Catatan Akhir Pekan /
Follow daktacom Like Like
Rabu, 10/06/2015 16:47 WIB

Pelatihan Pemikiran Islam di Berbagai Kota (bagian ke 3)

Adian Husaini 1
Adian Husaini 1


Oleh: Dr. Adian Husaini




Pada 5 Mei 2015, dari Yogya kami melanjutkan perjalanan ke Kota Solo (Surakarta). Pagi itu, sekitar 60 peserta pelatihan pemikiran Islam sudah menunggu di Islamic Center Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Surakarta.  Di sini kita membahas perkembangan paham liberalisme  dalam berbagai aspek bidang kehidupan dan tingkatan – mulai tingkat eceran sampai borongan.


Sejak MUI mengeluarkan fatwa “Sipilis” (Sekularisme, Pluralisme, dan Liberalisme) tahun 2010, berbagai dinamika pemikiran berlangsung dengan sangat dinamis. Kaum liberal tidak ridho dengan fatwa MUI. Mereka melakukan berbagai upaya untuk melemahkan fatwa MUI. Berbagai buku diterbitkan. Sejumlah disertasi disusun, diluluskan, dan diterbitkan untuk melemahkan fatwa MUI.


Salah satunya, sebuah disertasi Ilmu Tafsir di UIN Jakarta yang diterbitkan menjadi sebuah buku dengan judul “Argumen Pluralisme Agama”.  Sederet tokoh terkenal dimuat komentarnya. Tentu dengan tujuan memberikan kesan bahwa disertasi itu berkualitas tinggi, sehingga memperkuat dukungan terhadap paham pluralism agama.  Seorang Profesor mantan ketua suatu Ormas Islam, dikutip komentarnya pada sampul belakang buku ini: “Al-Quran jika dipahami secara jujur dan cerdas bersikap lebih toleran dibandingkan dengan sikap sebagian umat Islam yang berpikir parsial. Intelektual muda Muslim … telah bertungkus lumus meneliti pandangan Islam terhadap pluralisme agama berdasarkan dalil-dalil normatif dan historis yang dipahami secara  adil dan proporsional, sebuah upaya akademik  yang bernilai tinggi dan berjangkauan jauh.”

    
Tentu saja, kita menghargai setiap karya ilmiah, apalagi yang bernilai tinggi. Akan tetapi, di atas semua itu, kebenaran dan kejujuran ilmiah lebih penting.  Banyak hal yang bisa dikritisi pada buku ini, khususnya pada soal kejujuran dan logika ilmiah.  Misalnya, saat menafsirkan QS al-Baqarah: 62, ditulis: “Jika diperhatikan secara seksama, jelas bahwa dalam ayat itu taka da ungkapan agar orang Yahudi, Nasrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti pernyataan eksplisit ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dengan keimanannya, orang-orang Yahudi, Nasrani dan Shabiah yang beriman kepada Allah dan hari Akhir serta melakukan amal saleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang Yahudi, Nasrani dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.”
   
    
Kita patut bertanya, apakah benar, disertasi tersebut bernilai tinggi dan berjangkauan jauh?  Dengan logika sederhana saja kita bisa mengkritisi kesimpulan tersebut. Bagaimana mungkin kaum yang tidak beriman kepada Nabi Muhammad saw bisa beriman kepada Allah dan Hari Akhir dengan benar?  Orang yang menolak beriman kepada Nabi Muhammad saw, pastilah tidak beriman kepada al-Quran. Hingga kini, kaum Nasrani tetap mengangkat Nabi Isa sebagai Tuhan atau anak Tuhan.  Itu artinya, mereka menserikatkan Allah dengan makhluk-Nya.  Karena itulah, kaum seperti ini dimurkai Allah SWT. (QS 19:88-91). Kaum Yahudi juga tidak mengakui Nabi Muhammad saw sebagai utusan-Nya yang terakhir.  Karena itu,  kaum Yahudi hingga kini, menolak beriman kepada Allah. Mereka mempercayai Tuhan yang mereka sendiri gagal menyebut nama-Nya, yaitu YHWH.  
   
    
Sangatlah mustahil, orang yang menolak kenabian Muhammad saw akan dapat melaksanakan amal shaleh.  Amal shaleh menurut siapa?  Bagi kaum Muslim, suatu amal  disebut  ‘shaleh’ jika amal itu sesuai dengan tuntunan Rasulullah saw. Sebab, dialah utusan Allah SWT.  Orang  yang tidak melaksanakan shalat lima waktu; tidak melaksanakan puasa Ramadhan; menyantap babi; dan meminum khamr; bukanlah orang shaleh, menurut agama Islam.  Karena itu, tanpa beriman kepada Nabi Muhammad saw, tidak mungkin seorang menjadi shaleh.

    
Kita berharap, kaum liberal bersedia menyadari kekeliruan pemikirannya.  Manusia itu biasa terjatuh dalam kekeliruan. Tetapi, jika kekeliruan didasari atas hawa nafsu dan kesengajaan, biasanya tidak mudah untuk kembali ke jalan yang benar.  Banyak buku, artikel, makalah telah kita tulis untuk menjelaskan kekeliruan paham Pluralisme Agama. Tetapi, tampaknya, penyebaran paham ini terus dipaksakan.  Maka, tugas kita adalah terus berdakwah; menjelaskan bagaimana kekeliruan paham Pluralisme Agama yang telah dikritisi para ulama dan cendekiawan dari berbagai agama.

