Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 29/09/2019 11:37 WIB

Revisi UU MD3 dan Oligarki Politik Kekuasaan

Kawasan gedung DPR, MPR, DPD di Sanayan Jakarta
Kawasan gedung DPR, MPR, DPD di Sanayan Jakarta

DAKTA.COM - Oleh: Adi Prayitno, dosen Ilmu Politik UIN Jakarta dan Direktur Eksekutif Parameter Politik

 

Pengesahan revisi UU tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3) beberapa waktu lalu menuai badai kritik. Alasannya karena pengesahan itu tak lebih dari sekedar bagi-bagi kekuasaan politik di Senayan. Terutama soal penambahan komposisi pimpinan MPR.

 

Saat ini, pimpinan MPR berjumlah delapan orang terdiri dari 1 ketua dan 7 wakil ketua berdasarkan revisi UU MD3 pada 2018 lalu. Dalam UU MD3 Nomor 2 Tahun 2018 disebutkan pula pimpinan MPR setelah Pemilu 2019 dikembalikan menjadi lima orang terdiri atas 1 ketua dan 4 wakil ketua persis seperti UU MD3 Tahun 2014.

 

Sesuai amanat konstitusi mestinya pimpinan MPR periode 2019-2024 berjumlah 5 orang. Namun apa daya belum juga diimplementasikan, DPR kembali merevisi UU MD3 guna menambah jumlah pimpinan MPR menjadi 10 orang terdiri 1 ketua dan 9 wakil ketua.

 

Tanpa tedeng aling-aling pengesahan revisi didukung semua partai politik pendukung Jokowi dan Prabowo yang pada pilpres April 2019 lalu bertarung sengit. Padahal selama ini mereka terlibat konfrontasi ekstrem.

 

Dunia seakan runtuh akibat efek pertikaian dua kubu. Kini "cebong" dan "kampret" bersatu padu. Meniti jalan kompromi di berbagai kanal kehidupan politik. Mereka terlihat begitu mesra seakan tak pernah terjadi pembelahan. Rakyat dibuat bingung menafsir fenomena politik yang terjadi. Untuk apa pemilu reguler diselenggarakan sebagai ajang kompetisi jika akhirnya semua pihak berkongsi berbagi kue kekuasaan?

 

Pertanyaan kritisnya lalu untuk kepentingan siapa pengesahan revisi UU MD3 itu kembali? Yang jelas bukan untuk kepentingan rakyat yang sedang berkelahi menghadapi kesulitan hidup.

 

Dalihnya MPR adalah lembaga kenegarawanan yang mesti diperkuat dengan asas musyawarah mufakat. Padahal usulan revisi bentuk nyata power sharing. Mengakomodasi partai politik pendukung Prabowo yang tak mendapat jatah pimpinan MPR.

 

Richard Kart dan Peter Mair (1995) menyebut fenomena semacam itu serupa politik kartel. Partai politik yang semula bersaing keras berubah total berkongsi. Ini dilakukan sebagai upaya menjaga kelangsungan hidup kolektif antarpartai politik dengan cara mendistribusikan pos kekuasaan strategis.

 

Mereka tak memburu anggaran resmi negara untuk kepentingan partai politik. Namun menyasar sejumlah 'lahan basah' yang bisa dieksploitasi menggerakkan mesin politik demi tujuan jangka panjang. Kuncinya meniadakan persaingan setelah pemilu usai.

 

Dalam literatur ilmu politik pemilu disebut ajang kompetisi merebut posisi puncak semua level kekuasaan. Baik eksekutif maupun legislatif. Begitupun dengan hakikat dasar munculnya partai politik sebagai upaya merebut kekuasaan. Menang jadi penguasa yang kalah jadi oposisi. Di negara maju seperti Amerika pembelahan politik jelas terjadi sehingga check and balances kuat dan stabil.

 

Namun anomali politik terjadi. Di negara lain pembelahan antara oposisi dan penguasa berwujud nyata. Di Indonesia 'hukum alam' politik seperti itu tak berlaku. Persaingan hanya sesaat jelang pemilu. Setelahnya semua bersekongkol berbagi jatah kekuasaan. Tak ada lagi friksi ideologi partai politik. Tak ada lagi "cebong-kampret". Yang tersisa hanyalah kepentingan abadi bersama.

 

Dengan cara seperti itulah partai politik saling membangun sinergi. Semacam mutual understanding menyelamatkan eksistensi hidup secara kolektif kolegial. Termasuk keinginan meniadakan persaingan agar tidak terjadi saling negasi di kemudian hari.

 

Karena itu, sejak awal sejatinya politik dimaknai biasa saja. Sebatas medan pertarungan merebut kekuasaan. Karena khitah politik adalah bagaimana cara mendapat kekuasaan dengan cara apapun.

 

Tak mengherankan jika praktik politik yang terjadi dewasa ini serupa dagelan yang hanya mempertontonkan kekonyolan. Tak ada lagi perbedaan platform partai politik seperti saat pilpres. Konfrontasi ideologis nyatanya sebatas komoditas dan gincu politik demi merawat kepentingan elektoral. Tudingan anti-NKRI pada kelompok lain dan klaim paling beragama pada pihak lainnya sebatas basa basi politik murahan.

