Nasional / Ekonomi /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 09/04/2020 13:36 WIB

Potensi Risiko dan Rekomendasi Pembiayaan Defisit Anggaran Hadapi Covid-19

Ilustrasi penyusunan anggaran
Ilustrasi penyusunan anggaran
JAKARTA, DAKTA.COM - Pemerintah telah memutuskan untuk menambah stimulus untuk menanggulangi dampak negatif penyebaran Covid-19. Total tambahan anggaran yang disalurkan mencapai 405 triliun Rupiah atau setara 2,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Tambahan anggaran ini ditujukan untuk bidang kesehatan, perlindungan sosial, insentif perpajakan dan pemulihan ekonomi nasional. 
 
Dengan tambahan ini Indonesia menjadi salah satu negara pemberi insentif terbesar di Asia. Jumlah insentif fiskal pemerintah lebih besar dibandingkan beberapa negara seperti Tiongkok (1,2% terhadap PDB), Korea Selatan (0,8%), ataupun India (0,5%), namun angka ini lebih kecil dibandingkan Thailand (3%) ataupun Malaysia (17%).
 
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet mengatakan, tambahan belanja ini diproyeksikan tidak bisa diimbangi oleh kenaikan penerimaan negara pada akhir tahun nanti. Pertumbuhan penerimaan negara akan jauh menurun dibandingkan tahun lalu, yang disebabkan oleh 2 faktor utama. 
 
Dari luar negeri, harga sejumlah komoditas mengalami penurunan imbas dari melambatnya permintaan global termasuk harga minyak mentah yang anjlok di bawah US$25. Selain karena melemahnya permintaan global, ini juga dipicu oleh gagalnya kesepakatan negara-negara produsen khususnya Arab Saudi dan Rusia untuk memangkas produksi minyak.
 
Dari dalam negeri, terjadi pelemahan permintaan domestik yang berdampak pada melambatnya aktivitas pada sektor-sektor penyumbang penerimaan negara. Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur Indonesia yang sudah menunjukkan kontraksi sejak pertengahan tahun lalu, pada Maret 2020 bahkan anjlok lebih dalam hingga ke level 45. Melambatnya sektor manufaktur akan berdampak pada penerimaan perpajakan, karena sektor ini menyumbang sekitar 30% dari total penerimaan pajak. 
 
"Kombinasi kedua faktor ini diprediksikan akan menekan penerimaan negara sampai dengan akhir tahun nanti. CORE memprediksikan penerimaan Perpajakan (pajak dalam arti luas) akan berada di kisaran 1.452 - 1.514 triliun Rupiah. Jauh lebih rendah dibandingkan realisasi tahun lalu yang mencapai 1.462 triliun Rupiah," katanya dalam siaran persnya, Kamis (9/3).
 
Kondisi ini akan mendorong pelebaran defisit anggaran yang diproyeksikan akan mencapai 852 triliun atau setara 5,07% terhadap PDB. Indonesia tidak sendiri, negara lain juga diprediksikan akan mengalami kondisi serupa. Negara tetangga Malaysia misalnya dengan tambahan insentif sebesar 250 miliar Ringgit Malaysia, defisit anggaran Malaysia akan berada dikisaran 4,5% terhadap PDB lebih tinggi dibandingkan defisit pada tahun lalu yang mencapai 3,4%. Bahkan Perancis berencana meningkatkan defisit anggarannya hingga 7%.
 
Potensi Risiko yang Perlu Menjadi Perhatian Pemerintah
 
Menururnya, kebijakan stimulus fiskal, pelebaran defisit dan pembiayaan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Stimulus dibutuhkan dalam rangka mempercepat penanggulangan wabah covid-19, memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak, meningkatkan ketahanan dunia usaha, sekaligus mempersiapkan pemulihan ekonomi ketika wabah telah usai. Besarnya stimulus menyiratkan pelebaran defisit sekaligus juga besarnya kebutuhan pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah. 
 
CORE Indonesia memandang setidaknya ada empat potensi risiko yang perlu diperhatikan pemerintah akibat rencana pelebaran defisit dan pembiayaanya hingga tahun 2022.
 
1. Risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar. Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing.
 
Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok. Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Contoh teranyar bisa dilihat pada bulan Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak 145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar.
 
2. Risiko pelemahan nilai tukar. Tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar. Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4 persen. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia.
 
3. Risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.
 
4. Risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun. Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi US Dollar dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar.
 
Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufkatur ataupun keuangan.
 
Potensi yang Perlu Menjadi Perhatian Pemerintah
 
Direktur Riset CORE Indonesia, Piter Abdullah Redjalam menyebut kebijakan stimulus fiskal, pelebaran defisit dan pembiayaan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Stimulus dibutuhkan dalam rangka mempercepat penanggulangan wabah covid-19, memberikan bantuan kepada masyarakat terdampak, meningkatkan ketahanan dunia usaha, sekaligus mempersiapkan pemulihan ekonomi ketika wabah telah usai. 
 
