Oase Iman /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 21/07/2020 08:59 WIB

Islam di Indonesia, Ada Apa?

Kitab Suci Al Quran (google image)
Kitab Suci Al Quran (google image)
DAKTA.COM - Oleh: Fahmi Salim, Wakil Ketua di Majelis Tabligh PP Muhammadiyah dan Komisi Dakwah MUI
 
Menjadi khoiru ummah harus menjadi cita-cita kita bersama, sebagai umat Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Meskipun, kita bukanlah sebaik-baiknya umat yang hidup pada masa Rasulullah, yaitu generasi para sahabat, yang dilanjutkan dua generasi setelahnya. Namun, Allah Ta'ala membuka jalan untuk menjadi khoiru ummah, sebagaimana disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 110. 
 
Namun, tak sembarang umat. Kata khoir dalam ayat itu, bermakna kualitatif bukan kuantitatif. Apa syaratnya? Jika ingin menjadi khoiru ummah, harus memenuhi kualifikasi, yaitu kaum yang menyeru pada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran serta beriman kepada Allah Azza wa Jalla. 
 
Sebagai penduduk mayoritas di Indonesia, sudahkah kita pantas disebut khoiru ummah
 
Pertanyaan tersebut menjadi tema penting dalam program NGESHARE atau Ngaji Syar'ie yang menghadirkan Prof. Dr. KH. M. Din Syamsuddin. Sosok tokoh nasional bahkan Internasional ini tentu sangat istimewa, karena memberi banyak pencerahan. 
 
Saya pribadi begitu kagum dengan beliau, yang biasa saya sapa Bang Din. Tokoh bangsa yang berani mengingatkan jika para pengelola negeri ini sudah salah arah. 
 
Begitu banyak kiprah beliau dalam keumatan ini, menjadi Ketua Umum Muhammadiyah selama dua periode (2005-2010 dan 2010-2015), Sekjen MUI (2005-2010) lalu Ketua Umum MUI (2014-2015) dan saat ini, Bang Din masih menjabat Ketua Umum Dewan Pertimbangan MUI, serta berbagai jabatan penting lainnya.
 
Menurut Bang Din, khoiru ummah adalah umat terbaik yang memiliki banyak keunggulan. Kata khair tidak hanya mengandung arti baik, tapi bermakna superlative, artinya terbaik. Ayat 110 tidak bisa dilepaskan dari ayat 104, masih dalam surat Ali Imron, yang artinya: "Dan hendaknya di antara kamu ada segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang ma'ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan, mereka itulah orang-orang yang beruntung."
 
Jadilah kelompok yang terorganisir dalam menyeru kebaikan, beramar ma'ruf dan nahi mungkar. Karena, Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, kebenaran yang tidak terorganisir akan dikalahkan oleh kebatilan yang terorganisir. Dalam ayat selanjutnya, Allah Ta'ala menyuruh kita untuk bersatu dan tidak berpecah belah, karena perpecahan menjadi awal kehancuran suatu bangsa.
 
Muhammadiyah saat ini mengusung gerakan Islam Berkemajuan, yang menurut Bang Din, bisa ditambahkan dengan Islam Berkeunggulan. Salah satunya, umat harus bertumpu pada kekuatan ilmu pengetahuan. Umat Islam harus unggul dalam bidang sains dan teknologi, karena umat ini tidak bisa berjaya memegang supremasi dunia tanpa menguasi Iptek. 
 
Selain itu, sebagai khoiru ummah, umat Islam harus melakukan perbaikan dan perubahan untuk membangun peradaban dunia yang berkeadaban, sejahtera, berkeadilan, dan damai.
 
Peran ideal ini masih harus diperjuangkan. Kita harus mau melakukan kritik terhadap diri sendiri (otokritik) bahwa umat Islam di dunia masih mengalami kesenjangan antara idealitas dan realitas, antara kuantitas dan kualitas.
 
Saat ini penduduk muslim di dunia mencapai 1,7 miliar jiwa, dan makin berkembang pesat. Jumlahnya diperkirakan mencapai 2,7 miliar orang pada tahun 2050 (sumber: The Future of World Religions & PEW Research Center https://www.pewforum.org/2015/04/02/religious-projections-2010-2050/), alias 29,7 % populasi bumi, bahkan suatu saat jumlahnya akan mendominasi penduduk bumi. 
 
