Rabu, 20/11/2019 14:24 WIB
BPOM Diminta Tindak Tegas Produsen Nakal
JAKARTA, DAKTA.COM - Maraknya penggunaan vape di tengah masyarakat yang seolah tak bisa disentuh oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) karena alasan kewenangan diharapkan bisa diatasi dengan mengesahkan RUU Pengawasan Obat dan Makanan (RUU POM). RUU POM ini belum selesai dibahas di periode DPR 2014-2019.
“UU POM harus mendorong BPOM berani melakukan penyidikan dan penindakan secara mandiri terhadap produsen obat dan makanan yang merugikan masyarakat,” ungkap Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Kurniasih Mufidayati dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (20/11).
Mufida menjelaskan, dengan payung hukum ini, setidaknya BPOM diharapkan bisa melakukan pengawasan terhadap produsen bahan-bahan kimia yang digunakan untuk vape, khususnya produsen liquid untuk vape yang memiliki dampak negatif bagi kesehatan.
“Di tangan BPOM-lah, nasib kesehatan dan keselamatan atas 269 juta jiwa penduduk Indonesia bertumpu. Kenapa? Karena keamanan obat dan makanan berada di bawah tanggung jawab BPOM,” tandasnya.
Karena itu, Mufida berharap RUU ini segara disahkan dan BPOM bisa segera menindak para produsen yang nakal, siapapun dia, bahkan perusahaan besar sekalipun.
“Saya menitipkan kesehatan dan keselamatan jiwa penduduk Indonesia, yang bersumber dari obat dan makanan kepada BPOM,” tegas Mufida.
Ia menambahkan, banyak persoalan dalam peredaran obat dan makanan di Indonesia. Dari kasus makanan dan obat yang lewat masa kadaluwarsa, hingga kasus makanan dan obat yang mengandung zat membahayakan kesehatan.
Data dari Laporan ESO 2015-2018 menunjukkan ada peningkatan kepatuhan industri farmasi dalam melakukan pemantauan keamanan obat. Namun masih berkisar di angka 57% industri farmasi yang patuh ketentuan (laporan BPOM 2018).
“Ini sungguh memprihatinkan,” ujarnya.
Bulan Oktober lalu, lanjut Mufida, BPOM menyatakan menarik 67 merk Obat berbahan Ranitidin yang memiliki kandungan zat pemicu kanker. Dampak penarikan ini dahsyat sekali bagi semua pihak. Masyarakat pengguna obat ini dibuat shock karena ada unsur pemicu kanker dalam Ranitidin. Sementara industri farmasi terkait pasti juga mengalami kerugian.
“Hal ini menimbulkan keresahan. Maka harus dibuat sistem dari hulu ke hilir yang lebih bagus dalam aksi preventif penarikan obat dan makanan yang membahayakan kesehatan serta keselamatan jiwa masyarakat Indonesia,” papar Mufida. **
Reporter | : | |
Editor | : |
- Mengapa RRC- PKC buru-buru mengundang Prabowo?
- Pekerjaan Rumah Menanti Hadi dan AHY
- Haram Golput, Pilih Pemimpin yang Mampu Menjaga Agama dan Negara
- Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie : Prabowo Subianto Hanya Akan Menjabat Sebagai Presiden Selama Dua atau Tiga Tahun Apabila Terpilih Dalam Pemilu 2024
- Anies Sebut Film 'Dirty Vote' Cara Rakyat Respons Kecurangan
- Cara Top Up Genshin Impact Murah: Menambah Kristal Tanpa Merusak Dompet
- DPR BUKAN LAGI RUMAH RAKYAT, ASPIRASI PEMAKZULAN JOKOWI DIPERSEKUSI?
- Etika Politik "Endasmu Etik"
- PENGUSAHA JANGAN LEBAY, KAITKAN BOIKOT PRODUK TERAFILIASI ISRAEL DENGAN ANCAMAN PHK MASSAL!
- Eddy Hiariej Terima Rp3 M atas Janji SP3 Kasus Helmut di Bareskrim
- KPU Masih Analisis Sistem soal Dugaan Kebocoran Data DPT Pemilu 2024
- Beban Berat Nawawi Pulihkan Kepercayaan KPK
- Bareskrim Selidiki Peretasan Data Pemilih di KPU
- Panja DPR-Kemenag Tetapkan Biaya Haji 2023, Jamaah Harus Bayar Rp 56 Juta
- Boikot Produk Terafiliasi Israel di Indonesia Bisa Melalui Penerapan UU JPH
0 Comments