Kamis, 12/03/2020 10:55 WIB
RUU Cipta Kerja Rusak Tatanan Jaminan Sosial?
DAKTA.COM - Oleh: Timbul Siregar, Koordinator Advokasi BPJS Watch,
Pemerintah hingga saat ini tetap percaya diri dengan RUU Cipta Kerja yang sudah diserahkan ke DPR. Sebentar lagi anggota DPR pulang dari resesnya dan sepertinya siap membahas RUU Cipta Kerja ini.
Dari pasal-pasal di RUU Cipta Kerja ini tentunya, selain akan menyulitkan buruh, juga akan berdampak negatif terhadap pelaksanaan jaminan sosial di Indonesia.
Pasal- pasal di RUU Cipta kerja memudahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga pekerja formal berpotensi menurun. Turunnya jumlah pekerja formal akan berpotensi menurunkan penerimaan iuran dari Pekerja Penerima Upah (PPU) swasta.
RUU Cipta Kerja menargetkan pembukaan lapangan kerja sebesar 2,6 juta - 3 juta lapangan kerja sehingga bisa menutupi peningkatan angkatan kerja sebesar 2,5 juta per tahun. Tapi apakah pembukaan lapangan kerja yang 2,6 - 3 juta untuk lapangan kerja formal? Belum tentu.
Justru akan banyak di informal. Pekerja informal (PBPU) akan sulit join ke Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) walaupun ada kewajiban mendaftar di regulasi PP 82/2018 dan ada sanksinya di PP 86/2013. Selain sulit, potensi non aktif juga tinggi.
Demikian juga untuk 4 program jaminan sosial ketenagakerjaan (JKK, JKm, JHT, dan JP), peningkatan pekerja informal akan menurunkan kepesertaan di jaminan sosial ketenagakerjaan karena faktanya hingga saat ini tidak ada kewajiban pekerja informal menjadi peserta JKK, JK, dan JHT. Pekerja informal tidak bisa menjadi peserta Jaminan Pensiun (JP).
Memudahkan PHK di RUU Cipta Kerja berarti mendukung pembiayaan JKN maksimal 6 bulan untuk penjaminan pekerja yang ter-PHK beserta keluarga, akan meningkatkan pembiayaan JKN tanpa pemasukan iuran JKN dari pengusaha atas pekerja yang ter-PHK tersebut.
Memudahkan PHK berarti pekerja akan mengambil dana Jaminan Hari Tua (JHT) sehingga dana kelolaan JHT di BPJS Ketenagakerjaan akan semakin berkurang, sehingga pola investasi JHT akan menjadi investasi jangka pendek dengan imbal hasil yang lebih rendah. Akhirnya imbal hasil JHT ke buruh semakin menurun.
RUU Cipta Kerja yang hanya melegitimasi Upah Minimum Provinsi (UMP) dengan menghapus upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan UM sektoral maka pendapatan pekerja akan berkurang. Ini akan sangat terdampak pada penerimaan iuran 5 program jamsos.
Dipermudahnya perjanjian kerja sebagai pekerja kontrak (PKWT) dan outsourcing (OS) akan memastikan keberlanjutan bekerja semakin rendah. Ini artinya upah terancam keberlanjutannya, dan akhirnya iuran 5 program jaminan sosial pun terancam keberlanjutannya.
Terkait adanya usulan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada RUU cipta kerja, siapa yang mau mengiur tersebut? Sementara pemerintah selalu bilang pengusaha dan pekerja tidak mengiur lagi.
Ada rencana iurannya diambil dari dana JHT di BPJS Ketenagakerjaan. Bila hal itu dilaksanakan maka Pemerintah sudah memposisikan Direksi BPJS Ketenagakerjaan untuk melakukan subsidi antar program yg mengacu pada Pasal 52 point (i) Direksi dan Dewan Pengawas dilarang melakukan subsidi silang antar-program.
Selain itu, dana JHT secara hukum adalah milik buruh walaupun pengusaha ikut mengiur 3.7%. Bila iuran JKP diambil dari JHT maka dana milik buruh digunakan utk JKP buruh yg ter PHK, lalu apa nilai tambahnya buat buruh?
Uang buruh utk buruh berarti IURAN JKP diiur oleh buruh, dan ini artinya Pemerintah dan Pengusaha tidak bertanggunjawab untuk program untuk dibuatnya sendiri.
Bila JKP dibiayai dari dana JHT maka ini sangat merugikan buruh dan akan mengganggu pengeloaan dana JHT oleh Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Imbal hasil JHT akan berkurang dan Manfaat Layanan Tambahan perumahan dari program JHT akan lebih sulit dilaksanakan.
Dari hal-hal di atas maka hipotesis (kesimpulan sementara) yang dibangun adalah :
Hipotesis I : RUU Cipta Kerja akan menurunkan kepesertaan di 5 program jamsos.
Hipotesis II : RUU cipta kerja akan mendukung defisit JKN lebih besar lagi sehingga keberlanjutan program terancam, dan pada akhirnya akan memberatkan APBN.
Hipotesis III : RUU cipta kerja akan menurunkan dana kelolaan 4 program jamsos ketenagakerjaan, sehingga keberlanjutan program terancam, dan akhirnya akan memberatkan APBN.
Hipotesis IV : Kehadiran Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) akan merugikan buruh dan merusak program JHT.
Hipotesis V : Jamsos akan gagal melindungi dan mensejahterakan rakyat.
Hipotesis VI : RUU Cipta Kerja mendukung percepatan Indonesia sebagai Negara Gagal
Dari seluruh hipotesis di atas, saya mendesak pemerintah menarik kembali RUU Cipta Kerja tersebut dan kaji, kaji, kaji lagi RUU itu supaya tidak menjadi penyesalan di kemudian hari, dan Pemerintah saat ini nantinya akan dijuluki sebagai Pemerintahan yang merusak tatanan Jaminan sosial, yang sudah dirancang baik oleh UU No. 40 tahun 2004 pada era Megawati sebagai Presiden lalu. **
Editor | : | |
Sumber | : | Timbul Siregar |
- Budaya Silaturahmi dan Halal Bihalal
- Kenaikan Harga BBM Bersubsidi Menurut Perspektif Pemikir Ekonomi Islam
- Jauh Dari Pemerintahan Bersih Dalam Sistem Demokrasi
- Persikasi Bekasi, Dulu Penghasil Talenta Sekarang Sulit Naik Kasta
- Quo Vadis UU Ciptaker
- Kaum Pendatang Mudik, Cikarang Sunyi Sepi
- Menanti Penjabat Bupati Yang Mampu Beresin Bekasi
- Empat Pilar Kebangsaan dan Tolak Tiga Periode
- DUDUNG ITU PRAJURIT ATAU POLITISI?
- Ridwan Kamil Berpeluang Besar Maju di Pilpres 2024, Wakil dari Jawa Barat
- QUO VADIS KOMPETENSI, PRODUKTIVITAS & DAYA SAING SDM INDONESIA
- Tahlilan Atas Kematian Massal Nurani Wakil Rakyat
- Nasehat Kematian Di Masa Pandemi Covid-19
- FPI, Negara dan Criminal Society
- Pembantaian di Sigi Poso Sulteng, Ini Hipotesanya
0 Comments