Di Indonesia peran kesejarahan umat Islam sangat penting dalam perjuangan meraih kemerdekaan, Bahkan, sebelum Indonesia merdeka pun, ada sekitar 23 kerajaan Islam yang membentang dari Aceh hingga Papua. Merekalah yang berjuang mengusir penjajah Belanda.
 
Saat Belanda yang memboncengi Sekutu ingin kembali menjajah Indonesia, umat Islam tak tinggal diam. Resoluasi jihad fii sabilillah diserukan oleh para ulama, seperti Hadratu Syekh KH. Hasyim Asy'ari. Maka, perang yang dikomando Bung Tomo pun berkobar pada 10 Nopember 1945, yang kita peringati saat ini sebagai Hari Pahlawan.
 
Namun, kemerdekaan yang kita raih dengan darah dan nyawa ini, belum membuat umat Islam berdaulat di negerinya sendiri. Di bidang ekonomi misalnya, menurut Bang Din, umat Islam nyaris terpuruk, karena aset strategis nasional dikuasai oleh segelintir orang.
 
Angka demografis umat sekitar 88% dari total penduduk Indonesia tidak menjelma dalam angka riil penguasaan umat akan aset nasional (diduga di bawah 20%), mengingat 1% penduduk dengan afiliasi agama dan etnik lain menguasai aset nasional lebih dari 60%.  Begitu pula di bidang pendidikan, umat Islam masih jauh tertinggal, 
 
Karena itu, jika Indonesia ingin meraih kemajuan, kesejahteraan dan keharmonisan di masa depan harus diciptakan 'National Equalibrium', artinya negara harus memberi kesempatan yang banyak kepada umat Islam dalam bidang ekonomi dan pendidikan, sebagaimana yang pernah dilakukan Mahathir Mohammad untuk mengangkat kaum pribumi di Malaysia.
 
Meski demikin, perbaikan bangsa ini harus dikembalikan kepada umat Islam sendiri. Kuncinya, persatuan dan kebersamaan umat Islam. Umat ini sebenarnya  tidak banyak meminta dan menuntut pemerintah, tetapi menegakan keadilan dan kesejahteraan sosial adalah amanah para pendiri bangsa ini. 
 
Namun, ada kelompok tertentu yang berusaha meminggirkan umat Islam. Mereka tidak senang umat Islam bangkit, dan memilih berpihak kepada kelompok tertentu. Padahal realitas sosiologisnya, memberdayakan umat Islam sama dengan memperdayakan rakyat. Karena, umat Islam adalah penduduk mayoritas di negeri ini. 
 
Dalam catatan kongres umat Islam  pada awal tahun 2020, Bang Din pernah menulis bahwa permasalahan bangsa merupakan resultante dari kegagalan rezim demi rezim yang berkuasa, yang tidak mengatasi masalah bawaan rezim sebelumnya, bahkan justru membawa masalah baru, sehingga terjadi penumpukan masalah dalam bentuk kerusakan akumulatif.  
 
Pada sisi lain, umat Islam sebagai pemegang saham kebangsaan mayoritas, baik sosiologis, historis, maupun kultural, tidak cukup memiliki kuasa politik dan ekonomi, baik karena dirinya sendiri maupun akibat rekayasa diri pihak lain. Sebagai akibatnya, umat Islam kurang dapat menampilkan peran kebangsaan secara optimal.
 
Kita harus akui bahwa persoalan bangsa ini muncul karena kita tidak mengamalkan Pancasila. Dan bagi umat Islam, menjalankan agama dengan sebaik-baiknya sama dengan menjalankan nilai-nilai dalam Pancasila.  
 
Saatnya, umat Islam bangkit. Sebuah agenda strategis yang sejalan dengan  perwujudan Visi Kebangsaan Indonesia yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa dan negara seperti  termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Wallahu 'alam
Editor :
Sumber : Fahmi Salim
- Dilihat 5505 Kali
Berita Terkait

0 Comments