Nasional / Kesehatan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 26/01/2022 17:00 WIB

Perbaikan Status Gizi dapat Diintervensi Lewat Transformasi Kebijakan Pangan

MAKANAN BERGIZI
MAKANAN BERGIZI

JAKARTA, DAKTA.COM :  Transformasi kebijakan pangan dapat membantu upaya perbaikan status gizi masyarakat. Transformasi kebijakan pangan perlu mempertimbangkan aspek mutu, keterjangkauan, keragaman, maupun keberlanjutan yang fokus pada konsumen dan keberlanjutan sektor pertanian.

 

Indonesia masih dihadapkan pada pekerjaan rumah untuk memperbaiki status gizi. Survei dari Studi Status Gizi Indonesia yang dirilis pada Desember 2021 lalu menunjukkan, Indonesia berhasil menurunkan angka stunting dari 27,7 persen di tahun 2019 menjadi 24,4 persen di 2020. Walaupun turun, pemerintah masih harus bekerja keras untuk mencapai angka 14 persen di 2024, sebagaimana yang sudah ditargetkan.

 

“Perbaikan status gizi dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang, khususnya melalui bonus demografi, di mana jumlah penduduk Indonesia berusia produktif diperkirakan akan sangat banyak. Namun jumlah ini akan sia-sia kalau mereka tidak tercukupi gizinya dan tidak mampu melakukan aktivitas ekonomi bernilai tinggi,” jelas Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta.

 

Pola makan sehat atau healthy diet belum dapat diterapkan oleh semua lapisan masyarakat. Healthy diet adalah pola makan sehat yang paling dianjurkan untuk diterapkan terutama dalam mengatasi masalah malnutrisi. Diet ini memenuhi rata-rata 95% kebutuhan nutrisi.

 

Pola makan sehat terdiri dari empat prinsip. Yang pertama adalah diversifikasi pangan yang minimal terdiri dari lima kelompok makanan yang diklasifikasikan FAO, seperti serealia, buah, sayur, telur, daging dan produk susu. Selanjutnya adalah kecukupan gizi, moderasi yaitu mengonsumsi makanan dengan takaran yang tidak berlebihan dan keseimbangan di mana konsumsi gizi makro dan mikro secara seimbang.

 

Ia memaparkan, sektor pertanian Indonesia menghadapi banyak tantangan yang memengaruhi produktivitas dan ketersediaannya. Di saat yang bersamaan, impor pangan pun dibatasi. Akhirnya, pilihan dan akses kepada makanan yang terjangkau, bernutrisi dan berkualitas bagi masyarakat Indonesia menjadi terbatas.

 

Saat ini pangan di Indonesia termasuk mahal padahal pengeluaran rata-rata rumah tangga untuk makanan mencapai 56 persen dari pengeluaran mereka. Bahkan, hampir sepertiga rumah tangga mengeluarkan lebih dari 65 persen untuk makanan hanya untuk pemenuhan kebutuhan kalori tanpa mempertimbangkan nilai nutrisi.

“Kenyataannya, konsumsi pangan masyarakat Indonesia masih didominasi oleh karbohidrat dan semakin banyak makanan hasil ultraproses karena harganya lebih terjangkau. Konsumsi buah, sayuran dan protein hewani masih rendah. Artinya walaupun kenyang, nutrisi optimal yang dibutuhkan masih belum terpenuhi,” imbuh Felippa.

Besarnya porsi pengeluaran untuk makanan mengakibatkan masyarakat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga maupun penurunan pendapatan, seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19. Walau harga pangan di Indonesia relatif stabil selama pandemi, masyarakat yang kehilangan pendapatan akhirnya harus mengurangi makanan atau mengubah pola konsumsi ke makanan yang lebih murah dan mengenyangkan, walau tidak bernutrisi.

 “Keterjangkauan makanan bernutrisi perlu menjadi prioritas pemerintah selama dan sesudah pandemi Covid-19, baik melalui penurunan harga maupun peningkatan daya beli,” ungkapnya.

Selama ini, swasembada pangan dijadikan tujuan utama sektor pertanian Indonesia dan diwujudkan lewat upaya-upaya untuk memenuhi kebutuhan lewat produksi dalam negeri yang malah memprioritaskan beberapa komoditas tertentu melalui lumbung pangan yang masif. Padahal, pemenuhan gizi bisa didapat dari cara lain, seperti peningkatan produktivitas atau melalui perdagangan pangan. Pertanian dan rantai pasok pangan perlu dimodernisasi dengan inovasi, teknologi dan mekanisasi.

CIPS merekomendasikan pemerintah untuk memanfaatkan produksi domestik maupun impor sebagai sumber pemenuhan kebutuhan pangan dalam negeri. Namun hal ini juga tetap diikuti adanya upaya peningkatan produktivitas dan mendukung produksi berbagai jenis pangan.

Pemerintah juga perlu mendukung diversifikasi pangan yang bernutrisi. Program pertanian perlu beranjak dari fokus ke beberapa komoditas tertentu saja, ke penggiatan produksi ragam pangan sesuai dengan karakteristik dan keunggulan daerah maupun petani. Meningkatnya keragaman pangan dapat mendorong pola konsumsi masyarakat menuju diet yang lebih bernutrisi.

Reporter : Warso Sunaryo
- Dilihat 873 Kali
Berita Terkait

0 Comments