Daktatorial /
Follow daktacom Like Like
Kamis, 01/08/2019 16:01 WIB

Agustus Bulan Merdeka Bagi Sebagian Rakyat Indonesia (1)

Mengibarkan Bendera Merah Putih
Mengibarkan Bendera Merah Putih
DAKTA.COM - Oleh: Andy Faizal
 
Hari ini 1 Agustus 2019, 16 hari mendatang kita akan menyambut hari kemerdekaan Indonesia yang ke-74. Bukan lagi negeri yang muda. Kalau dalam pernikahan sudah melewati golden age.
 
Secara individual atau perseorangan, umur 70 tahunan tidak terlalu tua, di Jepang tingkat Harapan hidupnya 70,9 tahun. Di negeri kita, lebih membanggakan lagi karena umur 90-an masih ada masyarakat Indonesia yang naik haji di musim haji tahun ini.
 
Tapi untuk sebuah negara, menginjak umur 70 tahunan adalah prestasi, karena ada beberapa negara yang sudah kacau balau, bahkan sudah tidak pantas disebut negara. Kitakah negara yang berprestasi? berprestasi atas apa? apakah kita negara yang berprestasi karena kemerdekaannya? 
 
Kita tak bisa asal jawab karena kita adalah negeri yang penuh sejarah, banyak hal telah tercatat dan didokumentasikan (walaupun lebih banyak menghilang dan menguap). 
 
Namun, salah satu yang tercatat adalah pengakuan bahwa kita adalah negara merdeka, bahasa media saat ini dalam dimensi politik dan bisnis adalah klaim, kata kerjanya mengklaim. Bahasa bakunya aklamasi.
 
Yup, proklamasi kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada hari Jumat, 17 Agustus 1945 tahun Masehi atau bulan Ramadhan 1364 Hijriah. 
 
Sebagai negara yang banyak sejarahnya, sungguh beruntung para pendiri negara kita rajin menulis. Sehingga bagi masyarakat digital seperti kita saat ini dapat merefleksi diri ketika memasuki bulan Agustus setiap tahunnya tentang arti kemerdekaan sebuah negara.
 
Dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, terdapat empat alinea. 
 
Alinea pertama, berisi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
 
Mari kita amati alinea pertama tersebut, secara kasat mata kita adalah negara merdeka, karena Negara Kesatuan Republik Indonesia ini memiliki semua perangkat sebagai sebuah negara yang berdaulat. Kita memiliki wilayah, kita juga memiliki warga negara, kita tentu saja memiliki pemerintahan.
 
Nah ini yang menarik, sudahkah kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin tegaknya perikemanusiaan dan perikeadilan?
 
Bagaimana kabar ratusan orang yang tahun ini meninggal karena perayaan pesta demokrasi dan tak digubris atau diusut oleh pemerintah dan rakyatnya yang terbuai dalam optimistis pembangunan negara yang semu?!
 
Lalu akhir bulan Juli lalu, terkait dengan menderitanya masyarakat pesisir karena terkontaminasi hasil gagal tambang oleh PT. Pertamina selaku salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang seharusnya menyejahterakan Warga Negara Indonesia (WNI). 
 
Berdasarkan studi lapangan yang dilakukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA). Pada 12 Juli 2019, kebocoran minyak dan gas pada proyek milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) telah mencemari laut dan pesisir Karawang hingga kawasan Muara Gembong, Bekasi, Jawa Barat. 
 
Masyarakat pesisir pun diminta Pertamina untuk turun memungut tumpahan limbah di pesisir yang harus dikumpulkan di karung dengan dapat menampung 5 sampai 10 kg limbah. Untuk hal ini masyarakat pesisir akan diberi upah sebesar Rp 100.000. 
 
Termasuk, kasus Novel Baswedan yang sudah lewat dua tahun lamanya. Novel yang saat itu menjabat sebagai penyidik senior aktif Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertolak dari masjid dekat rumahnya dalam rangka menunaikan ibadah sholat Subuh di Kelapa Gading, Jakarta Utara pada Selasa, 11 April 2017. Novel disiram dengan asam sulfat oleh tiga orang yang berboncengan motor dan hingga kini tak pernah diendus oleh polisi.
 
Seperti inikah kemanusiaan? seperti inikah keadilan? Jadi merdeka belum milik semua rakyat Indonesia.
 
[Lanjut ke bagian kedua]
 
Editor :
Sumber : Andy Faizal
- Dilihat 116226 Kali
Berita Terkait

0 Comments