 

Mestinya elite politik mengajarkan sikap kesatria. Bagi petarung sejati kalah menang perkara biasa. Kalah jadi oposisi menang penguasa. Itulah sejatinya politik. Ada diferensiasi tegas baik dari segi ideologi, platform, maupun strategi perubahan.

 

Bukan malah melebur setelah urusan pemilu usai. Tentu ini bukan pendidikan politik yang baik bagi rakyat. Karena pragmatisme jauh lebih dominan di atas segalanya. Termasuk urusan etika yang dilangkahi.

 

Dalam politik ada akhlaknya. Yakni, satu kerendahan hati untuk berbeda dengan kelompok lain. Ada kelonggaran jiwa menganggap pihak seberang (the other) sebagai pesaing. Bahkan musuh. Tak perlu sungkan menjadikan partai politik lain sebagai kompetitor utama. Begitupun sebaliknya yang kalah harus tahu diri menolak menjadi bagian dari pemenang. Hal alamiah dalam politik. Ajari rakyat cara berpolitik dengan penuh kewibawaan.

 

Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada gunanya juga menangisi susu yang sudah tumpah. Komposisi MPR baru, sebagai cerminan kompromi politik elite, mesti membayar lunas cibiran politik bagi-bagi kekuasaan dengan kinerja membanggakan.

 

Hanya itulah satu-satunya cara membasuh sinisme rakyat yang memuncak. Setidaknya ada sejumlah hal yang bisa dilakukan sebagai pembuktian kinerja pimpinan MPR cita rasa baru.

 

Pertama, menghilangkan konfrontasi ideologis yang membenturkan ideologi negara dengan agama (Islam). Ke depan mestinya sudah tak ada lagi kelompok politik tertentu yang mencoba merongrong negara dengan ideologi lain. Semua faksi politik melebur berkompromi menjadi satu kesatuan. Pancasila sudah final menjadi landasan epistemologis berbangsa dan bernegara. Mengikat dan tak bisa ditawar.

 

Kedua, membumikan nilai-nilai kebangsaan ke berbagai sektor kehidupan. MPR punya kemewahan mensosialisasikan empat pilar kebangsaan yang terdiri dari Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Meski rutin dilakukan namun efektifitas sosialisasi selama ini tidak efektif.

 

Tak terukur terkesan sebatas seremonial menggugurkan kewajiban sebagai Senator. Buktinya, radikalisme dan sikap intoleran mewabah. Bahkan merasuk ke 'berbagai oknum' aparatus negara di berbagai kementerian.

 

Ketiga, mendamaikan kembali relasi kelompok Islam dan nasionalis. Pilpres 2019 telah mencabik sendi kepercayaan antar kelompok. Ada tudingan terhadap kelompok Islam tertentu dianggap anti Pancasila. Satu sisi lainnya ada pula pihak yang mengklaim paling NKRI. Dua kutub ekstrim yang saling mengeras.

 

Membangkitkan memori lama soal hubungan tak mesra antara kelompok Islam dan nasionalis. Terutama soal tudingan Orde Lama dan Orde Baru yang memandang Islam politik sebagai gerakan kontra revolusioner yang patut dicurigai.

 

Terlepas dari perdebatan pelik substansial soal komposisi pimpinan MPR, satu hal yang pasti, pengesahan revisi UU MD3 mencerminkan watak dasar politisi. Yakni, wajah oligarkis kekuasaan politik yang menutup ruang diskusi dengan rakyat. DPR tak lagi peka dengan suara kritis yang meluber di grass root.

 

Rakyat hanya dijadikan instrumen politik elektoral. Setelah pemilu usai mereka dilupakan. Buktinya, protes mereka tak pernah didengar para oligarki itu.

 

Oligarki politik merujuk pada satu praktik politik segelintir elite yang tak lagi melibatkan rakyat dalam memutuskan kebijakan strategis. Kanal dialog dengan kelompok aktivis dan civil society ditutup rapat. Elit oligarkis merasa hanya merekalah yang paling otoritatif merumuskan arah bangsa ke depan.

 

Di luar itu hanya nada sumbang tak layak didengar. Di negara yang demokrasi maju mensyaratkan adanya kanal diskusi elit dengan rakyat secara langsung. Ruang dialogis itulah yang belakangan menjadi barang mewah sukar diimplementasikan.

 

Jelas ini ironis sekaligus paradoks. Satu sisi demokrasi makin maju, namun sisi lainnya menyimpan tabir gelap tentang partisipasi politik rakyat yang terabaikan. Rakyat yang begitu digdaya menjadi 'pengadil kunci' politik elektoral sekejap berubah total tak berarti.

 

Rakyat disubordinasi dalam kangkangan kuasa politik elite oligarkis. Ya, inilah jalan demokrasi yang mesti dijalani saat ini yang dalam banyak hal menyebalkan memang. Itu harus diakui. **

 

Editor :
Sumber : Adi Prayitno
- Dilihat 2013 Kali
Berita Terkait

0 Comments