Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 04/06/2020 09:07 WIB

Harga Gula Tinggi, Pemerintah Perlu Evaluasi Pengurusan Izin Impor

Gula pasir
Gula pasir
JAKARTA, DAKTA.COM - Harga gula masih tetap tinggi di pasaran. Berdasarkan data dari Pusat Informasi Harga Pangan Nasional (PIHPS), sejak awal April hingga Juni, harga gula fluktuatif berada di kisaran Rp18.000 per kilogram, turun tipis ke besaran Rp17.000 per kilogram, naik lagi dan hingga kini masih berada di angka Rp17.250 per kilogram. Angka ini melampaui Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah yaitu sebesar Rp 12.500 per kilogram.
 
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Felippa Ann Amanta, meminta pemerintah perlu melakukan evaluasi terhadap pengurusan izin impor untuk gula. 
 
Ia menjelaskan regulasi impor untuk komoditas pangan berbeda satu dengan lainnya. Namun ada beberapa kesamaan yang berhubungan dengan rekomendasi dan izin impor. Hal inilah yang perlu dievaluasi mengingat banyaknya prosedur yang harus dilalui untuk mendapatkan izin impor.
 
Menurutnya, untuk dapat impor, secara umum importir dengan Nomor Induk Berusaha (NIB) yang berlaku sebagai Angka Pengenal Importir (API) harus mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dikeluarkan oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag). 
 
Untuk mendapat SPI, importir wajib mendapatkan rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan) setelah memenuhi berbagai persyaratan, seperti bukti kepemilikan gudang berpendingin (cold storage) atau fasilitas lainnya. Untuk beberapa komoditas, importir juga harus mendapat rekomendasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Setelah itu, baru dilakukan transaksi.
 
Sementara untuk gula, prosedur impor berbeda untuk gula rafinasi, gula mentah dan gula kristal putih berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 14 Tahun 2020. 
 
Gula kristal putih hanya bisa diimpor oleh BUMN setelah mendapat penugasan dan kuota dari Kemenko Perekonomian. Proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar karena proses impor yang dilakukan oleh BUMN membutuhkan persetujuan lewat rapat terbatas atau rapat koordinasi.     
 
Sementara itu, gula rafinasi, hanya bisa diimpor industri untuk bahan baku sendiri berdasarkan surat rekomendasi dikeluarkan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Rekomendasi ini didapat setelah importir menyerahkan beberapa persyaratan, seperti laporan rencana produksi, laporan realisasi dan laporan pemakaian. Selain itu, industri juga harus membuat surat pernyataan untuk tidak memasukkan gula mentah atau gula rafinasi ke pasar dalam negeri.
 
Terakhir, importir umum hanya dapat mengimpor gula mentah untuk diolah menjadi gula kristal putih oleh pabrik gula di Indonesia. Penentuan jumlah gula mentah yang dapat diimpor juga disepakati dalam rapat koordinasi antar kementerian/lembaga.
 
Setelah transaksi, lanjut Felippa, importir harus mendapatkan Laporan Surveyor (LS) mengenai komoditas yang diimpornya sebagai dokumen kelengkapan kepabeanan. Setelah komoditas yang diimpor masuk ke Indonesia, ia masih harus melewati pemeriksaan dari BPOM dan bea cukai. Semua proses ini dapat berlangsung dalam waktu yang tidak singkat, antara satu hingga tiga bulan.
 
“Panjangnya proses ini tidak jarang dapat membuat Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengimpor saat harga internasional sedang murah. Kalau dikaitkan dengan pandemi Covid-19, Indonesia tentu tidak menyangka negara-negara sumber impor gula, misalnya saja India, sudah membatasi bahkan melarang adanya kegiatan ekspor akibat adanya kebijakan karantina wilayah atau lockdown. Kalau prosesnya lebih sederhana, realisasi impor gula tentu akan lebih cepat dan harga akan tetap stabil,” terangnya dalam keterangannya di Jakarta yang diterima, Kamis (4/6).
 
Ia melanjutkan, komoditas pangan strategis bahkan membutuhkan persetujuan pemerintah lewat rapat koordinasi atau rapat terbatas, misalnya saja untuk beras atau gula. Belum lagi setelah barang sampai, dia masih harus melewati serangkaian proses pemeriksaan. Padahal stok sudah menipis dan harga di pasar sudah tinggi.
 
Pergerakan harga sebaiknya dapat dijadikan sebagai parameter ketersediaan komoditas pangan di pasar. Kenaikan harga beberapa komoditas pangan sejak awal tahun lalu seharusnya sudah bisa dijadikan indikator perlunya dilakukan impor, terlebih jelang Ramadan dan Idul Fitri, di mana biasanya akan ada peningkatan permintaan. 
 
"Perlunya tindakan ini dilakukan dalam waktu dekat sebelum harga komoditas pangan menjadi tinggi dan tidak terjangkau oleh masyarakat," pungkas Felippa. **
Reporter :
Editor :
- Dilihat 1466 Kali
Berita Terkait

0 Comments