"Besarnya stimulus menyiratkan pelebaran defisit sekaligus juga besarnya kebutuhan pembiayaan yang harus dilakukan pemerintah. CORE Indonesia memandang setidaknya ada empat potensi risiko yang perlu diperhatikan pemerintah akibat rencana pelebaran defisit dan pembiayaanya hingga tahun 2022," jelasnya.
 
1. Risiko dominasi kepemilikan asing pada surat utang pemerintah. Dengan melebarnya defisit anggaran tentunya akan mendorong pemerintah untuk menerbitkan surat utang (SUN) sebagai salah satu sumber pembiayaan defisit yang semakin besar. Sayangnya penerbitan SUN masih sangat bergantung pada investor asing. Sekitar 35 sampai 40 persen SUN yang diterbitkan pemerintah dipegang oleh investor asing. 
 
Angka ini relatif besar jika dibandingkan dengan negara-negara peer seperti Thailand, Malaysia, ataupun Tiongkok. Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran akan sangat rentan terhadap pelarian modal secara tiba-tiba (sudden capital outflow). Contoh teranyar bisa dilihat pada bulan Februari dan Maret lalu ketika dana asing keluar sebanyak 145 triliun dari surat utang pemerintah. Dampaknya imbal hasil SUN meningkat dan beban biaya penerbitan SUN di masa mendatang menjadi lebih besar.
 
2. Risiko pelemahan nilai tukar. Tingginya kepemilikan asing pada surat utang pemerintah juga meningkatkan risiko sudden capital outflow yang akan mendorong pelemahan nilai tukar. Selama Januari sampai dengan akhir Maret rupiah melemah sebesar 17,4 persen. Pelemahan ini salah satunya disebabkan oleh aliran modal keluar yang terjadi di pasar keuangan. Jika dibandingkan dengan negara lain, pelemahan nilai tukar Rupiah merupakan salah satu pelemahan mata uang terdalam di dunia.
 
3. Risiko crowding out. Hal ini bisa terjadi karena pelebaran defisit anggaran akan menyerap banyak likuditas dari perbankan. Dampaknya, swasta akan semakin kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mereka mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang (obligasi), mereka harus menawarkan surat utang dengan imbal hasil yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.
 
4. Risiko peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun. 
 
Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89% utang luar negeri swasta berdenominasi US Dollar dan rentan terhadap fluktuasi nilai tukar. Risiko bertambah bagi swasta yang menjual barang dan jasa yang terkait komoditas. Potensi pelemahan harga komoditas bisa berdampak terhadap memburuknya cash flow perusahaan dan berpotensi meningkatkan risiko gagal bayar. 
 
"Faktanya pertumbuhan utang luar negeri swasta yang bergerak di sektor komoditas lebih tinggi dibandingkan sektor-sektor lain seperti manufkatur ataupun keuangan," pungkasnya.
 
Rekomendasi
 
Menimbang potensi risiko di atas, CORE Indonesia merekomendasikan tiga hal dalam pembiayaan defisit fiskal pemerintah.
 
Pertama, Pemerintah hendaknya mendahulukan penerbitan surat utang atau SUN domestik berdenominasi Rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh Bank Indonesia. Sentimen pasar keuangan global saat ini masih sangat negatif akibat ketidakpastian yang dipicu oleh pandemi covid-19, yang berarti minat pembeli sangat rendah. Penerbitan SUN Global di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa bunga kupon yang lebih tinggi dan atau tenor yang sangat panjang. 
 
"Itu terbukti dengan diterbitkannya SUN global bertenor 50 tahun baru-baru ini. Padahal, penerbitan SUN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SUN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar. Dengan begitu pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran bunga SUN yang tinggi dalam kurun waktu yang panjang. Ekspansi moneter yang terjadi melalui pembelian SUN Domestik oleh BI diyakini tidak akan mendorong peningkatan inflasi yang berlebihan karena tekanan inflasi di tengah wabah Covid-19 cenderung menurun akibat rendahnya permintaan," jelasnya.
 
Kedua, meskipun Rupiah dalam tekanan pelemahan akibat ketidakpastian pasar keuangan global, pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah supply dollar dengan menerbitkan SUN Global. Posisi Cadangan Devisa saat ini relatif masih cukup besar untuk membiayai intervensi Bank Indonesia dalam rangka stabilisasi nilai tukar. Selain Cadangan Devisa, Bank Indonesia juga memiliki second line of defense berupa fasilitas pinjaman IMF, perjanjian kerjasama swap arrangements dengan beberapa bank sentral, serta yang terakhir fasilitas Repo Line dari The Fed.
 
"Ketiga, meskipun penerbitan SUN Global dibutuhkan karena kita memang kekurangan dollar akibat menurunnya ekspor, penerbitan SUN Global dapat dilakukan ketika wabah covid-19 sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih. Di tengah kebijakan moneter global yang cenderung menurunkan suku bunga maka penerbitan SUN Global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga kupon yang lebih baik, dengan tenor yang wajar," katanya. **
 
Reporter :
Editor :
- Dilihat 1984 Kali
Berita Terkait

0 Comments