UU Cipta Kerja : Kepastian Perizinan, Hilangnya Hak Buruh, dan Cacat Legislasi
BEKASI, DAKTA.COM - Pengesahan UU Cipta Kerja oleh DPR RI masih menjadi polemik berkepanjangan di publik. Presiden Jokowi telah menyatakan untuk menolak mengeluarkan Perppu untuk mencabut UU Omnibus Law tersebut.
Meskipun begitu, menurut Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) Jakarta, Sarman Simanjorang justru menilai bahwa UU Cipta Kerja ini merupakan suatu reformasi birokrasi besar-besaran yang dilakukan oleh pemerintah. Dimana selama ini banyak aturan yang tumpang tindih satu sama lain.
"Urusan perizinan bagi pengusaha sangat rumit sehingga membuat para investor menjadi ragu, meskipun daya tarik Indonesia cukup besar di kawasan Asia Tenggara," ungkap Sarman dalam Dialog Publik Radio Dakta, Rabu (21/10).
Sarman menambahkan dengan adanya UU Cipta Kerja diharapkan mampu mendongkrak perekonomian nasional yang saat ini masuk masa resesi. Karena UU ini bisa memberi kepastian pemberian perizinan.
"Jika kita lihat saat ini ada 15 juta pengangguran di Indonesia. Nah, ini kan bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, tapi juga pengusaha. Untuk itulah UU ini memberikan kami kepastian tentang perizinan," imbuhnya.
Namun hal ini dibantah oleh Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar Cahyono yang menilai UU Cipta Kerja menghilangkan sejumlah hak mereka sebagai kalangan pekerja.
"UU Cipta Kerja merusak tiga hal, yakni kepastian kerja, kepastian pendapatan, dan kepastian jaminan sosial. Contoh kepastian kerja adalah tidak adanya batasan outsourcing di dalamnya," tegas Kahar.
Sementara itu, Peneliti dari Puskapkum, Ferdian Andi mengkritisi tentang proses legilasi yang terjadi di DPR RI tentang proses pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai mengabaikan partisipasi publik.
"Misalnya tentang kewenangan Pemda, apakah mereka juga ikut dilibatkan? Maka dari itu muncul penolakan seperti aksi demonstrasi. Hal ini menjadi bukti bahwa memang ada masalah serius terkait UU ini," terang Ferdian.
Ia juga menyarankan agar UU Cipta Kerja tidak dibawa ke Mahkamah Konstitusi, namun dikembalikan ke DPR RI untuk dilakukan legislatif review karena prosesnya yang bermasalah.
"Membawa ke MK bukan solusi, karena masalah utamanya adalah tentang partisipasi publik, maka kembalikan kepada DPR. Ini pernah terjadi dalam UU Pilkada," terangnya.
Akan tetapi menurut Ekonom Konstitusi Defiyan Cori dalam hal Ini pada dasarnya, UU Bukan hanya persoalan pengusaha saja, tetapi ada pengangguran, kemiskinan, dan kesejahteraan. Semua Ini bermula dari janji presiden saat kampanye lalu.
"Pangkal masalah di Indoneaia, mereka yang ambisius, tidak berbasis fakta dan sejarah, Indonesia itu kaya yang sangat luar biasa"
Tidak ada masyarakat yang menghambat pembangunan, Jika legislasi jelas maka untuk investasi, ekonomi kerakyatan, perizinan akan berjalan dengan lancar. Defiyan berharap pemerintah dapat mengakomodir pengusaha, masyarakat dapat mengakomodir tanpa merugikan siapapun.
Sumber | : | Radio Dakta |
- Mengapa RRC- PKC buru-buru mengundang Prabowo?
- Pekerjaan Rumah Menanti Hadi dan AHY
- Haram Golput, Pilih Pemimpin yang Mampu Menjaga Agama dan Negara
- Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie : Prabowo Subianto Hanya Akan Menjabat Sebagai Presiden Selama Dua atau Tiga Tahun Apabila Terpilih Dalam Pemilu 2024
- Anies Sebut Film 'Dirty Vote' Cara Rakyat Respons Kecurangan
- Cara Top Up Genshin Impact Murah: Menambah Kristal Tanpa Merusak Dompet
- DPR BUKAN LAGI RUMAH RAKYAT, ASPIRASI PEMAKZULAN JOKOWI DIPERSEKUSI?
- Etika Politik "Endasmu Etik"
- PENGUSAHA JANGAN LEBAY, KAITKAN BOIKOT PRODUK TERAFILIASI ISRAEL DENGAN ANCAMAN PHK MASSAL!
- Eddy Hiariej Terima Rp3 M atas Janji SP3 Kasus Helmut di Bareskrim
- KPU Masih Analisis Sistem soal Dugaan Kebocoran Data DPT Pemilu 2024
- Beban Berat Nawawi Pulihkan Kepercayaan KPK
- Bareskrim Selidiki Peretasan Data Pemilih di KPU
- Panja DPR-Kemenag Tetapkan Biaya Haji 2023, Jamaah Harus Bayar Rp 56 Juta
- Boikot Produk Terafiliasi Israel di Indonesia Bisa Melalui Penerapan UU JPH
0 Comments