Sabtu, 26/09/2020 13:31 WIB
Dampak Psikologis Ngeprank Anak demi Konten Medsos
JAKARTA, DAKTA.COM - Orang tua terkadang tak berpikir dua kali ketika membuat konten media sosial yang melibatkan anaknya. Mereka mengira, ekspresi takut dan khawatir yang ditunjukkan si kecil terlihat menggemaskan saat dikerjai dan itu akan menarik banyak mata untuk menyaksikannya.
Psikolog Anak, Ine Indriani, menentang keras prank terhadap anak. Menurutnya, prank bisa berdampak pada emosi dan aspek psikologis anak, apalagi jika prank-nya bukan settingan.
"Bila di-setting, anak sudah tahu akan seperti apa kejadiannya. Bayangkan bila mengerjai anak dilakukan tanpa settingan atau kejadian sebenarnya, ini akan memengaruhi kepercayaan diri anak. Apalagi videonya akan ditunjukkan kepada orang lain melalui akun Youtube atau media sosial lainnya," tutur Ine.
Ketika dikerjai lalu direkam reaksinya, belum tentu anak akan suka dan dapat menerimanya. Anak juga bisa memiliki emosi negatif, bila ternyata konten tersebut tidak disetujui anak, menyakiti anak, mempermalukan anak, atau konten tersebut membuat anak menjadi dirundung teman-temannya.
"Cobalah untuk pikirkan sesuatu yang lebih baik, menyenangkan, atau membuat terharu, ketika membuat konten," ujar Ine.
Anak yang kerap dikerjai, selain menjadi korban bully, juga bisa menjadi pelaku bullying. Hal ini terjadi lantaran anak tidak bisa marah terhadap orang tuanya. Mereka pun melampiaskannya pada orang lain.
"Coba pikirkan dampak baik buruknya. Coba pikirkan orang lain, jangan hanya karena ketenaran dan materi saja," kata Ine.
Lebih lanjut, Ine mengatakan, anak yang sering kena prank juga bisa menjadi hilang empati. Soal empati ini sebetulnya dipengaruhi banyak faktor.
"Empati berkurang atau tidak, tergantung dari jenis prank yang dilakukan," ujar Ine.
Selain dampak psikologis pada anak, prank pada buah hati demi konten media sosial juga dapat memberikan dampak sosial kepada masyarakat. Ine mengajak pembuat konten untuk merenungkan apakah konten tersebut mendidik atau justru malah akan ditiru orang lain dan membahayakan.
"Kalau Anda melakukan prank itu, orang akan menonton atau tidak. Jika melakukan konten bagus dan ditiru, Anda akan mendapatkan pahala dan derajat Anda naik, berarti Anda menuai kebaikan. Justru sebaliknya Anda melakukan prank tidak bermutu demi konten dan memiliki jutaan viewer atau follower, Anda memberikan noda ke banyak orang dan follower ini akan menyebarkan lagi, berjuta orang ternodai,” tutur Ine.
Masih ingin membuat konten prank? Ine menganjurkan agar melakukannya dengan lebih cerdas. Cobalah membuat konten lebih bermutu.
"Kalau prank-nya justru membuat anaknya menangis, mengeksploitasi anak demi keuntungan pribadi, maka itu merugikan anak dan psikologis anak. Jangan sampai menzalimi anak sendiri demi uang," kata Ine.
Editor | : | Dakta Administrator |
Sumber | : | Republika Online |
- Pekerjaan Rumah Menanti Hadi dan AHY
- Haram Golput, Pilih Pemimpin yang Mampu Menjaga Agama dan Negara
- Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie : Prabowo Subianto Hanya Akan Menjabat Sebagai Presiden Selama Dua atau Tiga Tahun Apabila Terpilih Dalam Pemilu 2024
- Anies Sebut Film 'Dirty Vote' Cara Rakyat Respons Kecurangan
- Cara Top Up Genshin Impact Murah: Menambah Kristal Tanpa Merusak Dompet
- DPR BUKAN LAGI RUMAH RAKYAT, ASPIRASI PEMAKZULAN JOKOWI DIPERSEKUSI?
- Etika Politik "Endasmu Etik"
- PENGUSAHA JANGAN LEBAY, KAITKAN BOIKOT PRODUK TERAFILIASI ISRAEL DENGAN ANCAMAN PHK MASSAL!
- Eddy Hiariej Terima Rp3 M atas Janji SP3 Kasus Helmut di Bareskrim
- KPU Masih Analisis Sistem soal Dugaan Kebocoran Data DPT Pemilu 2024
- Beban Berat Nawawi Pulihkan Kepercayaan KPK
- Bareskrim Selidiki Peretasan Data Pemilih di KPU
- Panja DPR-Kemenag Tetapkan Biaya Haji 2023, Jamaah Harus Bayar Rp 56 Juta
- Boikot Produk Terafiliasi Israel di Indonesia Bisa Melalui Penerapan UU JPH
- Gibran tak Hadir di Dialog Muhammadiyah, Muti: Kami Sayangkan, Sudah Diberi Kesempatan
0 Comments