Kajian Keislaman /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 20/08/2015 07:58 WIB
Dari Peluncuran Buku Jalan Tengah Demokrasi

Anda Boleh Mencaci Tuhan Tapi Tidak Untuk Demokrasi

Dari kiri Dr Adian Husaini Cholil Ridwan Tohir Bawazir dan Arta Wijaya 1
Dari kiri Dr Adian Husaini Cholil Ridwan Tohir Bawazir dan Arta Wijaya 1

JAKARTA_DAKTACOM:  Seorang ilmuwan terkenal pernah berseloroh, “ Di dunia modern kini, Anda boleh mencaci Tuhan, mencela Nabi, tapi dilarang mencemooh demokrasi,”  Itulah penggalan kata pengantar  Dr. Adian Husaini, dalam buku “Bersikap Adil Tehadap Demokrasi Antara Fundamentaslime  dan Sekularisme, karya  Tohir Bawazir.

 

Buku setebal 315 halaman itu, diluncurkan pada  Selasa 18 Agustus, lalu di hotel Grand Alia, Jl. Cikini Raya, Jakarta Pusat, yang dilanjutkan dengan dialog politik antar gerakan Islam.

 

Peluncuran buku dan dialog politik itu dihadiri tak kurang dari 150 aktivis Islam. Acara dipandu Artawijaya, mantan Pemimpin Redaksi majallah Islam Sabili, dengan nara sumber Adian Husaini dan KH. Chlil Ridwan, Ketua MUI pusat.

 

Menurut Adian Husaini, demokrasi bagi sebagian orang  dianggap sebagai “kebenaran mutlak”, tidak boleh diganggu gugat. Demokrasi sudah disucikan, lebih suci dari ajaran Kitab Suci dan sabda Nabi.

 

Bahkan,  “dunia kini sudah sampai pada akhir sejarahnya; tidak ada lagi tantangan idiologi yang serius terhadap  Demokrasi Liberal” kata Adian Husaini, dengan mengutip perkataan Francis Fukuyama.

 

Dijelaskan, di masa lalu, manusia menolak  Demokrasi Liberal sebab mereka percaya bahwa Demokrasi Liberal adalah inferior terhadap ideologi dan sistem lainnya. Tetapi, sekarang, katanya, sudah menjadi konsensus umat manusia, kecuali dunia Islam, untuk menerapkan Demokrasi Liberal.

 

Lebih lanjut Adian Husaini memaparkan bahwa pendapat Fukuyama bahwa pada masa akhir sejarah tidak ada lagi tantangan serius terhadap Demokrasi Liberal daan umat manusia di luar dunia Islam telah terjadi konsensus untuk menarapkan Demokrasi Liberal adalah merupakan statemen yang sangat debateble dan terbukti kontradiktif dengan sikap Barat sendiri.

 

“Dalam memandang ‘demokrasi’ Fukuyama mengadopsi pendapat Samuel Huntington tentang perlunya proses sekularisasi sebagai prasyarat dari demokratisasi. Karena itu, ketika Islam dipandang tidak compatible dengan demokrasi, maka dunia Islam juga tidak kondusif bagi penerapan demokrasi yang bersifat sekular sekaligus liberal”  papar,  Adian.

 

Adian Husaini mengungkapkan bahwa sebagian kalangan yang memandang peradaban Barat dan segala pahamnya adalah satu-satunya jalan kebangkitan, kemudian menjungjung tinggi-tinggi sabda Fukyama dan Huntinton. Demokrasi dipandang sebagai satu-satunya jalan kebangkitan bangsa-bangsa di dunia. Untuk itu , apa saja rela dilakukan, demi mendapat pujian “ Sang Tuan Punguasa Dunia” bahwa negaranya layak dapat pujian termasuk salah satu negara  demokrasi.

