Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Ahad, 10/02/2019 09:46 WIB

UU ITE Adalah UU "Subversif" Gaya Baru?

Ilustrasi seseorang terjerat UU ITE
Ilustrasi seseorang terjerat UU ITE
DAKTA.COM - Oleh: Munarman SH, Praktisi Hukum
 
Korban dari penerapan yang salah kaprah dari UU ITE terus berjatuhan. Dimulai dari kasus Prita yang merupakan pasien sebuah rumah sakit hingga saat ini penyalahgunaan UU ITE tersebut telah menjadi instrumen politik baru bagi aparat negara untuk melumpuhkan lawan politik penguasa.
 
Perlu bagi kita semua untuk membongkar asal muasal serta maksud dan tujuan awal UU ITE tersebut dibuat.
 
Yang harus dibongkar habis karena, sesat pikir dan penyelundupan hukum dalam UU ITE itu adalah penggunaan UU yang semula dimaksudkan untuk melindungi transaksi elektronik dunia bisnis dan keamanan pemilik akun, malah sekarang ini dijadikan senjata melumpuhkan lawan politik dan kriminalisasi kebebasan dasar, yaitu kebebasan menyampaikan pendapat dan pikiran. 
 
Kebebasan menyampaikan pendapat dan pikirin ini adalah salah satu parameter dari civil liberties dari suatu negara yang mengklaim sebagai negara demokrasi. Tanpa civil liberties berupa kebebasan berpendapat dan menyatakan pikiran. Maka sebuah negara yang mengaku demokrasi tidak bisa disebut sebagai negara demokrasi.
 
Greet Wilder dinyatakan bersalah karena dia bukan menyatakan pendapat tapi mengancam hak komunitas Islam dan imigran di Belanda.
 
Dalam kasus di Indonesia, para tersangka yang dijerat melalui UU ITE ini justru yang seharusnya dilindungi karena para tersangka menyuarakan kritik. Hal ini artinya para tersangka tersebut justru adalah korban dari satu ketidakadilan yang lalu menyuarakan ketidakadilan tersebut melalui media elektronik melalui akun pribadi mereka sendiri secara hak. Harusnya justru dilindungi.
 
Mengapa harus dilindungi?
 
1. Mereka berhak menggunakan akun pribadi mereka secara legal, sementara yang diancam hukuman adalah penggunaan akun tanpa hak yang berarti orang menghack, mengcrack akun milik orang lain atau membajak akun pihak lain.
 
Hal itu adalah tujuan semula dari UU ITE tersebut. Sayang dalam praktek penerapannya penyidik, penuntut dan hakim mengabaikan kata 'tanpa hal' dalam rumusan pasal UU ITE tersebut. Lebih parah kata 'tanpa hak' tersebut disalahartikan sebagai opset dalam istilah hukum pidana yang berarti sengaja sebagai maksud.
 
Ini tentu saja penyalahgunaan pasal dan penyesatan tafsir dalam kasus kasus UU ITE.
 
2. Mayoritas kasus kasus  UU ITE tersebut secara substansi, kalimat atau kontennya adalah berupa kritik terhadap ketidakadilan dan perlakuan yang tidak adil dialami oleh para tersangka.
 
Justru seharusnya para tersangka ini adalah korban perlakuan yang tidak adil dan spiral ketidakadilan ini makin dahsyat putarannya ketika mereka yang menyuarakan ketidakadilan malah mendapatkatkan hukuman penjara.
 
Tentu dalam ini, kita masih ingat ada seorang pasien sebuah rumah sakit yang mengkritik pelayanan sebuah rumah sakit justru malah dilaporkan oleh rumah sakit tersebut, yang seharusnya hak dari pasien mendapatkan layanan maksimal, namun karena pelapor memiliki akses terhadap hukum, maka justru pasien yang menjadi tersangka.
 
Hal tersebut bentuk ketidakadilan sosial yang  menjadi spiral ketidakadilan dan memicu spiral UU ITE sebagai senjata pusaran ketidakadilan.
 
Begitu juga kasus yang menimpa Ahmad Dhani (AD). Ia hanya mengkritik sikap norak pihak yang mendukung seorang tersangka kasus penodaan agama dan mengkritik pihak yang menghalangi AD melaksanakan kegiatan politik yang merupakan hak dasarnya sebagai warga negara. Malah menjadi pesakitan dan menjadi narapidana.
 
Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa maksud awal dan tujuan awal pembuatan UU ITE adalah untuk melindungi pelaku bisnis yang saat ini menggunakan sarana elektronik sebagai cara berbisnis, mulai dari bisnis rumahan hingha ke bisnis perbankan saat ini telah menggunakan sarana elektronik sebagai praktek bisnis.
 
Kita bisa lihat mulai dari bisnis rumahan online, credit card, ATM card, mobile phone, e-banking dan pengiriman dokumen semua menggunakan sarana elektronik dan banyak sekali penjahat kriminal yang membobol rekening dan memalsukan data berbagai kartu elektronik tersebut bebas berkeliaran dan aman aman saja. 
 
Padahal harusnya perlindungan terhadap bisnis yang berbasiskan elektronik inilah maksud dan tujuan awal UU ITE dibentuk. 
 
Begitu juga pembajakan akun dan pemalsuan akun serta peggunaan akun oleh pihak lain secara tidak berhak, marak sekali saat ini akun milik seseorang di bajak, di hack dan digunakan untuk penipuan. 
 
Justru terhadap kasus-kasus yang demikian, penegak hukum abai dan ogah ogahan menangani.  Sumber daya negara yang ada lebih banyak digunakan untuk melumpuhkan lawan politik daripada menjaga dan melindungi bisnis berbasis transaksi elektronik dan pengguna informasi berbasis elektronik.
Ibarat buah semangka berdaun sirih. 
 
UU yang seharusnya justru melindungi Hak dasar warga negara dalam bertransaksi elektronik dan mengolah informasi elektronik malah menjadi UU "subversi" gaya baru.
 
Masihkah akal sehat dan keadilan ada di negeri ini..? **
Editor :
Sumber : Munarman SH
- Dilihat 2414 Kali
Berita Terkait

0 Comments