    
Pada 6 Mei 2015, perjalanan kami berikutnya menuju Universitas Darussalam (Unida) Gontor Ponorogo. Di sini, digelar acara khusus: Bedah Novel Trilogi Kemi. Di luar dugaan saya, mahasiswa – yang juga mahasantri – Unida memenuhi ruang seminar. Lebih dari itu, saya merasakan semangat yang sangat tinggi dari para mahasiswa ini. Beberapa diantaranya menyatakan sudah berulang kali membaca Novel Kemi 1&2.  Kehadiran Novel Kemi-3 diharapkan melengkapi cerita dan logika yang telah tersusun pada Kemi-1 dan Kemi-2.

    
Kepada para mahasiswa Unida, saya menjelaskan, bahwa Trilogi Kemi tetaplah sebuah cerita fiksi. Jika tampak ada kesesuaian antara tokoh-tokoh tertentu dan pemikirannya dengan realitas kehidupan saat ini, itu sebuah kebetulan.  Fiksi tetaplah sebuah visi.  Entah berhasil atau tidak, melalui Trilogi Kemi, saya ingin menunjukkan hakikat pemikiran dan kejiwaan kaum liberal yang lemah, inkonsisten, dan hina.

 
Tujuannya agar para santri berpikir serbu kali untuk mencoba-coba pemikiran dan kehidupan liberal. Harta yang mungkin berlimpah, yang mereka terima dari sumber-sumber dana asing, adalah laksana tumbal yang akan memakan korban – bahkan akan memakan dirinya sendiri. Kesenangan duniawi yang sesaat akan dibayar mahal, di dunia dan tentu saja juga nanti di Akhirat.   
    
Melalui Trilogi Kemi, saya juga bermaksud menampilkan gambaran pesantren dan kyainya sebagai lembaga dan pendidik ideal. Sosok Kyai Rois, pejuang Islam yang haus ilmu, sabar, berwawasan luas dan integratif, akhirnya berani mengambil keputusan cerdas: menyerahkan pesantren kepada ustad muda potensial dan dia melanjutkan menimba ilmu ke negeri Muslim yang jauh.  Pada Kemi-3, kita bertemu dengan sosok Ibu rumah tangga hebat yang tetap menjaga diri dan putrinya dari pemikiran liberal, meskipun suaminya sendiri adalah gembong penyebar paham liberalisme.

 
    
Pada akhir diskusi, saya sampaikan, kiranya para mahasiswa Unida Gontor itu lebih bergairah untuk belajar lebih serius dan berlatih menulis dengan tujuan melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar.  Tantangan pemikiran ke depan melalui berbagai media informasi akan semakin rumit dan menantang.  Pilihannya hanya satu: kebatilan dilawan dengan kebenaran dengan cara yang lebih baik.


    
Esok paginya, 7 Mei 2015,  kami harus melanjutkan perjalanan ke Universitas Brawijaya di Malang.  Di sini ada dua acara sekaligus, yakni Pelatihan Pemikiran Islam dan Bedah Trilogi Kemi.  Perjalanan Ponorogo-Malang sekitar lima jam, Alhamdulillah, dengan lancar kami jalani. Sekitar pukul 13.00, acara dimulai, dibuka oleh Wakil Dekan III FISIP-Universitas Brawijaya dan Ketua MIUMI Malang.


    
Sebagaimana dalam acara sebelumnya, selain membahas peta percaturan pemikiran liberalisme di Indonesia dan strategi penanggulangannya, saya juga menekankan perlunya kita memahami konsep adab dan penerapannya dalam dunia pendidikan.  Liberalisme jelas berdampak pada kerancuan pemikiran yang berujung pada loss of adab (hilang adab).  Pluralisme Agama yang menyamakan Tauhid dengan Syirik jelas telah mengacaukan tatanan wujud, dimana al-Khaliq disejajarkan dengan makhluk; penyembah Allah disamakan derajatnya dengan penyembah setan.
    

 Sebagian pihak di Indonesia kini berkampanye tentang konsep “Indonesia tanpa Diskriminasi”.  Program ini digarap dengan sungguh-sungguh melalui berbagai media komunikasi: televisi, buku, film, dan sebagainya.  Mereka pun turun ke jalan, menggelar berbagai aksi, meneriakkan slogan: “Indonesia Tanpa Diskriminasi!”  Akan tetapi, apa yang mereka maksudkan dengan “tanpa diskriminasi” hanya terbatas pada diskriminasi “agama”, “aliran keagamaan”, “gender”, dan “orientasi seksual”. (Lihat buku,  Menjadi Indonesia Tanpa Diskriminasi, Jakarta: Inspirasi.co, 2014).

