baru. Itu ia nilai tidak relevan dan sulit tercapai. Pasalnya, beberapa negara biasanya menggunakan skema tersebut dengan porsi yang tidak lebih dari seperempat dari total dana yang dibutuhkan.

"Yang jadi masalah adalah rata-rata internasional, KPBU itu maksimal 22 persen. Untuk kasus Indonesia maksimal 7 persen dari proyek infrastruktur, kok ini mau menargetkan 46 persen dari KPBU," kata Bhima, Rabu (26/1).

Selain itu, ia tidak yakin apabila sektor swasta tertarik untuk berinvestasi dalam pembangunan ibu kota baru. Pasalnya, proyek ibu kota baru akan didominasi oleh pembangunan gedung-gedung pemerintahan yang tidak memiliki nilai komersial tinggi bagi investor.

Terkait sumber pendanaan utang, Bhima menilai pemerintah akan kesulitan mencari sumber utang baik dari lembaga multilateral maupun kerja sama bilateral.

"Akan susah ya, karena banyak lembaga keuangan itu selektif seperti Bank Dunia mereka akan mempertanyakan soal pengurangan kemiskinan, ini susah dijawab untuk pembangunan ibu kota negara. Kalau secara bilateral, apabila pinjaman yang diberikan tidak komersial dan risiko politiknya tinggi maka bunga pinjamannya bisa lebih mahal," ucapnya.

Lebih lanjut, ia khawatir bila pembangunan ibu kota baru menggunakan dana utang, stabilitas perekonomian nasional bisa terganggu. Tak hanya itu, ia juga khawatir bila kebijakan itu ditempuh, Indonesia bisa masuk ke dalam debt trap atau jebakan utang.

Debt trap sendiri merupakan istilah di mana sebuah negara terjebak dengan utang yang membesar, namun tidak memiliki kemampuan bayar.

"Iya dong pasti akan mengganggu. Bisa-bisa masuk debt trap. Kalau sudah terjebak akan ada negosiasi dengan kreditur. Kalau mereka tidak mau, kreditur bisa dapat penjualan aset negara. Risiko itu sudah terjadi di banyak negara," katanya.

Risiko terjebak dengan utang dinilai mungkin saja terjadi kepada Indonesia. Lantaran, beberapa negara yang kini masuk ke dalam debt trap adalah negara yang banyak mendapat utang dari China seperti Sri Lanka hingga Nigeria.

"Bisa jadi (berutang ke China) ya, karena stand by buyer atau pembeli yang siap membeli utang pemerintah kita tentu adalah China. Karena mereka punya kepentingan geopolitik di Laut China Selatan," tambahnya


 

Sumber : CNN INDONESIA
- Dilihat 1127 Kali
Berita Terkait

0 Comments