Opini /
Follow daktacom Like Like
Senin, 07/09/2020 15:57 WIB

Overdosis Penanganan Radikalisme

Radikalisme
Radikalisme
DAKTA.COM - Oleh: Ustadz Jeje Zaenudin
 
Sejak awal kepemimpinan periode kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal November 2019 menegaskan kembali komitmennya untuk menumpas paham radikal sampai ke akar-akarnya. Bahkan ia sempat mengusulkan penggantian istilah radikal dengan istilah yang lebih serem, yaitu "manipulator agama". Walau kemudian tidak ada kelanjutannya mungkin karena waktu itu banyak yang menentang dan mempertentangkannya dengan manipulator Pancasila.
 
Komitmen presiden itu ditindaklanjuti para menterinya dengan gebrakan penandatanganan Surat Keputusan Bersama 11 kementerian tentang penanggulangan radikalisme.
 
Pada tahun 2020 ini Sekolah Tinggi Administrasi Negara/STAN dimoratorium. Konon ini juga diduga kuat karena ada laporan para alumninya yang menjadi ASN terpapar radikalisme.
 
Rabu, 2 September 2020 lalu Kemenpan-RB meluncurkan aplikasi ASN No Radikal. Sebagai media pengawasan, pencegahan, dan pelaporan bagi ASN dari terpapar radikalisme.
 
Dalam webinar peluncuran aplikasi ASN No Radikal itu, Menteri Agama juga memberi sambutan yang menegaskan perlunya kehati-hatian merekrut ASN baru agar jangan tersusupi orang yang radikal dan pro khilafah.
 
Selang beberapa hari berikutnya media diributkan lagi dengan statement Menag yang akan melakukan sertifikasi mubalig dan dai guna mencegah para mubaligh radikal. 
 
Yang lebih heboh lagi adalah pernyataannya bahwa paham radikal itu terkadang dibawa oleh anak muda yang "good looking", hafizh quran, menjadi imam, lalu mempengaruhi para jamaahnya. Tentu saja rentetan peristiwa dan berita itu membuat banyak para tokoh dan pemimpin Islam tersinggung dan marah. Bahkan reaksi dan kecaman keras dilontarkan oleh Sekjen MUI, Anwar Abbas. 
 
Pada hari yang sama dengan peluncuran aplikasi ASN No Radikal, Ketua DPR Puan Muharani menyinggung perasaan orang minang dengan ungkapan kurang lebih "semoga masyarakat Sumatera Barat menjadi masyarakat yang mendukung negara Pancasila". Ungkapan itu juga tidak mudah untuk lepas dari framing pemberantasan radikalisme.
 
Jelas sudah bahwa masyarakat yang tidak mendukung ideologi Pancasila ala PDIP itulah yang distigma kaum radikal itu.
 
Bahkan dengan berbagai rentetan peristiwa yang terkait dengan penanggulangan radikalisme, makin banyak masyarakat yang menebak-nebak apa hidden agenda dari program deradikalisme yang overdosis itu?
 
Mungkin di Indonesia negeri muslim terbesar ini sedang terpapar islamophobia radikal seperti yang dikembangkan di sebagian penduduk negara Eropa dan Amerika dengan menyebar stigma setiap kesetiaan yang kuat pada Islam sebagai radikal?
 
Mungkinkah program deradikalisme diperalat kaum radikal liberal, sekuler,  pemuja HAM, dan pendukung LGBT untuk menyerang kelompok Islam istikomah yang dianggap penentang paling besar atas penyebaran paham dan perilaku mereka? Atau mungkinkah sebagai palu godam pemukul bagi para penentang gerakan yang ingin mengembalikan Pancasila kepada Pancasila Sila satu Juni 1945 yang bisa diperas menjadi Trisila dan Ekasila. 
 
Sebagaimana yang dinyatakan Puan bahwa masyarakat Sumbar dianggap belum menerima negara Pancasila hanya karena Partainya belum menang di sana. Demikian pula seperti pernyataan ketua BPIP bahwa musuh terbesar Pancasila adalah Agama (Islam).
 
Semua dugaan dan kekhawatiran itu bukanlah tanpa alasan. Fakta-fakta yang mengindikasikan itu sering terjadi, seperti banyak para tukang propaganda yang lantang anti radikalisme dan mengaku kami pancasila itu terbukti di kemudian hari ternyata ia adalah koruptor, ada juga yang ternyata pendukung gerakan LGBT, dan para pendukung kejahatan lainnya.
 
Yang sangat aneh justru adalah kebijakan dan program deradikalisme dari pemerintah sendiri yang dinilai overdosis dan tidak adil, sehingga memberantas radikalisme dengan cara-cara yang justru memantik radikalisme baru. Paham dan perilaku yang sudah jelas-jelas musuh ideologi negara dan menjadi sebab munculnya perlawanan radikal Islam tidak disikapi dan ditindak keras secara seimbang sebagsimana dalam menanggulangi radikalisme Islam. 
 
Misalnya keresahan masyarakat atas merebaknya indikasi paham dan perilaku komunisme baru, paham liberal, prilaku freesex, penyebaran narkoba, hingga kebobrokan penegakan hukum dalam penanggulangan mega korupsi.
 
Ada yang lebih mengkhawatirkan lagi bagi sebagian kalangan jika isu penanggulangan radikalisme itu pada akhirnya diperalat para islamophobia yang kebetulan sedang berkuasa di berbagai bidang untuk menjegal dan menggagalkan berbagai kesempatan karir para profesional muslim yang taat dengan tuduhan dan fitnah terpapar radikalisme.
 
Kita tentu sangat berharap bahwa pemerintah mau mendengar keresahan masyarakat atas cara-cara penanganan radikalisme yang dinilai sudah overdosis itu dan memprioritaskan pemberantasan akar masalahnya yang diantaranya adalah kegagalan dalam penegakan hukum, ketidakadilan ekonomi, dan hilangnya keteladan kepemimpinan bangsa dalam mewujudkan kehidupan yang benar menurut Pancasila sebagai falsafah negara. 
 
Jika tidak, sangat mungkin kehidupan berbangsa kita terus menerus dalam saling kecurigaan dan stigma-menstigma antar kelompok masyarakat. Bahkan pemerintah sendiri mungkin yang akan mendapat stigma masyarakat sebagai bagian dari pembuat masalah bukan memberi solusi atas masalah. **
Editor :
Sumber : Ustadz Jeje Zaenudin
- Dilihat 3273 Kali
Berita Terkait

0 Comments