Nasional / Lingkungan Hidup /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 03/10/2019 06:39 WIB

Melawan Insentif Kebijakan untuk Perkebunan Kelapa Sawit Jahat

Kebun sawit
Kebun sawit
JAKARTA, DAKTA.COM - Pada Selasa, 01 Oktober 2019, tepat di Hari Kopi Internasional, WALHI bersama Perkumpulan Bantuan Hukum Kalimantan (PBH Kalimantan) resmi mendaftarkan Permohonan Keberatan atau Uji Materiil kepada Presiden terkait dengan ketentuan Pasal 51 ayat (2) PP 104/ 2015 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan.
 
Pada pokoknya peraturan yang diuji memuat insentif khusus melegalkan kejahatan yang dilakukan serempak oleh pemerintah daerah, gubernur atau bupati/ wali kota bersama dengan korporasi perkebunan, khusus kelapa sawit. Ketentuan ini memperbolehkan peggunaan kawasan hutan dengan fungsi konservasi atau lindung untuk perkebunan selama satu daur. 
 
Penerbitan PP 104/ 2015 yang ditetapkan pada 22 Desember 2015 dan diundangkan pada 28 Desember 2015 ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ketentuan PP 10/ 2010 Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan jo. PP 60/ 2012 tentang Perubahan Atas PP 10/ 2010. 
 
Pada pemerintahan SBY, kedua PP ini diterbitkan sebagai dasar untuk melegalkan keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan dengan fungsi produksi. Selanjutnya, pada Pemerintahan Jokowi, keterlanjuran perizinan dan aktivitas perkebunan di kawasan hutan diperluas hingga kawasan hutan fungsi konservasi dan lindung. 
 
“Penerbitan PP 104/2015 merupakan salah satu kebijakan di tahun awal Pemerintah Jokowi paling buruk. Penerbitan PP ini melanjutkan sekaligus memperluas upaya penghapusan kejahatan dan perilaku buruk konspirasi korporasi perkebunan khususnya kelapa sawit dengan penerbitan izin. Penerbitan aturan dalam situasi Indonesia sedang sibuk menghadapi persoalan karhutla 2015. Semangat melawan karhutla dalam Inpres 11/ 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang diterbitkan pada 24 Oktober 2015 seolah runtuh dengan adanya PP ini. Langkah awal Kebijakan bermuka dua Pemerintah Jokowi dimulai,” sebut Even Sembiring, Manajer Kajian Kebijakan WALHI dalam keterangannya yang diterima Kamis (3/10).
 
Dalam permohonan ini, WALHI dan PBH Kalimantan berkedudukan sebagai wali (gurdian) dari lingkungan yang dalam perkembangannya mempunyai hak hukum (legal right). Adapun yang diwakili adalah keseluruhan ekosistem yang berada di kawasan hutan dengan fungsi konservasi dan lindung. 
 
Ia menegaskan, dengan diberikannya kesempatan terhadap korporasi perkebunan, termasuk kelapa sawit melanjutkan usahanya selama satu daur tanaman pokok di kawasan hutan dengan fungsi lindung dan konservasi sama, artinya menghancurkan habitat asli flora dan fauna yang endemik, sehingga berpotensi menjadikan mereka sekedear jadi dongeng untuk generasi depan.
 
Membiarkan alih fungsi kawasan hutan fungsi lindung menjadi perkebunan sama halnya memperbesar potensi bencana. Kawasan hutan dengan fungsi lindung yang seharusnya memberikan perlindungan dan memastikan kelanjutan kesuburan tanah dikorbankan untuk investasi perkebunan jahat. Rakyat dan lingkungan hidup dikorbankan untuk kepentingan investasi. 
 
“Krisis kemanusiaan akibat kerusakan lingkungan hidup yang didengungkan Jokowi tentunya tidak bisa diselesaikan oleh PP ini. Bahkan dengan adanya PP ini, kerusakan lingkungan hidup dan krisis kemanusiaan akan semakin parah,” sebut Even Sembiring. 
 
Direktur Eksekutif PBH Kalimantan, Khairuddin menyebutkan bahwa di Kalimatan Barat terdapat indikasi Izin Usaha Perkebunan kelapa sawit yang berada kawasan konservasi Cagar Alam 20 ha dan Taman Nasional seluas 288 ha. Sedangkan di Hutan Lindung seluas 7.683ha. 
 
“Sepengetahuan kami belum ada penegakan hukum oleh Kepolisian maupun KLHK terhadap IUP Kelapa Sawit yang berada di kawasan hutan dengan fungsi konservasi atau lindung. Apabila dipotret untuk kawasan hutan secara keseluruhan, perkiraan total luas IUP kelapa sawit yang berada di kawasan hutan di Kalimantan Barat mencapai 90.111 hektare. Menurut kami, Pasal 51 ayat (2) PP 104 merupakan salah satu faktor penghambat penegakan hukum tersebut,” tutup Khairuddin. **
 
Reporter :
Editor :
- Dilihat 3223 Kali
Berita Terkait

0 Comments