Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 27/10/2019 15:15 WIB

Wajah Kompromi Kabinet Jokowi

Para menteri di Kabinet Indonesia Maju (Foto: setkab.go.id)
Para menteri di Kabinet Indonesia Maju (Foto: setkab.go.id)

DAKTA.COM – Oleh: Rendy Putra Kusuma, Staf Pengajar Universitas Budi Luhur

 

Tidak butuh waktu lama, hanya dua hari setelah dilantik, Jokowi sudah melantik para pembantunya. Hal ini sebenarnya cukup menakjubkan, mengingat betapa peliknya pertimbangan yang harus dipikirkan oleh Jokowi dalam menentukan postur kabinetnya. Salah satu yang paling pelik adalah mendamaikan semua kepentingan para pendukungnya.

 

Terkait hal ini, sejak awal tidak sedikit pengamat yang mengkhawatirkan rumitnya persoalan yang akan dihadapi oleh Jokowi-Maruf ketika melihat gerbong pendukung mereka yang demikian gemuk.

 

Apalagi sekarang, ketika seluruh komponen elite sudah berkumpul di sekitarnya. Bagaimanapun nyaris mustahil untuk memisahkan posisi mereka saat ini dengan tarik-menarik kepentingan politik. Di mana kehadiran mereka jelas membutuhkan ruang sebagai kompensasi.

 

Memang benar, untuk kasus Indonesia yang menggunakan sistem multipartai, presiden selalu dihadapkan pada dua kebutuhan dilematis, yaitu stabilitas politik dan kinerja yang baik.

 

Sayangnya, kedua hal ini sangat sulit berjalan seiring. Di satu sisi, presiden perlu untuk mendamaikan kepentingan politik dari kelompok-kelompok pendukungnya. Sedang di sisi lain, ia dituntut untuk sukses dalam menjalankan fungsi pemerintahan.

 

Hanya saja, tidak banyak yang menyangka bahwa komposisi yang pendukung Jokowi bisa berakhir dengan suara nyaris bulat seperti sekarang. Di satu sisi, bersatunya para elite di belakang Jokowi bisa menjadi keunggulan yang luar biasa.

 

Tetapi bila salah merawatnya, kelebihan muatan ini akan menjadi beban dan, pada tahap tertentu, bukan tidak mungkin bisa menjadi masalah yang memberatkan langkah pemerintahan ke depan.

 

Saat ini saja, dilema tersebut sudah mulai tergambar dalam komposisi Kabinet Indonesia Maju yang baru diumumkan. Di mana cukup banyak pos menteri diisi oleh sosok yang tidak linier dengan keahliannya.

 

Beberapa bahkan melenceng jauh dari portofolio mereka yang dikenal selama ini. Sebut saja, Teten Masduki yang selama ini dikenal selama bertahun-tahun sebagai aktivis HAM dan pejuang antikorupsi, diangkat sebagai Menteri Koperasi dan UKM.

 

Hal yang sama juga terlihat pada pos Kementerian Agama, yang diduduki oleh Jenderal (Purn) Fachrul Razi. Sepanjang sejarah pemerintahan Indonesia, baru sekali pos Kementerian Agama diduduki oleh mantan militer, yaitu Alamsyah Ratu Prawiranegara pada masa Orde Baru.

 

Selebihnya, pos ini seperti dikhususkan untuk para ulama, ilmuwan, atau setidaknya elite politik dari partai dan ormas keagamaan. Bagaimana pun, ada konsekuensi logis dari pilihan Jokowi atas pos tersebut.

 

Selain pos Kementerian Agama, yang cukup santer jadi perbincangan di tengah masyarakat adalah pos Menteri Kelautan dan Perikanan yang diisi oleh Edhy Prabowo dari Partai Gerindra.

 

Persoalannya, pada periode pertama pemerintahan Jokowi, pos kementerian ini termasuk menjadi primadona di bawah Susi Pudjiastuti. Bahkan pada titik tertentu, kinerja Susi kerap dianggap sebagai keberhasilan visi "Poros Maritim Dunia" yang diusung Jokowi.

 

Maka tidak mengherankan bila keputusan Jokowi kali ini disambut kekecewaan oleh para pendukungnya. Sebab terkesan Jokowi "menjual" posisi tersebut demi mendamaikan transaksi politik di lingkar elite.

 

Dan, yang tentu saja paling menuai polemik paling luas, adalah munculnya sosok Prabowo Subianto dalam pos Kementerian Pertahanan.