 

Peneliti Insist, dan ulama muda ini, lalu mengutip tulisan Hungtinton pada buku ‘The Third Wave, Democratization in the Late Twentieth Century’. Dalam buku tersebut Hungtinton menulis,  “Demokrasi hanya cocok bagi negara-negara Eropa  Barat Laut, dan barangkali negeri-negeri Eropa Tengah serta koloni-koloni penduduk yang berasal dari negara-negara itu.”  Lebih lanjut  Hungtinton menyebutkan, Doktorin Islam mengandung unsur-unsur yang sesuai maupun yang tidak sesuai dengan demokrasi. Bahkan, ia menegaskan: Budaya Islam dan kunfusius menghadapkan perkembangan demokrasi dengan penghalang yang tidak mudah teratasi.

 

“ Seolah-olah seperti terprovokasi oleh Hungtinton, banyak kalangan yang kemudian tersengat, lalu berteriak lantang bahwa “Islam sesuai dengan demokrasi!” Karena sudah menjadi tren global, maka banyak orang yang kemudian ikut-ikutan latah menyuarakan lagu wajib “demokrasi”. Bahkan seolah-olah, demokrasi adalah berkah yang harus dipeluk oleh setiap manusia. Hanya dengan demokrasilah, suatu bangsa akan menjadi bangsa besar. Bahkan ada yang menjadikan demokrasi bukan sekedar mekanisme pemilihan kepemimpinan, tetapi sebagai tujuan dan jalan hidup itu sendiri. Pokoknya, harus demokrasi! Makmur atau sengsara, tidak penting” Adian memaparkan.

 

Maka sebagai bangsa Muslim terbesar di dunia, banyak kalangan kini berteriak dimana-mana, membanggakan diri, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi Muslim terbesar di Dunia. Banyak cendikiawan juga yang senang jika dipuji oleh petinggi Amerika, bahwa Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika dan India.

 

Saat berkunjung ke Indonesia, pada 18  Februari 2009, Menlu Amerika Hillary Clinton, menyatakan: “Indonesia telah mengalami transformasi yang besar dalam sepuluh tahun terakhir. Beberapa hal yang saya catat adalah penghormatan atas HAM, demokrasi, sukses mengakhiri konflik sektarian dan menjadi tempat yang aman” ujar Hillary Clinton, sebagimana di kutip,  Adian Husaini.

 

“Ya, jika kita perhatikan, oleh banyak kalangan bahkan oleh orang-orang yang disebut cendikiawan, demokrasi telah dijadikan mantra” kritik dosen Pasca sarjana Ibnu Khaldun, ini.

 

“Kata demokrasi ditulis, dislogankan, dikampanyekan, dan diucapkan berulang-ulang tanpa kritis. Mereka tidak berfikir panjang, apa sebenarnya makna dan konsekuansi demokrasi. Padahal, negara-negara yang menggembar-gemborkan demokrasipun seperti Amerika juga tidak mau menerapkan demokrasi sepenuhnya. Demokrasi hanya diterapkan jika mereka perlu, dan sesuai dengan kepentingan mereka.” Jelas Adian.

 

Lihat saja, kata Adian, ketika HAMAS menang pemilu di Palestina, maka Amerika pun menolak demokrasi, sebab hasilnya tidak sesuai dengan  kemauan Amerika. PBB adalah contoh nyata tidak adanya demokrasi. Barat, Amerika, dan sekutu-sekutunya tidak percaya, bahwa  umat manusia yang mayoritas dapat menghasilkan keputusan yang baik buat dunia internasional, jika bertentangan dengan kemauan mereka.

 

“Karena itu, sejak awal berdirinya PBB 24 Oktober 1945, Barat memaksakan sistem “aristokratik” di mana kekuasaan PBB diberikan kepada beberapa negara yang dikenal sebagai “ The Big Five” yaitu Amerika, Rusia, Perancis, Inggris, dan Cina. Ke lima negara inilah yang mendapat hal istimewa berupa hak veto. Lima negara ini merupakan anggota tetap dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB. Sisanya 10 negara dipilih setiap dua tahun oleh Majiis Umum PBB, pungkas adian Husaini.

Editor :
Sumber : Ulil Albab
- Dilihat 2897 Kali
Berita Terkait

0 Comments