Opini /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 03/01/2020 13:18 WIB

Warga Berbondong-bondong Turun Kelas, Bukti BPJS Memberatkan

BPJS Kesehatan
BPJS Kesehatan

DAKTA.COM - Oleh: Mia Annisa (Pemerhati Kebijakan Publik)

 

Warga Bekasi berbondong-bondong berjejal memenuhi kantor pelayanan BPJS guna mengubah kelas perawatan kesehatan. Dari yang awalnya kelas 1 menjadi kelas 2, serta kelas 2 menjadi kelas 3. Hal itu dilakukan untuk mengurangi beban akibat kenaikan iuran kelas kepesertaan BPJS Kesehatan. Cukup beralasan apa yang mereka lakukan karena takut tak bisa membayar iuran. 

 

Peristiwa ini terjadi setelah pemerintah resmi menerbitkan aturan kenaikan tarif iuran BPJS Kesehatan pada Rabu, 30 Oktober 2019. Sebelumnya, 24 Oktober 2019, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Aturan tersebut merupakan penyesuaian atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.

 

Besaran iuran mengalami kenaikan 100% mengacu pada usulan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Iuran untuk peserta PBI dan peserta mandiri kelas 3 naik menjadi Rp42.000 per bulan per orang. Sementara kelas 2 dan kelas 1 masing-masing naik menjadi Rp75.000 dan Rp120.000 per bulan per orang.

 

Naiknya pungutan BPJS tentu banyak dikeluhkan sebagian besar warga. Sebab kenaikan iuran tersebut dianggap di luar batas kewajaran. Alih-alih berusaha memberikan pelayanan yang optimal, nyatanya jauh panggang dari api. Kehadiran BPJS yang diharapkan bisa membantu dan meringankan untuk masalah kesehatan hanya mimpi di siang bolong.

 

Ini seperti yang dikatakan Rudi, warga Bekasi mengaku kenaikan tersebut terlalu tinggi dan memberatkan masyarakat. Hal ini diperparah lagi dengan kondisi ekonomi masyarakat banyak yang masih lemah. "Pelayanan BPJS Kesehatan masih kurang dan kenaikannya terlalu tinggi. Naikkanlah sesuai dengan kemampuan masyarakat" (m.kaskus.co.id)

 

Kekhawatiran lain bagi peserta BPJS yang memiliki tunggakan ketika iuran belum dinaikkan saja mereka masih menunggak. Terbukti ketika pemegang kartu mandiri harus balik arah untuk mencari cara agar bisa gratis mendapatkan layanan kesehatan di rumah sakit. Jelas angka penunggak anggota BPJS akan semakin banyak.

 

Pemerintah sendiri berdalih kenaikan tersebut bisa menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan yang berpotensi mencapai Rp32.84 triliun hingga akhir tahun 2019. Lagi-lagi kerugian biaya kesehatan dibebankan kepada rakyat. Tapi disisi lain gaji petinggi di BPJS ratusan juta sebulan. Dimana logikanya?

 

Jumlah kenaikan iuran BPJS yang cukup fantastis jelas akan kembali mencekik leher rakyat. Di tengah keterpurukan rakyat dengan berbagai kebutuhan hidup yang serba mahal, ditambah pungutan pajak diberbagai sektor yang ugal-ugalan, pemerintah memangkas berbagai subsidi dan kini layanan kesehatan yang harusnya didapatkan dengan murah atau gratis hanyalah angan-angan kosong.

 

Kondisi di atas menggambarkan jika selama ini pemerintah telah mengalihkan tanggung jawab mereka kepada rakyatnya dengan slogan "gotong royong". Padahal sistem jaminan sosial hanyalah kedok busuk pemerintah memalak rakyatnya demi meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.

 

Selain itu, sistem jaminan kesehatan saat ini menimbulkan diskriminasi antara si miskin dan si kaya. Hanya yang mampu membayar lebih mahal akan mendapatkan pelayanan kesehatan lebih baik. Adapun si miskin mau tidak mau harus puas mendapat layanan kelas 3.

 

Kondisi ini diperparah dengan kapasitas layanan kesehatan seperti rumah sakit dan puskesmas yang masih sangat terbatas. Akibatnya, banyak dari mereka tidak tertangani dengan baik sehingga kondisi kesehatannya menjadi lebih buruk bahkan meninggal dunia.

 

Padahal kesehatan merupakan perkara yang wajib dipenuhi oleh negara bagi rakyat. Tanpa membedakan status, kelas, agama, ras, dan suku. Tidak boleh sedikit pun negara memungut biaya, maka harus diberikan secara cuma-cuma. Dari mana biaya itu diambil? Tentu saja negara akan menetapkan anggaran yang di ambil dari kas negara atau APBN dan diberikan dalam bentuk subsidi agar sistem jaminan pelayanan kesehatan berjalan dengan baik.

 

Agar kas negara senantiasa cukup membiayai rakyatnya kondisi ini mesti dibarengi dengan pengelolaan SDA yang benar sesuai syariah. Mengembalikan seluruh sumber-sumber kekayaan, seperti tambang, hutan dan laut kepada rakyat. Begitu pula aset-aset negara, misalnya jalan tol, jembatan, pembangkit listrik, bandara, dsb. Juga dari sumber-sumber kharaj, jizyah, ghanîmah, fa’i, ‘usyur di bawah kelola dan kendali negara sehingga hasilnya bisa dikembalikan untuk kebutuhan warga negaranya.

 

Karena kesehatan adalah kebutuhan yang sifatnya dasar (asasiyah) maka negara wajib memberikan kemudahan akses, tak hanya terletak di pusat-pusat wilayah/kota saja akan tetapi hingga ke pelosok-pelosok. Menyediakan tenaga medis, rumah sakit berjalan, obat-obatan yang siap kapan saja jika sewaktu-waktu harus mendatangi warganya yang tidak bisa berjalan ke rumah sakit, klinik atau puskesmas. 

 

Skema pelayanan kesehatan ini berjalan sesuai kebutuhan medis, bukan dibatasi oleh plafon. Warga akan mendapatkan penanganan dan pemberian obat-obatan sesuai dengan sakit yang dideritanya. Contohnya, penderita sakit diabetes akan berbeda penanganan dan obatnya dengan penderita sakit maag atau demam biasa. Standar operasionalnya tentu tidak bisa disamakan. Dalam Islam adil bukan berarti menyamaratakan, melainkan sesuai kebutuhan.

 

Kuncinya adalah dengan menerapkan Islam secara komperhensif. Hal itu hanya bisa diwujudkan di bawah sistem yang dicontohkan dan ditinggalkan oleh Nabi saw., lalu dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin dan generasi selanjutnya. Itulah sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Inilah yang harus diperjuangkan sekaligus menjadi tanggung jawab seluruh umat Islam. Wallahu`alam.

 

Editor :
Sumber : Mia Annisa
- Dilihat 2025 Kali
Berita Terkait

0 Comments