 

Memang, bila dinilai secara objektif, sebenarnya tidak ada yang salah dengan pilihan Jokowi atas Prabowo. Sebab mantan Danjen Kopassus tersebut memang memenuhi kualifikasi untuk menduduki jabatan tersebut. Hanya saja, kesediaan Prabowo menjadi menteri dalam Kabinet Kerja Jilid II (Kabinet Indonesia Maju) jelas mencederai logika publik.

 

Sebab bagaimanapun, Prabowo adalah tokoh sentral dalam peta perpolitikan di negara ini. Selama lima tahun terakhir, dia berdiri sebagai patron dari kelompok oposisi Jokowi. Namanya dianggap memiliki agregat paling setara dengan Jokowi. Bahkan dalam dua pemilihan presiden pada 2014 dan 2019, selisih suara Prabowo dengan Jokowi cukup dekat, tidak lebih dari 10%.

 

Sehingga tak ayal bila banyak pendukung di belakangnya yang kecewa setelah mengetahui Prabowo bersedia menjadi menteri dalam kabinet Jokowi. Hal ini wajar, mengingat selama bertahun-tahun, pemerintahan Jokowi adalah rezim yang selalu dikritiknya.

 

Dalam sejumlah kritik yang digulirkannya, Prabowo berhasil membangun narasi tentang betapa bobroknya pemerintahan Jokowi, sehingga terhimpunlah dukungan atas dirinya.

 

Persoalannya, akibat agitasi politik yang berlangsung masif selama bertahun-tahun, masyarakat terbelah ke dalam dua kelompok yang konfrontatif, dan sudah membentuk pattern budaya politik yang konfliktual di tengah masyarakat, mulai dari kelas menengah hingga akar rumput.

 

Bahkan sebagaimana kita saksikan dalam beberapa tahun terakhir, segregasi kedua kelompok ini bisa meningkat tinggi hingga ke titik yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

 

Bisa jadi, ini juga yang menjadi alasan mengapa akhirnya Jokowi merangkul semua partai oposisi (khususnya Gerindra) yang pada Pilpres 2019 menjadi pesaingnya. Yakni, agar rekonsiliasi di tingkat elite bisa menular ke bawah.

 

Tapi faktanya, rekonsiliasi di level elite tersebut ternyata tidak memiliki trickle down effect ke akar rumput. Alih-alih, rekonsiliasi di tingkat elite justru menuai kekecewaan dari masing-masing pendukung.

 

Terkait dengan hal itu, pemerintahan Jokowi-Maruf agaknya perlu mencari langkah lain untuk mereduksi politik kebencian di tengah masyarakat. Bila tidak, situasi ini bisa berkembang menjadi masalah dan berdampak buruk bagi demokrasi. Sebab hilangnya figur Prabowo membuat kanal oposisi menjadi tersumbat.

 

Lebih jauh, bila ditinjau dari perspektif demokrasi, bersatunya para elite politik ini jelas bermasalah. Karena skema yang ada saat ini tidak menyediakan ruang lain bagi oposisi. Kaidah check and balance pun bisa-bisa tidak berfungsi. Dan kekuasaan Jokowi bisa jadi menjurus ke arah absolut.

 

Ini belum lagi bila ditinjau dari perspektif politik. Kondisi yang sekarang ada di tingkat elite bisa jadi melahirkan sekam yang akan memberatkan langkah politik Jokowi ke depan. Sebab bila diperhatikan, cukup banyak komponen pendukung Jokowi yang lainnya tidak mendapatkan kue kekuasaan. Sebut saja beberapa partai politik seperti Hanura, PSI, PKPI, PBB, dan sejumlah kelompok barisan relawan yang selama kampanye lalu sudah berjuang keras tanpa lelah memperjuangkan Jokowi.

 

Maka bisa dibayangkan, betapa pelik persoalan yang akan dihadapi Jokowi pada periode kedua pemerintahannya. Di satu sisi dia harus menyenangkan kelompok pendukungnya, dan di sisi lain dia dituntut untuk lincah mencapai program kerjanya.

 

Meski demikian, kita tentu berharap Presiden Jokowi bisa langsung mengambil langkah cepat untuk menuntaskan masalah di sekitarnya. Agar misi untuk fokus membangun sumber daya manusia pada periode kedua ini bisa langsung diakselerasi. Dan, visi untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar di level internasional pada 2045 bisa terwujud. Selamat bekerja! **

Editor :
Sumber : Rendy Putra Kusuma
- Dilihat 2493 Kali
Berita Terkait

0 Comments