    
 Buku ini mengambil contoh suksesnya perjuangan kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual, transgender) di AS dalam meraih “persamaan hak” dan menghapus diskriminasi: “Keberhasilan paling puncak  dari perjuangan kalangan  homoseksual
adalah diakuinya pernikahan sesama jenis di sejumlah negara bagian di Amerika. Negara bagian Massachusetts pertama kali melegalkan pernikahan sesama jenis pada tahun 2004. Kebijakan ini diikuti oleh sejumlah Negara bagian di Amerika – Connecticut, Iowa, New Hampshire, New York, dan Vermont. Presiden Barack Obama dalam berbagai kesempatan mendukung disahkannya pernikahan sesama jenis dan akan ikut memperjuangkan legalisasi pernikahan tersebut di tingkat federal.


Yang menarik, keberhasilan itu juga berbarengan dengan penerimaan masyarakat Amerika pada gay dan lesbian. Dalam kurun waktu lama, homoseksual oleh masyarakat Amerika dipandang sebagai kelainan dan secara moral tidak bisa dibenarkan. Masyarakat Amerika dulu juga tidak mendukung pernikahan sesama jenis.  Tetapi saat ini, mayoritas masyarakat Amerika bisa menerima pernikahan sesama jenis.” (Menjadi Indonesia tanpa Diskriminasi, hlm. 247-248).

    
Itulah langkah-langkah yang telah, sedang, dan akan dilakukan oleh kaum liberal dalam memperjuangkan terwujudnya masyarakat tanpa diskriminasi.  Dalam pandangan Islam, konsep Indonesia tanpa diskriminasi itu jelas keliru dan tidak beradab.  Konsep itu bertentangan dengan UUD 1945 yang menegaskan, bahwa Indonesia adalah Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan juga kemanusiaan yang adil dan beradab.  Allah SWT telah jelas mengharamkan perilaku homoseksual. Betapa tidak beradabnya jika perkawinan sejenis itu sampai disahkan di Indonesia.  Perilaku homoseksual adalah tindakan yang sangat keji dan kotor. (QS al-A’raf: 80-82).


    
Pada 7 Mei 2015 malam, usai acara di Universitas Brawijaya, kami langsung melanjutkan perjalanan ke Surabaya. Dua agenda acara sudah menunggu di Kota Pahlawan ini pada esok harinya. Pagi hari, 8 Mei 105, saya diundang ke Sekolah al-Hikmah Surabaya untuk memberikan perbekalan pemikiran Islam pada sekitar 200 siswa SMA yang baru saja menyelesaikan Ujian Nasional.  Siang harinya, sudah disiapkan acara Dialog Peradaban di Masjid Nurul Ilmi ITS Surabaya.


    
Acara terakhir dari serangkaian Pelatihan Pemikiran Islam berlangsung di kampus Politeknik Semarang (Polines), pada 9 Mei 2015.  Pagi harinya, saya menyempatkan diri berdialog dengan guru-guru SD Islam Diponegoro Semarang yang bernaung di bawah Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII).  Acara di Polines diikuti sejumlah dosen dan mahasiswa Semarang.  Secara umum, saya menekankan pentingnya para akademisi muslim tetap mempertahankan worldview Islam, meskipun sehari-hari aktif dalam sistem pendidikan yang tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep ilmu dan pendidikan Islam.


    
Para akademisi muslim pun perlu mewaspadai penyakit “sekolahisme” yang meletakkan posisi sekolah formal secara berlebihan dalam pendidikan; menyamakan sekolah dengan “mencari ilmu” (thalabul ilmi), sehingga kehilangan kesempatan untuk pengembangan potensi keilmuan secara optimal dalam kehidupan mereka. Sebab, penyakit “sekolahisme” ini berdampak pada banyaknya sarjana yang berhenti mencari ilmu setelah lulus kuliah.  Mereka merasa kewajiban mencari ilmu sudah selesai, bersama selesainya jenjang pendidikan formal.


 
Padahal, setiap muslim wajib mencari ilmu, sepanjang hayatnya. Apalagi, dari bukti-bukti menunjukkan, masih banyaknya pemikiran-pemikiran sekuler-liberal yang dipaksakan kepada anak didik di sekolah-sekolah dan perguruan Tinggi. Justru, saat anak-anaknya mulai memasuki jenjang kuliah di Perguruan Tinggi, para orang tua harus semakin giat menuntut ilmu, agar bisa mendidik anak-anaknya dengan ilmu yang benar, sekaligus membentengi pemikiran mereka dari aneka pemikiran sesat.
Walhasil, Alhamdulillah, demikianlah catatan ringkas perjalanan sepuluh hari di beberapa kota di Pulau Jawa. Alhamdulillah, pada 10 Mei 2015, pagi hari, kami semua tiba di Jakarta dengan selamat.  Kami menyampaikan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung lahir dan batin atas terlaksananya berbagai program Pelatihan Pemikiran Islam tersebut.  Semoga Allah SWT senantiasa memberikan bimbingan-Nya kepada kita semua, agar kita bisa meniti jalan kehidupan ini dengan selamat. Amin.
    
   

Editor :
Sumber : Adian Husaini
- Dilihat 3033 Kali
Berita Terkait

0 Comments